Opinion
Beranda » Berita » Larangan Meminta Jabatan

Larangan Meminta Jabatan

Larangan Meminta Jabatan
Larangan Meminta Jabatan

 

SURAU.CO – Dalam Islam, jabatan bukanlah kehormatan yang patut dikejar, melainkan amanah yang sangat berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ mengingatkan dengan tegas bahwa meminta jabatan — apalagi dengan ambisi pribadi — adalah hal yang tidak disukai, karena bisa membuka pintu kerusakan, ketidakadilan, dan kesombongan.

Hadits tentang Larangan Meminta Jabatan

Dari Abu Musa al-Asy’ari ra., beliau berkata:

“Aku pernah datang kepada Nabi ﷺ bersama dua orang laki-laki dari kaumku. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, angkatlah kami menjadi pemimpin atas sebagian perkara yang Allah berikan kepada engkau.’

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
‘Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yg yang memintanya atau kepada orang yang sangat berambisi terhadapnya.’”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hadits ini menunjukkan bahwa jabatan dalam pandangan Islam bukan tempat mencari gengsi, kekuasaan, atau keuntungan duniawi. Ia adalah amanah yang harus dipikul dengan kejujuran, keadilan, dan rasa takut kepada Allah.

Makna Amanah dalam Jabatan

Allah ﷻ berfirman:

> “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(QS. An-Nisa’: 58)

Ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan hadiah. Orang yang diberi jabatan harus memiliki dua hal utama: kompetensi (kekuatan) dan integritas (kejujuran). Sebagaimana nasihat Nabi Yusuf عليه السلام ketika meminta posisi dalam pemerintahan Mesir:

> “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi berpengetahuan.”
(QS. Yusuf: 55)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Permintaan Nabi Yusuf bukan karena ambisi pribadi, tapi karena keyakinan bahwa tidak ada orang lain yang lebih mampu menjaga amanah itu untuk kemaslahatan umat. Ini berbeda dari orang yang mengejar jabatan demi kedudukan atau kepentingan diri.

Bahaya Ambisi Kekuasaan

Meminta jabatan karena ambisi pribadi berpotensi menjerumuskan seseorang pada kezaliman. Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya kamu akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kepemimpinan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Maka nikmatlah sebaik-baik penyusuannya (saat di dunia), dan celakalah seburuk-buruk penyapihannya (saat dicabut di akhirat).”
(HR. Bukhari)

Kata Nabi ﷺ, jabatan itu manis di awal, tapi pahit di akhir. Di dunia, ia tampak terhormat dan menggiurkan, tetapi di akhirat bisa menjadi sebab kehancuran jika tidak dijalankan dengan adil dan amanah.

Pemimpin yang Tidak Meminta Jabatan

Rasulullah ﷺ justru memuliakan orang yang tidak meminta jabatan, namun Allah memberinya karena kelayakan dan keikhlasannya. Dalam riwayat Muslim disebutkan:

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Karena jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, engkau akan ditolong (oleh Allah). Tetapi jika engkau diberi jabatan karena memintanya, engkau akan dibiarkan (tanpa pertolongan Allah).”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah prinsip besar dalam Islam:
Jabatan yang didapat tanpa diminta adalah karunia dan amanah yang Allah tolong.
Jabatan yang diraih karena ambisi adalah ujian berat yang bisa berujung kehancuran.

Tanda Pemimpin yang Amanah

  1. Tidak mencintai kekuasaan, tetapi mencintai kebenaran.

  2. Tidak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi.

  3. Takut pada hisab Allah lebih daripada takut kehilangan posisi.

  4. Mendahulukan kepentingan umat, bukan keluarga atau golongan.

  5. Menjadi pelayan bagi rakyat, bukan penguasa yang menindas.

Seorang pemimpin sejati menyadari bahwa jabatan adalah ladang ujian, bukan singgasana kebanggaan. Ia tunduk pada nilai keadilan dan takut akan azab Allah jika mengkhianati amanah.

Renungan untuk Para Penanggung Amanah

Saudaraku, jabatan sering kali menjadi ujian bagi keikhlasan dan keteguhan hati. Banyak yang awalnya berniat baik, namun terseret oleh godaan kekuasaan dan popularitas.

Betapa banyak orang yang dulunya zuhud, tapi berubah setelah duduk di kursi kekuasaan.

Oleh karena itu, orang beriman seharusnya berhati-hati terhadap ambisi jabatan. Jika amanah itu datang kepadanya karena pilihan umat dan pertimbangan syar’i, hendaknya ia menerimanya dengan rasa takut dan harap—takut akan hisab Allah, dan berharap bisa menunaikannya dengan adil.

Penutup: Jadilah Pemimpin yang Tidak Mengejar Jabatan

Dalam sebuah atsar disebutkan:

“Barangsiapa mencari jabatan, ia akan diserahkan kepada dirinya sendiri; barangsiapa dijadikan pemimpin tanpa meminta, maka Allah akan menolongnya.”

Maka, janganlah meminta jabatan, kecuali jika diminta karena kebutuhan syariat dan kemaslahatan umat. Sebab, kekuasaan yang dikejar untuk dunia hanya akan melahirkan kezaliman. Tetapi kekuasaan yang diterima karena amanah Allah akan menjadi jalan menuju surga.-

Kesimpulan:
Islam tidak melarang seseorang menjadi pemimpin, tetapi melarang meminta jabatan dengan ambisi pribadi. Sebab, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

> “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah menanamkan rasa takut kepada-Nya dalam hati setiap pemimpin umat, agar mereka memimpin dengan adil, jujur, dan amanah — bukan dengan nafsu, gengsi, dan kepentingan dunia. (Tengku Iskandar, M.Pd -Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement