SURAU.CO – Dalam sejarah Islam, nama Al-Abbas bin Abdul Muthalib menempati posisi penting meskipun sering berperan di balik layar perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ia bukan hanya paman Rasulullah SAW, tetapi juga sahabat setia yang aktif membantu perjuangan Islam di masa-masa paling sulit. Sejarah menggambarkannya sebagai sosok yang cerdas, dermawan, dan berjiwa besar. Dalam Ansāb al-Ashrāf karya Ahmad ibn Yahya al-Balādhurī (jilid 3, Dār al-Fikr, 1996), Al-Abbas, sosok yang menunjukkan loyalitas mendalam terhadap Nabi dan Islam sejak awal dakwah.
Al-Abbas bin Abdul Muthalib lahir di Mekah sekitar tahun 567 M, beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan putra Abdul Muthalib, pemimpin Bani Hasyim dan penjaga Ka’bah, sekaligus kakek Nabi. Sejak kecil, Al-Abbas tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi kehormatan, kejujuran, dan tanggung jawab terhadap masyarakat Quraisy. Nilai-nilai itu membentuknya menjadi pribadi yang berwibawa, tegas, dan berprinsip.
Al-Balādhurī mencatat bahwa orang-orang Quraisy sangat menghormati Al-Abbas karena kemampuannya berdiplomasi. Ia piawai mengatur urusan sosial dan ekonomi, terutama dalam pengelolaan sumur Zamzam yang diwariskan oleh ayahnya. Posisi ini membuatnya berinteraksi dengan banyak kalangan, termasuk para bangsawan Quraisy yang kelak menjadi penentang dakwah Islam.
Keislamannya yang Disembunyikan
Pada masa awal kenabian, Al-Abbas memilih untuk menyembunyikan keislamannya. Al-Balādhurī menulis bahwa ia memeluk Islam secara diam-diam sambil menyampaikan informasi penting kepada Rasulullah SAW mengenai rencana dan gerakan kaum Quraisy. Dengan cara itu, ia melindungi Nabi tanpa menimbulkan polusi dari pihak musyrik Mekah.
Dalam peristiwa Perang Badar, Al-Abbas menunjukkan kedekatannya dengan Nabi. Meskipun ia secara lahiriah berada di barisan Quraisy, Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat agar tidak menyakitinya. Nabi bersabda, “Barang siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Muthalib, janganlah ia membunuh, karena ia keluar bukan untuk bernyanyi melainkan karena terpaksa.” (HR.Abu Dawud). Perintah ini menunjukkan bahwa Nabi memahami dan melindungi keislaman pamannya yang masih tersembunyi.
Kehidupan Keluarga dan Sosial
Al-Abbas menikah dengan Lubabah al-Kubra binti Harits al-Hilaliyah. Ia adalah saudara Maimunah binti Harits, istri Rasulullah SAW. Dari pernikahan itu lahirlah beberapa anak, di antaranya Abdullah bin Abbas—ulama besar yang kelak dikenal dengan gelar Habrul Ummah (lautan ilmu umat).
Keluarga Al-Abbas hidup dengan penuh semangat kedermawanan dan keilmuan. Dalam Ansāb al-Ashrāf , Al-Balādhurī menulis bahwa Al-Abbas gemar membantu fakir miskin dan sering memerdekakan budak. Suatu ketika, ia membeli 70 budak dan langsung memerdekakan semuanya demi mencari ridha Allah. Ia berjuang berjuang melakukan praktik bertahan hidup yang masih marak di Mekah dan menegakkan nilai keadilan sosial di tengah masyarakat Quraisy.
Peran Strategis dalam Dakwah dan Politik Islam
Setelah hijrah ke Madinah, Al-Abbas menampakkan keislamannya dan ikut memperkuat barisan umat. Dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 H, ia bertindak sebagai mediator antara kaum Muslimin dan Quraisy. Al-Balādhurī mencatat bahwa ia menggunakan kebijaksanaannya untuk menenangkan kedua pihak hingga perjanjian dapat disepakati tanpa pertumpahan darah.
Ketika terjadi Fathu Makkah, Al-Abbas memainkan peran penting dengan mendekati Abu Sufyan bin Harb, tokoh besar Quraisy. Ia mengajak Abu Sufyan untuk bertemu Rasulullah SAW dan menjelaskan bahwa satu-satunya jalan keselamatan adalah masuk Islam. Berkat pendekatan lembut dan argumen logistiknya, Abu Sufyan akhirnya memeluk Islam. Banyak tokoh Quraisy lainnya mengikuti langkahnya setelah melihat ketulusan dan kebijaksanaan Al-Abbas.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Al-Abbas menenangkan umat yang sedang khawatir dan membantu menjaga stabilitas masyarakat. Ia memberikan nasihat berharga kepada Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan dalam berbagai urusan pemerintahan dan sosial. Umar sering meminta pandangan Al-Abbas dalam mengambil keputusan besar karena pengalaman dan kebijaksanaannya yang luas.
Sifat dan Karakter
Al-Abbas menampilkan kepribadian yang kuat dan menawan. Ia sosok yang bijaksana, tegas, dermawan, dan toleran. Dalam riwayat yang dikutip Al-Balādhurī, ketika Al-Abbas berbicara di majelis, orang-orang langsung diam mendengarkan karena kekuatan dan wibawa suaranya. Ia tidak mudah terpancing emosi dan selalu mengedepankan akal sehat.
Kedermawanannya meninggalkan jejak mendalam di kalangan sahabat. Suatu hari, ketika seseorang memuji kekayaannya, Al-Abbas berkata, “Harta yang terbaik adalah yang digunakan di jalan Allah, bukan yang disimpan dalam peti.” Ia menggunakan hartanya untuk membantu dakwah, membantu orang miskin, dan memerdekakan budak. Prinsip kehidupan selalu menempatkan nilai agama di atas kepentingan pribadi.
Akhir Hayat dan Warisan Abadi
Al-Abbas bin Abdul Muthalib meninggal dunia pada hari Jumat, 14 Rajab 32 H (653 M), di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Ia wafat pada usia sekitar 88 tahun. Utsman sendiri memimpin langsung shalat jenazahnya sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh sepuh Bani Hasyim itu. Al-Abbas dimakamkan di pemakaman Baqi’ al-Gharqad di Madinah.
Al-Abbas mewariskan warisan yang besar, baik berupa keturunan mulia maupun teladan moral. Putranya, Abdullah bin Abbas, menjadi ulama besar Islam, sementara keturunan Bani Abbas kemudian mendirikan Dinasti Abbasiyah yang mengubah arah peradaban Islam. Lebih dari itu, Al-Abbas mewariskan nilai kesetiaan, kebijaksanaan, dan keberanian moral yang menginspirasi generasi Muslim sepanjang masa.
Ia bukan hanya Saksi perjalanan dakwah Nabi, tetapi juga salah satu pilar yang menopang kejayaan Islam di masa awal. Melalui peran, pengorbanan, dan nasihatnya, Al-Abbas membuktikan bahwa perjuangan tidak selalu harus berada di garis depan—terkadang justru yang bekerja di balik layar adalah pahlawan Islam sejati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
