Khazanah
Beranda » Berita » Belajar Kapan Harus Bicara, Kapan Diam: Skill yang Hilang di Era Noisy

Belajar Kapan Harus Bicara, Kapan Diam: Skill yang Hilang di Era Noisy

ilustrasi orang duduk tenang di tepi danau, simbol diam dan kebijaksanaan di era bising.
seorang laki-laki duduk di tepi danau saat senja, dengan cahaya lembut menyinari wajahnya. Di latar belakang tampak bayangan orang-orang yang berteriak dan saling berbicara, namun ia tetap tenang, menatap air yang beriak lembut—simbol refleksi diri di tengah kebisingan dunia.

Surau.co. Kita hidup di zaman yang sangat bising—bukan karena suara kendaraan atau pasar, tetapi karena kebisingan pendapat. Setiap orang merasa perlu berbicara, menanggapi, dan menunjukkan eksistensinya. Di media sosial, keheningan sering disalahartikan sebagai ketidaktahuan, sedangkan suara keras dianggap tanda kecerdasan. Padahal, di balik setiap kebijaksanaan sejati, selalu ada kemampuan untuk tahu kapan harus bicara dan kapan diam.

Keterampilan ini perlahan menghilang di era modern. Orang lebih cepat menanggapi daripada memahami. Kita terbiasa bereaksi, bukan merenung. Padahal, kemampuan menakar kata adalah seni luhur dalam kehidupan sosial dan spiritual. Seperti kata pepatah Arab,

الصمت زينة للعاقل
“Diam adalah perhiasan bagi orang berakal.”

Diam bukan tanda lemah, melainkan refleksi kedalaman berpikir. Sementara berbicara, bila dilakukan tepat waktu dan dengan niat yang baik, menjadi cahaya yang menuntun kebenaran.

Diam: Bukan Pasif, Tetapi Reflektif

Banyak yang mengira diam berarti tidak berbuat apa-apa. Padahal, diam bisa menjadi bentuk tertinggi dari kendali diri. Dalam dunia yang gemar berdebat dan bereaksi cepat, diam adalah bentuk kebijaksanaan yang langka.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Rasulullah ﷺ bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini sederhana tapi mendalam. Ia menegaskan bahwa bicara bukan hanya tentang keberanian, tetapi juga tentang tanggung jawab. Kata yang keluar dari lisan bukan sekadar bunyi, melainkan cerminan hati. Maka, ketika hati belum jernih, diam jauh lebih bijak daripada berbicara.

Diam juga memberi ruang bagi pikiran untuk bekerja dan hati untuk menimbang. Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Māwardi menjelaskan:

الصمتُ على العلم زينٌ، وعلى الجهل وقارٌ
“Diam atas dasar ilmu adalah keindahan, dan diam atas dasar ketidaktahuan adalah kehormatan.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Artinya, orang berilmu tahu kapan diam karena ia memahami konteks dan akibat. Sementara orang yang belum tahu, diamnya justru menunjukkan kesadaran diri bahwa ia sedang belajar. Dua-duanya mulia, selama diam itu dilandasi niat yang baik.

Bicara: Ketika Kata Menjadi Amanah

Bicara adalah anugerah besar yang membedakan manusia dari makhluk lain. Namun anugerah itu bisa menjadi bencana bila tidak dijaga. Di era digital, setiap jari yang mengetik adalah lidah yang berbicara. Status, komentar, bahkan pesan singkat, semuanya bisa menorehkan luka atau membangun kebaikan.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya, melainkan ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qāf: 18)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap ucapan akan dicatat, baik atau buruk. Oleh karena itu, berbicara bukan sekadar hak, tapi amanah. Seseorang yang beriman akan berpikir berulang kali sebelum membuka mulut, karena ia tahu setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam Al-Māwardi berkata,

اللسان بريد القلب، يدل على ما فيه، ويكشف عن سرّه
“Lisan adalah utusan hati; ia menunjukkan isi di dalamnya dan menyingkap rahasianya.”

Dengan kata lain, cara seseorang berbicara mencerminkan kualitas hatinya. Maka, belajar berbicara dengan bijak bukan sekadar keterampilan komunikasi, melainkan latihan spiritual.

Era Noisy: Ketika Semua Ingin Didengar

Media sosial menjadikan setiap orang punya mimbar. Tidak perlu menunggu undangan, setiap pendapat bisa disiarkan ke seluruh dunia hanya dengan satu klik. Namun ironinya, semakin banyak yang bicara, semakin sedikit yang benar-benar mendengarkan. Kita hidup di masa di mana volume suara lebih dihargai daripada kedalaman makna.

Fenomena ini melahirkan “kebisingan kolektif”—setiap orang bicara, tapi sedikit yang belajar. Banyak yang ingin menasihati, tapi jarang yang mau disadarkan. Padahal, dalam diam sering tersembunyi kekuatan mendengar, memahami, dan menimbang.

Dalam pandangan Islam, mendengarkan adalah bagian dari adab ilmu. Seorang murid tak akan mendapat hikmah jika terus berbicara. Begitu pula seorang guru, tak akan mampu menuntun bila tak memahami situasi muridnya. Oleh karena itu, kemampuan menakar kapan harus bicara dan kapan harus diam adalah bagian dari adab yang tinggi nilainya.

Seni Menakar Waktu Bicara dan Diam

Belajar kapan harus bicara dan kapan diam bukan perkara spontan, melainkan hasil latihan batin dan kesadaran sosial. Seseorang yang bijak tidak tergesa menanggapi setiap hal. Ia memahami bahwa tidak semua kebenaran harus diucapkan, dan tidak semua keheningan berarti setuju.

Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan ini dengan indah:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83)

Ayat ini tidak sekadar memerintahkan untuk berkata, tetapi berkata yang baik. Artinya, bicara harus dilakukan pada waktu yang tepat, dengan cara yang lembut, dan niat yang benar.

Dalam konteks sosial, ada tiga waktu terbaik untuk berbicara: ketika kata kita membawa manfaat, ketika diam justru menimbulkan fitnah, dan ketika kebenaran membutuhkan suara. Sebaliknya, ada tiga waktu bijak untuk diam: ketika hati sedang marah, ketika belum tahu kebenaran, dan ketika kata hanya menambah luka.

Adab Komunikasi: Pelajaran dari Para Ulama

Para ulama klasik sangat berhati-hati dalam berbicara. Imam Malik bin Anas, misalnya, dikenal sering menjawab, “Lā adrAku tidak tahu” — meski beliau adalah salah satu ulama terbesar di masanya. Itu bukan tanda kebodohan, melainkan ketulusan dalam menjaga kebenaran.

Imam Al-Māwardi menjelaskan bahwa menjaga lisan adalah bagian dari menjaga kehormatan diri. Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn berkata:

من قلّ كلامه كثر سلامه، ومن كثر كلامه كثر خطؤه
“Barangsiapa sedikit bicaranya, maka banyak keselamatannya; dan barangsiapa banyak bicaranya, maka banyak kesalahannya.”

Ulama tidak diam karena tidak tahu, tetapi karena mereka tahu risiko dari setiap kata. Mereka menyadari bahwa diam bisa menyelamatkan kehormatan, sementara kata yang salah bisa menghancurkan harga diri dan kepercayaan.

Diam yang Cerdas, Bicara yang Lembut

Tidak semua diam itu bijak, dan tidak semua bicara itu buruk. Yang membuat keduanya bernilai adalah niat dan konteksnya. Diam yang lahir dari ketakutan tidak sama dengan diam yang lahir dari kebijaksanaan. Begitu pula, bicara yang dilakukan karena ingin membantu berbeda dari bicara yang dilakukan karena ingin terlihat pintar.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mempraktikkan prinsip ini dengan sederhana: pikirkan tiga hal sebelum berbicara — Apakah benar? Apakah baik? Apakah perlu? Jika tidak memenuhi salah satu di antaranya, diamlah.

Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau berbicara dengan lembut, singkat, dan penuh makna. Kata-katanya tidak banyak, tetapi selalu menyentuh hati. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

كان كلامه فصلا لا فضول فيه ولا تقصير
“Perkataan beliau selalu jelas, tidak berlebihan, dan tidak kurang.” (HR. Abu Dawud)

Artinya, kebijaksanaan bukan pada banyaknya kata, tapi pada ketepatan makna.

Membumikan Keheningan di Era Digital

Bagaimana caranya menerapkan “diam yang bijak” di era media sosial? Salah satunya dengan berhenti merespons segala hal. Tidak semua komentar perlu dibalas, tidak semua perbedaan harus diperdebatkan. Kadang, menahan diri untuk tidak ikut “berisik” justru menjadi bentuk kontribusi terbaik bagi kedamaian digital.

Mengetik pun termasuk berbicara. Karena itu, jari harus dijaga sebagaimana lidah dijaga. Kita perlu belajar menahan dorongan untuk tampil di setiap percakapan maya. Sebab, nilai seseorang tidak diukur dari seberapa sering ia berbicara, melainkan dari seberapa dalam ia memahami sebelum berbicara.

Penutup: Belajar Menjadi Sunyi yang Bermakna

Belajar kapan harus bicara dan kapan diam adalah perjalanan menuju kedewasaan spiritual. Dunia boleh ramai, tapi hati yang tenang hanya tumbuh dari jiwa yang mampu mengatur suara. Dalam diam, kita menemukan kebijaksanaan; dalam bicara yang terukur, kita menebar kebaikan.

Seperti samudra yang luas, kebijaksanaan tak perlu berisik untuk menunjukkan kedalamannya. Mari belajar menjadi orang yang suaranya tidak keras, tapi maknanya dalam. Sebab pada akhirnya, dunia tidak membutuhkan lebih banyak suara, melainkan lebih banyak ketenangan yang berpikir sebelum berbicara.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement