SURAU.CO – Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, penulis wahyu, sekaligus pendiri Dinasti Umayyah — kerajaan Islam pertama dalam sejarah. Kehidupan Mu’awiyah menapakin perjalanan panjang dari masa jahiliyah menuju kepemimpinan besar yang berpengaruh luas di dunia Islam.
Mu’awiyah lahir di Mekah sekitar tahun 602 M dari keluarga Quraisy yang terpandang, Bani Umayyah. Ayahnya, Abu Sufyan bin Harb, adalah pemimpin suku Quraisy yang berpengaruh, sementara ibunya, Hindun binti ‘Utbah, juga dikenal sebagai perempuan yang kuat dan cerdas.
Pada masa jahiliyah, keluarga Mu’awiyah termasuk golongan yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW. Ayah dan ibunya ikut menentang Islam dengan keras, terutama pada masa-masa awal dakwah di Mekah. Mu’awiyah sendiri pada masa itu masih mengikuti agama nenek moyangnya.
Namun, semuanya berubah setelah peristiwa Fathu Makkah (penaklukan Mekah) pada tahun 8 H atau 630 M. Saat itu, Abu Sufyan beserta keluarganya masuk Islam. Mu’awiyah pun memeluk Islam bersama mereka. Sejak saat itu, ia menjadi bagian dari umat Islam dan berusaha menebus masa lalunya melalui pelayanan yang besar kepada agama ini.
Sebagai Sahabat dan Penulis Wahyu
Setelah masuk Islam, Mu’awiyah menjadi salah satu sahabat Nabi yang dekat. Ia dikenal cerdas, tenang, dan memiliki kemampuan menulis yang baik — keahlian yang tidak dimiliki banyak orang pada masa itu.
Nabi Muhammad SAW kemudian mempercayainya sebagai salah satu penulis wahyu. Mu’awiyah menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang turun kepada Nabi dengan penuh kehati-hatian. Selain itu, ia juga sering menulis surat-surat Nabi kepada para raja dan pemimpin dari berbagai wilayah.
Kecerdasannya membuat Nabi menghargai kontribusinya. Meskipun ia termasuk sahabat yang masuk Islam belakangan, Mu’awiyah menunjukkan kesungguhan dalam beragama dan keinginan besar untuk mengabdi.
Perannya di Masa Khalifah Umar dan Utsman
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Mu’awiyah terus mengabdi pada pemerintahan Islam. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, ia diangkat menjadi gubernur wilayah Syam (Suriah dan sekitarnya) menggantikan saudaranya, Yazid bin Abu Sufyan.
Sebagai gubernur, Mu’awiyah menunjukkan kemampuan administrasi dan kepemimpinan yang luar biasa. Ia membangun sistem pemerintahan yang rapi, mengatur pasukan, dan memperkuat keamanan wilayah Syam. Penduduk Syam mencintainya karena keadilannya dan kepeduliannya terhadap kesejahteraan mereka.
Di masa Khalifah Utsman bin Affan, posisinya semakin kuat. Ia mendapat kepercayaan penuh untuk mengelola seluruh wilayah Syam. Di bawah kepemimpinannya, wilayah itu menjadi salah satu daerah paling stabil dan makmur dalam kekhalifahan Islam.
Perselisihan Politik dan Awal Dinasti Umayyah
Setelah Khalifah Utsman terbunuh, terjadilah masa penuh gejolak dalam sejarah Islam. Mu’awiyah, yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Utsman, menuntut agar pembunuh khalifah segera dihukum. Namun, proses politik saat itu sangat rumit. Khalifah baru, Ali bin Abi Thalib, memiliki pandangan berbeda mengenai cara menyelesaikan masalah tersebut.
Perbedaan itu berkembang menjadi konflik besar antara dua kubu sahabat Nabi. Terjadilah Perang Shiffin (657 M), salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam. Meskipun pertempuran itu tidak menghasilkan kemenangan mutlak, dampaknya besar: umat Islam terpecah, dan perbedaan pandangan politik semakin kuat.
Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, umat Islam memberikan baiat kepada putranya, Hasan bin Ali. Namun, untuk menjaga persatuan umat, Hasan memilih berdamai dengan Mu’awiyah. Ia menyerahkan kekhalifahan kepadanya dengan syarat agar keamanan umat Islam terjaga dan darah tidak tertumpah lagi. Peristiwa itu dikenal sebagai “Tahun Persatuan” (ʿAm al-Jamā’ah) pada tahun 661 M. Sejak saat itu, Mu’awiyah resmi menjadi khalifah.
Sebagai Khalifah dan Pendiri Dinasti Umayyah
Sebagai khalifah, Mu’awiyah memimpin dengan kebijaksanaan dan strategi yang cermat. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, dan dari lahirnya Dinasti Umayyah. Pemerintahannya berlangsung selama hampir 20 tahun (661–680 M).
Mu’awiyah membangun sistem pemerintahan yang teratur dan memperkenalkan administrasi baru yang lebih modern. Ia memperkuat angkatan laut, mengembangkan perdagangan, dan memperluas wilayah Islam hingga Afrika Utara dan sebagian Eropa.
Dalam kebijakan politik, Mu’awiyah dikenal sebagai pemimpin yang sabar, berhati-hati, dan sangat memperhatikan stabilitas. Ia lebih memilih diplomasi daripada perang. Oleh karena itu, banyak wilayah Islam yang hidup dalam kedamaian selama masa pemerintahannya.
Mu’awiyah terkenal memiliki kepribadian yang tenang dan berpandangan jauh ke depan. Ia dikenal lembut dalam berbicara namun tegas dalam mengambil keputusan. Dalam riwayat tersebut, ia jarang marah dan selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan cara yang damai.
Meski terdapat perbedaan pandangan politik pada masanya, banyak sahabat dan ulama yang tetap menghormatinya karena jasa-jasanya dalam memperluas dan menstabilkan dunia Islam. Ia seorang yang dermawan, gemar memberi hadiah, dan sangat menghargai ilmu pengetahuan.
Mu’awiyah wafat pada tahun 680 M di Damaskus pada usia sekitar 78 tahun. Ia dimakamkan di sana, dan putranya, Yazid bin Mu’awiyah, menggantikannya sebagai khalifah.
Wafatnya Mu’awiyah menandai berakhirnya satu generasi besar sahabat Nabi yang ikut membangun fondasi pemerintahan Islam. Warisannya yang paling besar adalah terbentuknya Dinasti Umayyah — kerajaan Islam yang bertahan hampir satu abad dan membawa Islam ke masa kejayaan baru.
(Heni; Dikutip dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
