Opinion
Beranda » Berita » Cium tangan orang kafir: bentuk toleransi yang salah?

Cium tangan orang kafir: bentuk toleransi yang salah?

Cium tangan orang kafir: bentuk toleransi yang salah?
Cium tangan orang kafir: bentuk toleransi yang salah?

 

SURAU.CO – Judul ini sengaja provokatif — bukan untuk memutus ruang dialog, melainkan mengajak kita berpikir: apakah tindakan mencium tangan orang non-Muslim (yang dalam percakapan populer disebut orang kafir) adalah bentuk toleransi yang tepat, atau justru pesan yang keliru tentang identitas dan adab seorang Muslim?

Di bawah ini saya uraikan beberapa poin penting: tinjauan adab dan akidah, risiko dan dampak sosialnya, alternatif ekspresi hormat yang lebih sehat, dan saran praktis untuk umat.

Tinjauan adab & identitas

Islam mengajarkan akhlak mulia: menghormati semua manusia, berlaku adil, dan berbuat baik kepada tetangga serta orang lain tanpa memandang agama. Namun penghormatan tidak mesti selalu berbentuk sama — bentuk penghormatan budaya (seperti cium tangan) memiliki makna simbolis yang kuat dalam beberapa komunitas. Ketika muslim meniru praktik tersebut pada non‑Muslim, ada dua aspek yang perlu diperhatikan:

  1. Makna simbolik tindakan. Cium tangan sering dipandang sebagai penghormatan yang sangat tinggi, bahkan pengakuan status jasa atau kedudukan. Jika makna ini bertabrakan dengan prinsip tauhid atau memberi kesan pengagungan terhadap sesuatu/siapa yang bertentangan dengan akidah, maka tindakan itu wajib dikaji ulang.
    Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

  2. Persepsi identitas. Menjaga citra dan identitas sebagai Muslim adalah bagian dari ibadah sosial. Ekspresi penghormatan yang meleburkan batas-batas identitas bisa menimbulkan kebingungan: apakah kita tetap memegang prinsip agama atau menomorduakan identitas demi “toleransi”? Toleransi tidak harus berarti menghapuskan batas-batas adab dan keyakinan diri.

Risiko dan dampak sosial

Menilai tindakan secara sekilas sering mudah — tetapi penting melihat dampak jangka panjang:

Menormalisasi pola yang kontradiktif: Jika sejumlah tokoh Muslim kerap melakukan cium tangan saat berinteraksi dengan non‑Muslim sebagai bentuk “toleransi”, publik bisa menafsirkan bahwa pemimpin Muslim mengesampingkan prinsip atau identitas mereka demi citra sosial.

Mengaburkan batas ajaran agama: Umat yang kurang paham bisa meniru tanpa memahami konteks; sehingga tindakan yang bermula dari adat menjadi yang dipandang sebagai tuntutan agama.

Simbol-simbol ritual bisa dipolitisir dalam konteks politik atau diplomasi, sehingga cium tangan bisa diartikan sebagai tanda tunduk atau pengakuan tertentu, bukan sekadar sopan santun.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Beberapa Muslim merasa tidak nyaman dan tersinggung ketika harus menerima atau melakukan tindakan yang dianggap berlebihan dalam menghormati pihak yang berbeda keyakinan.

Batas-batas toleransi: apa yang lebih tepat?

Toleransi sejati bukan sekadar meniru simbol budaya orang lain, melainkan menjaga kehormatan bersama sambil tetap konsisten pada prinsip. Kita bisa pegang beberapa prinsip ini:

Hormati tanpa meniru simbol yang kontradiktif. Kita bisa sopan, ramah, dan penuh adab tanpa harus melakukan tindakan yang memiliki muatan religius atau hierarki simbolik yang bertentangan.

Konteks itu penting. Tindakan yang wajar dalam satu konteks budaya belum tentu pas dalam konteks agama atau representasi publik. Kita harus menjaga kehati-hatian saat mewakili institusi keagamaan, terutama dalam pertemuan keluarga atau adat lokal.

Utamakan akhlak universal. Senyum, berjabat tangan (jika nyaman), penghormatan verbal, dan tindakan tolong‑menolong adalah ekspresi toleransi yang kuat dan tak menimbulkan problem.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Jaga marwah diri dan kasih sayang. Toleransi bukan penyerahan identitas. Kasih sayang dan keadilan tetap menjadi pijakan utama—kita tetap berbuat baik tanpa harus mengaburkan siapa diri kita.

Alternatif ekspresi hormat yang sehat

Jika tujuan adalah menunjukkan rasa hormat atau menjaga hubungan baik, pertimbangkan alternatif yang lebih netral namun beradab:

Jabat tangan terbuka (sesuai norma dan kenyamanan).

Salam hangat dan kata‑kata penghormatan.

Memberi tempat duduk, bantuan, atau bentuk pelayanan nyata.

Penghormatan melalui kata-kata formal (mis. “Bapak/Ibu”, “Tuan/Nyonya”) dalam pertemuan resmi.

Dalam konteks adat lokal, pilih bentuk penghormatan yang tidak bertentangan dengan keyakinan (mis. salam, membungkuk ringan tanpa cium).

Saran praktis bagi tokoh publik dan umat

Tokoh publik Muslim dan pemuka agama perlu berhati‑hati: setiap tindakan menjadi contoh. Jelaskan konteks adat yang berbeda kepada publik agar mereka memahaminya dengan benar.

Kita perlu meningkatkan pendidikan mengenai etika interaksi antar-agama: ajarkan cara menunjukkan rasa hormat tanpa menghilangkan prinsip.

Bila ragu, konsultasikan dengan ulama atau lembaga fuqaha lokal agar tindakan kita punya dasar fikih dan adab yang jelas.

Utamakan kebijaksanaan (hikmah) dan kebaikan universal dalam berinteraksi.

Penutup

Toleransi bukan sekadar meniru simbol; ia lebih pada membangun hubungan yang penuh adab, keadilan, dan saling menghormati—tanpa mesti mengorbankan identitas atau prinsip. Cium tangan non‑Muslim sebagai bentuk toleransi bisa jadi melewati batas bila menimbulkan kebingungan, pengagungan simbolik, atau berlawanan dengan rasa martabat agama. Lebih bijak memilih bentuk penghormatan yang menjaga kehormatan semua pihak. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement