SURAU.CO – Dalam sejarah pemikiran Islam, muncul berbagai aliran teologi (ilmu kalam) yang berusaha menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, kehendak, takdir, dan keadilan Ilahi. Di antara yang paling berpengaruh adalah Mu’tazilah, Kullabiyyah, dan Asy’ariyyah. Nama terakhir ini sering disebut oleh banyak kaum Muslimin di Nusantara, bahkan sebagian mengatakan, “Madzhab saya Syafi’i, akidah saya Asy’ariyyah.”
Namun, benarkah Imam Asy’ari yang dimaksud masih berpegang pada prinsip yang hari ini diyakini oleh sebagian kelompok yang menisbatkan diri kepadanya? Ataukah justru beliau telah bertaubat dan kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana dipahami para sahabat dan tabi’in?
Fase Hidup Abul Hasan al-Asy’ari
Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (260–324 H). Beliau hidup di masa transisi intelektual antara abad ketiga dan keempat Hijriah, ketika ilmu kalam sedang berkembang pesat, dipengaruhi oleh logika Yunani.
Pada awal kehidupannya, beliau hidup dalam lingkungan Mu’tazilah dan menjadi murid langsung dari tokoh besar mereka, Abu Ali al-Jubba’i. Dalam waktu yang lama, beliau membela pemikiran Mu’tazilah dengan penuh semangat: menolak sifat-sifat Allah, menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan takwil akal, dan menempatkan rasio di atas nash.
Namun, setelah menempuh perjalanan panjang dalam ilmu dan perenungan, beliau menyadari bahwa dasar-dasar Mu’tazilah lemah dan menyimpang dari tuntunan wahyu. Maka pada usia sekitar 40 tahun, beliau bertaubat secara terbuka di hadapan masyarakat Basrah.
Pernyataan Taubat yang Menggetarkan
Al-Hafizh Ibnu Asakir meriwayatkan dalam At-Tabyin, bahwa Abul Hasan naik mimbar di masjid Basrah pada hari Jumat!. Beliau berkata di hadapan banyak orang:
“Wahai manusia! Aku dahulu mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan aku menyeru kalian kepada keyakinan tersebut. Ketahuilah, aku kini bertaubat dari keyakinan itu. Aku berlepas diri darinya, sebagaimana aku melepaskan jubah ini dari tubuhku!”
Lalu beliau melepas jubahnya di hadapan jamaah sebagai simbol pertaubatan dari pemikiran Mu’tazilah. Setelah peristiwa itu, beliau menulis berbagai karya yang menegaskan kembali komitmennya terhadap akidah Ahlus Sunnah.
Karya-Karya Pasca Taubat
Abul Hasan menulis beberapa karya penting setelah fase tobatnya, antara lain:
Al-Luma’
Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar
Tafsir al-Mukhtazin
Al-Fushul fi Raddi ‘alal Mulhidin wa Khawarij al-Millah
Maqalat al-Islamiyyin
Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah
Di antara karya itu, kitab Al-Ibanah menempati posisi sangat penting, karena di dalamnya beliau menegaskan prinsip-prinsip akidah yang lurus sesuai pemahaman salaf.
Beliau menulis:
“Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh kepada Kitabullah, Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta atsar-atsar para sahabat, tabi’in, dan para imam ahli hadits. Kami menetapkan sifat-sifat Allah tanpa takwil, tanpa ta’thil, tanpa takyif, dan tanpa tamtsil.”
(Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah, hlm. 20)
Ini adalah pernyataan yang sangat jelas: Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan metode kalam yang mengutamakan rasio atas wahyu, dan kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah sebagaimana para salafus shalih.
Dari Mu’tazilah ke Ahlus Sunnah
Perubahan ini bukan sekadar perpindahan istilah, tapi juga perubahan arah berpikir.
Jika Mu’tazilah menolak sifat-sifat Allah demi menafikan kemiripan dengan makhluk, maka Asy’ari pasca tobat justru menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang Allah tetapkan bagi diri-Nya.
Dan Jika Mu’tazilah berpegang pada logika Aristoteles, maka Asy’ari kembali kepada dalil naqli (Al-Qur’an dan Sunnah).
