Khazanah
Beranda » Berita » Akal: Gift dari Tuhan yang Sering Kita Lupa Pakai

Akal: Gift dari Tuhan yang Sering Kita Lupa Pakai

Ilustrasi realistik manusia berpikir di bawah cahaya simbolik akal
Seorang manusia berdiri di tengah hamparan gelap dengan cahaya lembut keluar dari kepalanya, menggambarkan akal sebagai cahaya Ilahi yang menerangi jalan hidup.

Surau.co. Akal adalah anugerah Tuhan yang membedakan manusia dari seluruh makhluk ciptaan-Nya. Ia bukan sekadar alat berpikir, melainkan cahaya yang menuntun manusia memahami kebenaran, mengenal Penciptanya, dan menimbang segala tindakan dengan hikmah. Sayangnya, dalam hiruk-pikuk zaman modern, akal sering ditinggalkan di belakang. Banyak manusia lebih cepat bereaksi daripada berpikir, lebih sibuk meniru daripada merenung.

Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali menyeru manusia untuk berakal. Kalimat “أَفَلَا تَعْقِلُونَ” (Afalā ta‘qilūn – Maka tidakkah kamu berakal?) muncul berkali-kali sebagai teguran lembut bagi manusia yang lalai. Ini bukan hanya perintah untuk berpikir logis, tetapi juga seruan agar manusia menggunakan daya nalar secara etis, spiritual, dan bertanggung jawab. Akal, dalam pandangan Islam, adalah alat untuk mengenal Tuhan dan menjaga diri dari kebodohan yang menjerumuskan.

Akal dalam Pandangan Islam

Islam menempatkan akal pada posisi sangat tinggi. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

«لَا دِينَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ»
“Tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki akal.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa keberagamaan sejati tidak bisa dipisahkan dari penggunaan akal yang sehat. Iman tanpa akal hanya akan melahirkan fanatisme buta, sementara akal tanpa iman akan melahirkan kesombongan yang menyesatkan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn Berkata:

وَالعَقلُ أَصلُ الدِّينِ، فَمَن لَا عَقلَ لَهُ لَا دِينَ لَهُ.
“Akal adalah dasar agama; siapa yang tidak berakal, maka ia tidak memiliki agama.”

Dalam pandangan beliau, akal menjadi jembatan antara wahyu dan tindakan. Akallah yang memahami makna syariat, menimbang maslahat, dan menuntun hati menuju keyakinan yang benar. Tanpa akal, manusia hanya akan mengikuti hawa nafsu dan bisikan sesat yang menipu.

Ketika Akal Tidak Dipakai: Gejala Kehilangan Diri

Kita hidup di masa di mana informasi mengalir deras, tetapi kebijaksanaan justru menipis. Banyak orang pandai berbicara, tetapi sedikit yang mau berpikir jernih. Media sosial menjadi tempat di mana akal sering ditanggalkan — ruang yang mendorong reaksi instan, bukan refleksi mendalam. Ketika manusia berhenti berpikir, maka ia kehilangan arah.

Fenomena ini bukan hal baru. Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan manusia yang lalai menggunakan akalnya sebagai makhluk yang “seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi” (QS. Al-A‘rāf [7]:179). Ayat ini bukan hinaan, tetapi peringatan agar manusia tidak menurunkan martabatnya sendiri dengan menolak berpikir.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Kehilangan akal berarti kehilangan kemerdekaan batin. Akal yang tidak digunakan menjadikan manusia mudah dikendalikan oleh emosi, opini, atau propaganda. Ia berhenti menjadi subjek yang berpikir dan berubah menjadi objek yang digerakkan.

Akal dan Hati: Dua Sayap Kehidupan

Dalam pandangan Islam, akal dan hati tidak pernah bertentangan. Keduanya saling melengkapi. Akal memberi arah, hati memberi makna. Akal menimbang, hati merasakan. Ketika keduanya bekerja seimbang, lahirlah kebijaksanaan.

Al-Mawardi mengingatkan:

وَالعَقلُ مِيزَانٌ، وَالقَلبُ مِرآةٌ، فَإِذَا خَلَا المِيزَانُ مِنَ العَدلِ وَالمِرآةُ مِنَ الصَّفَاءِ ضَلَّ صَاحِبُهُمَا.
“Akal adalah timbangan, dan hati adalah cermin. Jika timbangan kehilangan keadilan dan cermin kehilangan kejernihan, maka pemiliknya akan tersesat.”

