Surau.co. Di era digital yang serba cepat ini, ilmu sering kali bukan lagi tentang pemahaman, tetapi tentang pengakuan. Banyak orang belajar bukan karena haus pengetahuan, melainkan karena ingin tampak pintar di mata orang lain. Di media sosial, muncul fenomena yang dikenal sebagai “flexing ilmu”—yakni kebanggaan berlebihan dalam menunjukkan pengetahuan, bukan dalam mengamalkannya. Padahal, esensi belajar yang sejati justru menuntun manusia kepada kerendahan hati, bukan kesombongan.
Belajar seharusnya menjadi perjalanan menuju cahaya, bukan sorotan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan keutamaan ilmu dalam Surah Al-Mujādilah ayat 11:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah: 11)
Namun, ayat ini bukan sekadar penghargaan terhadap mereka yang berilmu, melainkan juga peringatan: semakin tinggi derajat ilmu seseorang, semakin besar tanggung jawab moral dan spiritualnya.
Ilmu Sebagai Cahaya, Bukan Cermin Ego
Dalam pandangan Islam, ilmu diibaratkan sebagai cahaya yang menerangi hati. Imam Al-Māwardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menjelaskan:
العلمُ زينةُ العقلِ وضياءُ القلبِ
“Ilmu adalah perhiasan akal dan cahaya bagi hati.”
Cahaya itu seharusnya menuntun seseorang untuk mengenal dirinya dan Tuhannya, bukan untuk memperkuat egonya. Ketika ilmu digunakan sebagai alat pembuktian diri, maka ia kehilangan fungsi sucinya. Seperti cermin yang hanya memantulkan kebanggaan, bukan menerangi jalan.
Dalam masyarakat modern, pengetahuan sering dijadikan alat kompetisi sosial. Orang mengutip teori, menulis opini, bahkan menafsirkan ayat atau hadits dengan tujuan menonjolkan diri, bukan memberi manfaat. Padahal, Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan:
من تعلم علما مما يبتغى به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة
“Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya dipelajari karena mengharap ridha Allah, tetapi ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan keuntungan dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
Hadits ini mengajarkan bahwa tujuan belajar bukanlah untuk memperoleh pujian, tetapi untuk memperbaiki diri dan mengabdi kepada Allah.
Fenomena Flexing Ilmu di Dunia Modern
Media sosial telah mengubah cara manusia berbagi ilmu. Di satu sisi, pengetahuan kini mudah diakses dan disebarluaskan. Namun, di sisi lain, ruang maya sering menjadi panggung narsisme intelektual. Banyak orang berlomba menunjukkan bahwa mereka tahu lebih banyak, membaca lebih cepat, atau berpikir lebih kritis.
Fenomena flexing ilmu ini tidak hanya muncul di kalangan akademisi, tetapi juga di masyarakat umum. Mulai dari unggahan yang terlalu menonjolkan kutipan filsafat hingga debat panjang di kolom komentar yang lebih bernuansa ego daripada dialog. Akibatnya, ilmu kehilangan fungsi sosialnya. Ia berubah menjadi alat pembeda status intelektual, bukan perekat kebersamaan.
Sikap seperti ini menciptakan jurang antara “yang tahu” dan “yang tidak tahu”. Padahal, dalam hakikat Islam, ilmu justru seharusnya mendekatkan, bukan menjauhkan. Dalam Surah Al-‘Alaq ayat 1–5, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk membaca, bukan karena beliau belum tahu, tetapi agar manusia memahami bahwa ilmu adalah anugerah yang datang dari Sang Maha Mengetahui.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)
Ayat ini menegaskan: belajar sejati dimulai dari kesadaran bahwa ilmu bukan milik pribadi, tetapi amanah dari Allah SWT.
Adab Sebagai Jiwa dari Ilmu
Imam Al-Māwardi menerangkan tentang adab dalam menuntut ilmu. Dalam kitabnya, beliau berkata:
من تأدب قبل أن يتعلم، فقد استفاد الأدب والعلم جميعا، ومن تعلم قبل أن يتأدب، فقد ضاع منه العلم والأدب
“Barangsiapa beradab sebelum belajar, maka ia mendapatkan adab dan ilmu sekaligus. Tetapi barangsiapa belajar sebelum beradab, maka ia kehilangan keduanya.”
Adab adalah fondasi moral dalam setiap perjalanan intelektual. Tanpa adab, ilmu berubah menjadi pisau tajam tanpa kendali—bisa melukai orang lain dan diri sendiri. Adab menuntun seseorang untuk tidak menjadikan pengetahuan sebagai alat merendahkan, melainkan sebagai sarana memberi manfaat.
Seseorang yang berilmu seharusnya seperti pohon yang rindang: akarnya kokoh, batangnya tegak, dan daunnya meneduhkan. Ia tidak perlu berteriak untuk menunjukkan bahwa ia besar; orang datang kepadanya karena manfaatnya. Begitulah gambaran seorang yang berilmu tapi beradab—tenang, rendah hati, dan bermanfaat.
Belajar untuk Memanusiakan, Bukan Meninggikan
Ilmu sejati tidak diukur dari seberapa banyak teori yang dikuasai, melainkan dari seberapa dalam seseorang mampu memahami makna kemanusiaannya. Belajar adalah proses memanusiakan diri—menjadi lebih bijak, sabar, dan peka terhadap sesama.
Ketika seseorang menuntut ilmu dengan niat ikhlas, ia akan menyadari bahwa semakin ia tahu, semakin banyak yang belum ia ketahui. Kesadaran inilah yang melahirkan kerendahan hati. Imam Syafi’i pernah berkata:
كلما ازددت علما، ازددت علما بجهلي
“Semakin aku bertambah ilmu, semakin aku sadar akan kebodohanku.”
Ungkapan ini bukan tanda kelemahan, tetapi puncak kebijaksanaan. Orang yang benar-benar berilmu justru tidak merasa perlu menunjukkan ilmunya. Ia memahami bahwa ilmu bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk diamalkan dengan diam-diam.
Dalam dunia pendidikan modern, semangat ini sering terabaikan. Sistem yang menilai berdasarkan gelar, angka, dan prestasi sering kali menumbuhkan budaya pamer dan kompetisi dangkal. Padahal, tujuan belajar sejati adalah menumbuhkan karakter, bukan hanya kecerdasan.
Mengubah Niat, Menjaga Hati
Flexing ilmu bukanlah dosa intelektual, tetapi penyakit hati. Ia lahir dari niat yang salah: mencari pengakuan, bukan kebenaran. Karena itu, obatnya bukan sekadar introspeksi, tetapi tazkiyatun nafs—penyucian jiwa.
Sebelum memulai belajar, seseorang perlu bertanya kepada dirinya: “Untuk siapa aku belajar?” Jika jawabannya adalah untuk Allah, maka setiap kata yang dipelajari akan bernilai ibadah. Namun jika untuk pengakuan, maka ilmu itu hanya akan menjadi beban di akhirat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat yang lurus membuat ilmu menjadi cahaya yang menuntun, bukan api yang membakar. Dengan niat yang benar, belajar bukan lagi ajang pamer, tetapi perjalanan menuju kedewasaan spiritual.
Menjadi Pembelajar Sejati di Tengah Bising Dunia
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh sorotan, menjadi pembelajar sejati adalah tindakan sunyi yang revolusioner. Seseorang tak perlu banyak bicara untuk menunjukkan ilmunya. Ia cukup hadir dengan ketenangan, bijaksana dalam berpendapat, dan lembut dalam mengajar.
Belajar yang sejati justru tampak dalam perilaku, bukan kata-kata. Dalam Islam, ilmu tanpa amal diibaratkan seperti pohon tanpa buah. Ia indah dilihat, tetapi tidak memberi manfaat. Maka, setiap orang berilmu seharusnya berusaha menjadikan pengetahuannya sebagai amal nyata yang memberi dampak baik bagi sesama.
Dengan begitu, kita tidak hanya belajar untuk menjadi tahu, tetapi juga untuk menjadi berharga. Bukan karena sorotan manusia, melainkan karena ridha Allah.
Penutup: Belajar yang Menyembuhkan
Belajar itu bukan ajang flexing ilmu. Ia adalah perjalanan pulang menuju kesadaran diri. Di sanalah seseorang menemukan makna bahwa ilmu sejati tidak membuatnya sombong, melainkan tunduk.
Seperti embun di pagi hari, ilmu sejati hadir tanpa suara, memberi kehidupan tanpa pamer. Orang yang benar-benar berilmu tak sibuk membuktikan dirinya, sebab ia telah menemukan keindahan dalam memberi manfaat.
Maka, mari belajar bukan untuk terlihat hebat, tetapi untuk menjadi hamba yang rendah hati. Sebab pada akhirnya, bukan siapa yang paling tahu yang dimuliakan, tetapi siapa yang paling ikhlas mencari tahu karena Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