Jika Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri, maka Asy’ari menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak dan takdir Allah.
Dengan demikian, manhaj akhir Abul Hasan al-Asy’ari adalah Ahlus Sunnah, bukan sekte teologis rasionalis sebagaimana berkembang kemudian di tangan para pengikutnya.
Lalu, Bagaimana dengan “Asy’ariyyah” Sekarang?
Di masa-masa setelah wafatnya Abul Hasan, muncul generasi yang menisbatkan diri kepadanya, tetapi tidak sepenuhnya mengikuti ajaran terakhir beliau. Mereka tetap mempertahankan sebagian metode kalam dan takwil dalam memahami sifat-sifat Allah.
Di sinilah letak pergeseran makna “Asy’ariyyah”. Nama yang awalnya identik dengan kembali kepada Sunnah, berubah menjadi aliran kalam rasional moderat antara Mu’tazilah dan Salafiyyah.
Padahal, jika merujuk kepada Al-Ibanah, jelas bahwa Abul Hasan telah meninggalkan metode takwil dan penolakan sifat-sifat Allah. Beliau tidak pernah mengatakan bahwa “Allah berada di mana-mana.” Sebaliknya, beliau menegaskan sebagaimana firman Allah:
> الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Yang Maha Pengasih beristiwa di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5)
Artinya, Allah di atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas seluruh makhluk, namun ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu.
Kekeliruan Populer
Banyak umat Islam di Indonesia mengatakan:
“Saya bermadzhab Syafi’i dan beraqidah Asy’ariyyah.”
Ungkapan ini tampaknya hendak menegaskan komitmen kepada tradisi ulama Ahlus Sunnah. Namun, pertanyaan pentingnya: apakah benar Imam Asy’ari yang mereka maksud adalah Asy’ari yang sudah bertaubat dan kembali kepada salaf, atau Asy’ari yang masih menggunakan logika kalam?
Selain itu, Imam Syafi’i sendiri memiliki akidah yang sangat jelas. Beliau berkata:
“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah.”
(Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Baihaqi, 1/407)
Artinya, Imam Syafi’i memiliki akidah yang lurus dan murni, sebagaimana keyakinan para sahabat, tanpa perlu menisbatkan diri kepada aliran teologi tertentu.
Hikmah dan Pelajaran
- Kebenaran diukur dari kesesuaiannya dengan dalil, bukan dari jumlah Pengikut.
Abul Hasan al-Asy’ari sendiri adalah bukti bahwa seseorang yang dahulu membela kesesatan bisa menjadi pembela kebenaran setelah mendapat hidayah. -
Taubat dari kesalahan ilmiah adalah kemuliaan, bukan aib.
Ulama sejati tidak fanatik kepada pemikiran, tetapi tunduk kepada kebenaran wahyu. -
Aqidah harus tegak di atas wahyu, bukan sekadar logika murni.
Akal adalah anugerah besar, namun posisinya sebagai pelayan wahyu, bukan hakim atas wahyu. -
Jangan fanatik terhadap nama atau kelompok.
Asy’ariyyah, Maturidiyyah, atau lainnya hanyalah sebutan; yang terpenting adalah isi keyakinannya. Jika sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Penutup
Abul Hasan al-Asy’ari adalah sosok yang menorehkan sejarah penting dalam dunia teologi Islam. Beliau bukan pendiri aliran baru, melainkan seorang mujaddid yang kembali kepada jalan salaf setelah lama tersesat dalam pemikiran rasionalis.
Oleh karena itu, menisbatkan diri kepadanya tanpa memahami perjalanan intelektualnya bisa menimbulkan kesalahpahaman besar.
Marilah kita kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat.
Itulah hakikat ajaran Abul Hasan al-Asy’ari pada fase terakhir kehidupannya — fase yang beliau akhiri dengan taubat dan penegasan bahwa kebenaran sejati hanya ada pada manhaj Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Referensi:
Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah, Abul Hasan al-Asy’ari.
At-Tabyin ‘an Akhbar al-Asy’ariyyin, Ibnu Asakir.
Manaqib Asy-Syafi’i, Al-Baihaqi. (Tengku Iskandar, M.Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