Ungkapan ini begitu dalam. Ia menuntun kita agar menjaga keseimbangan antara berpikir dan berzikir, antara logika dan rasa. Manusia modern sering terjebak pada logika kering, sementara sebagian lain larut dalam emosi tanpa arah. Padahal, kebahagiaan sejati lahir dari keharmonisan antara keduanya.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Menghidupkan Akal di Tengah Zaman Cepat

Zaman digital membuat segala hal terasa instan. Namun, berpikir tidak bisa dipercepat seperti koneksi internet. Ia butuh waktu, kesabaran, dan keheningan. Menghidupkan akal berarti berani melawan arus keseragaman; berani berhenti sejenak untuk bertanya: Apakah yang aku lakukan ini benar?

Langkah pertama untuk menghidupkan akal adalah dengan belajar merenung. Merenung bukan kemalasan, melainkan bentuk kecerdasan yang tertinggi. Rasulullah ﷺ bersabda:

«تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ»
“Berpikir sejenak lebih baik daripada ibadah setahun.” (HR. Abu Nu‘aim)

Renungan adalah bahan bakar bagi akal. Tanpa renungan, akal akan tumpul dan kehilangan arah. Maka, setiap Muslim perlu menyediakan ruang hening untuk berpikir — bukan sekadar berpikir tentang dunia, tetapi juga tentang makna hidup dan arah perjalanan jiwa.

Kedua, ditempa dengan ilmu. Ilmu bukan hanya hafalan, tetapi cara memandang dunia secara lebih luas dan dalam.  Sebab, dengan berilmu ia akan menimbang sebelum bertindak, meneliti sebelum percaya, dan mengerti bahwa kebenaran tidak selalu berpihak pada suara terbanyak.

Akal dan Tanggung Jawab Moral

Akal bukan hanya alat berpikir, melainkan dasar tanggung jawab moral. Manusia dimuliakan bukan karena kekuatannya, tetapi karena akalnya. Dari akal lahir kesadaran akan benar dan salah, baik dan buruk. Tanpa akal, hukum dan etika tidak punya makna.

Dalam Islam, akal adalah syarat sah taklif (pembebanan hukum). Seorang manusia dibebani perintah dan larangan karena ia memiliki kemampuan untuk berpikir dan memilih. Karena itulah, orang yang kehilangan akal tidak dibebani dosa. Artinya, akal bukan sekadar alat logika, tetapi fondasi moralitas.

Di sinilah letak pentingnya pendidikan akal. Pendidikan yang sejati bukan sekadar mengisi kepala dengan informasi, tetapi menuntun akal untuk menimbang nilai. Akal yang tercerahkan akan melahirkan tindakan yang bijak, adil, dan penuh kasih.

Ketika Akal Menemukan Tuhan

Akal yang jernih akan selalu berujung pada pengakuan terhadap keberadaan Tuhan. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk merenungi ciptaan-Nya:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]:190)

Ayat ini menunjukkan bahwa akal yang benar bukan yang menolak Tuhan, melainkan yang justru mengenal dan tunduk kepada-Nya. Akal sejati tidak berhenti pada logika, tetapi berlanjut pada kesadaran spiritual yang mendalam.

Akal yang dipakai dengan benar akan membawa manusia pada rasa kagum, syukur, dan rendah hati. Sebaliknya, akal yang sombong akan memisahkan manusia dari Tuhan dan sesamanya. Maka, tugas kita bukan hanya menggunakan akal, tetapi juga menyucikannya dari kesombongan dan hawa nafsu.

Penutup: Menyapa Kembali Akal yang Terlupa

Akal adalah hadiah paling berharga dari Tuhan — sebuah cahaya yang mengantarkan manusia keluar dari kegelapan. Namun, seperti hadiah yang tidak dirawat, ia bisa berdebu, tumpul, bahkan hilang. Kita sering lupa bahwa berpikir adalah ibadah, dan akal adalah amanah.

Di tengah dunia yang serba cepat, mari kita berhenti sejenak untuk mengingat: Tuhan memberi kita akal bukan untuk memperdebatkan kebenaran, tetapi untuk menegakkan kebenaran. Ia bukan sekadar alat untuk mencari jawaban, tetapi jembatan menuju kebijaksanaan.

Maka, gunakanlah akalmu sebelum dunia membuatmu lupa siapa dirimu. Karena sesungguhnya, mereka yang berpikir adalah mereka yang benar-benar hidup.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement