Surau.co. Pernah nggak, kita berdoa tapi terasa kaku, seperti sedang membaca teks formal di depan orang penting? Padahal, yang kita ajak bicara bukan siapa-siapa selain Allah—Zat yang paling tahu isi hati kita bahkan sebelum bibir ini bergerak. Tapi anehnya, banyak di antara kita yang justru memakai “filter” saat berbicara dengan-Nya. Kita pilih kata-kata yang indah, kalimat yang puitis, seolah Tuhan akan lebih mendengarkan kalau doa kita terdengar rapi.
Padahal, dalam keheningan malam atau di tengah perjalanan hidup yang berliku, Allah tidak menilai “gaya bahasa” doa, tapi kejujuran yang keluar dari hati. Ketulusan itu lebih nyaring daripada seribu kata indah. Karena, doa yang tulus adalah bahasa jiwa yang jujur.
Doa Itu Bukan Monolog, Tapi Dialog Cinta
Doa sering dianggap sebagai kewajiban—harus, supaya hidup lancar. Tapi dalam pandangan Islam, doa itu bukan cuma permintaan, melainkan percakapan yang penuh kasih antara makhluk dan Penciptanya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.”
(QS. Al-Baqarah: 186)
Ayat ini bukan hanya tentang “janji dikabulkan”, tapi tentang kedekatan. Allah tidak menyuruh kita berteriak, tidak pula mengharuskan doa dengan bahasa Arab yang fasih. Cukup “memanggil” dengan hati yang jujur.
Ketika doa menjadi dialog, bukan monolog, maka kita akan merasakan sesuatu yang lembut—seolah hati ini ditatap langsung oleh kasih-Nya. Kita tak perlu takut salah kata. Yang penting, kita benar-benar bicara dengan hati.
Dunia Digital dan Doa yang Terfilter
Zaman sekarang, kita hidup di era penuh “filter”. Dari foto selfie sampai kata-kata, semua bisa diedit sebelum diunggah. Masalahnya, kebiasaan itu kadang ikut terbawa ke dalam ibadah. Kita terbiasa menutupi isi hati dengan “kalimat yang bagus”, bukan kalimat yang jujur.
Doa pun jadi seperti caption di media sosial—indah, tapi tak selalu tulus. Kita berkata, “Ya Allah, aku ridha,” padahal di dalam hati masih menyimpan kecewa. Kita berucap, “Aku pasrah,” padahal masih sibuk menyusun rencana cadangan kalau doa tak dikabulkan.
Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ pernah menulis tentang keikhlasan dalam amal:
الْإِخْلَاصُ أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ لِلّٰهِ تَعَالَى وَحْدَهُ لَا يُرَادُ بِهِ سِوَاهُ
“Ikhlas adalah ketika amal dilakukan hanya karena Allah semata, tidak karena yang lain.”
Jika diterapkan dalam konteks doa, maka keikhlasan berarti berbicara dengan Allah tanpa motif pamer, tanpa harapan dipuji sebagai orang saleh, bahkan tanpa harapan duniawi semata. Yang ada hanyalah keinginan untuk dekat kepada-Nya.
Doa Tulus Itu Datang dari Luka yang Tidak Dipoles
Setiap orang punya luka, dan seringkali doa lahir dari luka itu. Tapi banyak yang takut menampakkan luka di hadapan Allah. Kita ingin terlihat “kuat” di depan-Nya. Padahal, bukankah justru kelemahan kita yang membuat kita datang berdoa?
Lihatlah Nabi Ya’qub ketika kehilangan Yusuf. Ia tidak menyembunyikan kesedihannya, bahkan sampai matanya putih karena menangis. Tapi ia tetap berkata:
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ
“Sesungguhnya aku hanya mengadukan kesedihanku dan dukaku kepada Allah.”
(QS. Yusuf: 86)
Inilah doa yang tulus—doa yang jujur, tanpa topeng, tanpa kalimat manis yang direkayasa. Doa seperti ini bukan tanda kelemahan, tapi tanda kepercayaan. Hati yang percaya bahwa Allah tak akan menertawakan air mata hamba-Nya.
Ngobrol Sama Tuhan, Nggak Perlu Formal
Doa bukan sekadar ritual, tapi momen curhat paling jujur. Banyak remaja sekarang merasa doa itu “berjarak”, seperti sedang bicara pada sosok yang jauh di langit. Padahal, doa yang paling indah justru lahir dari kesederhanaan: kalimat pendek, tapi penuh makna. Misalnya, “Ya Allah, aku capek.” Atau, “Tolong aku, ya Rabb, aku nggak tahu harus gimana lagi.”
Doa seperti ini mungkin terdengar sederhana, tapi justru paling hidup. Rasulullah ﷺ sendiri bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ
“Keadaan paling dekat antara hamba dan Tuhannya adalah ketika ia sujud.”
(HR. Muslim)
Sujud itu adalah posisi paling rendah, tapi di sanalah hati menjadi paling tinggi. Tak perlu kata indah, cukup jujur.
Ketulusan Itu Menghapus Jarak
Doa yang tulus bisa membuat kita merasakan kehadiran Allah dalam setiap detik hidup. Bahkan tanpa kata, hati bisa berdoa. Kadang, air mata sudah cukup sebagai bahasa doa.
Syaikh Abu Bakar Syathā menulis dalam Kifāyatul Atqiyā’:
مَنْ صَدَقَ مَعَ اللّٰهِ فِي دُعَائِهِ، فَلَا بُدَّ أَنْ يُسْتَجَابَ لَهُ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ
“Barang siapa tulus dalam doanya kepada Allah, maka pasti akan dikabulkan, meski setelah beberapa waktu.”
Ketulusan itu seperti kunci. Ia membuka pintu rahmat, meski lambat. Ia tidak mendesak Allah, tapi yakin bahwa setiap waktu penantian pasti mengandung makna.
Doa yang Tulus Nggak Selalu Dapat Apa yang Kita Mau
Satu hal penting: doa yang tulus tidak selalu berarti dikabulkan sesuai keinginan kita. Kadang justru doa yang paling tulus menghasilkan hal yang berbeda—tapi lebih baik.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ
“Tidaklah seorang Muslim berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: dikabulkan segera, disimpan untuk akhirat, atau dijauhkan dari keburukan yang sebanding.”
(HR. Ahmad)
Maka, doa yang tulus bukan soal hasil, tapi proses. Soal percaya bahwa rencana Allah selalu lebih “cakep” dari rencana kita.
Zaman Bergerak Cepat, Tapi Hati Perlu Tempat Pulang
Remaja hari ini hidup di dunia serba cepat: notifikasi datang tanpa henti, perhatian mudah berpindah. Di tengah semua itu, doa bisa jadi “tempat pulang”. Saat dunia penuh kebisingan, berdoa dengan tulus membuat hati kembali tenang.
Kita tidak perlu menunggu waktu sempurna untuk berdoa. Bahkan dalam perjalanan, di tengah tugas, di sela gelisah, kita bisa berbisik pelan kepada Allah. Tidak perlu filter. Tidak perlu pose sempurna. Cukup jadi diri sendiri di hadapan Sang Pencipta.
Penutup: Doa Itu Pelukan Tak Terlihat
Doa yang tulus itu seperti pelukan yang tak terlihat. Ia menenangkan, menguatkan, dan mengingatkan bahwa kita tidak pernah sendirian. Dalam doa, kita belajar melepaskan kendali dan menyerahkan segalanya pada Allah—bukan karena lemah, tapi karena percaya.
Jadi, kalau nanti kamu merasa doa itu terasa kaku, cobalah berhenti sebentar. Heningkan hati, dan katakan pada Allah dengan jujur: “Ya Rabb, aku rindu bicara sama-Mu tanpa pura-pura.” Karena sejatinya, doa yang paling indah bukan yang paling panjang, tapi yang paling tulus.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
