Surau.co. Pernahkah kamu tersenyum pada orang asing, lalu dia membalas senyummu dengan tulus? Atau menolong seseorang tanpa berpikir panjang, lalu tiba-tiba hari-harimu terasa lebih ringan? Itulah keajaiban sederhana dari kebaikan. Ia seperti percikan api kecil yang bisa menyalakan nyala besar—tapi hanya jika ada yang berani menyalakan api pertama.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak dari kita menunggu orang lain untuk memulai kebaikan. Kita berpikir, “nanti saja kalau dia ramah duluan,” atau “aku bantu kalau orang lain juga mau.” Padahal, sebagaimana Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an, kebaikan adalah cermin hati yang hidup, bukan sekadar reaksi terhadap dunia luar.
Allah berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).”
(QS. Az-Zalzalah [99]: 7)
Ayat ini sederhana tapi tajam: sekecil apa pun kebaikan, tidak pernah sia-sia. Ia selalu punya resonansi, baik di dunia maupun di akhirat.
Kebaikan Itu Berantai: Dari Satu Hati ke Hati Lain
Kebaikan tidak berhenti pada satu tangan yang memberi. Ia bergerak. Ia menular. Saat seseorang berbuat baik, ia membentuk gelombang kecil yang bisa menenangkan banyak hati di sekitarnya.
Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut emotional contagion—penularan emosi antarindividu. Tapi Islam sudah lama mengajarkan hal ini jauh sebelum para ilmuwan menelitinya. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.”
(HR. Muslim)
Artinya, setiap kebaikan tidak hanya berhenti pada pelaku pertama, tetapi terus mengalir kepada siapa pun yang terinspirasi untuk melakukan hal serupa.
Bayangkan jika satu orang menahan marah, lalu temannya ikut meniru. Satu orang menyapa dengan lembut, lalu suasana jadi hangat. Dunia tak butuh semua orang sempurna—cukup satu yang berani memulai kebaikan dengan niat yang tulus.
Tantangan di Era Sekarang: Kebaikan yang “Dihitung”
Namun mari jujur, hidup di zaman media sosial membuat kebaikan sering kali terasa seperti pertunjukan. Banyak orang ingin berbuat baik, tapi juga ingin dilihat berbuat baik. Kebaikan kehilangan sisi sunyinya, berubah menjadi konten visual dengan tagar dan sorotan kamera.
Padahal, kebaikan sejati tak butuh panggung. Ia justru tumbuh dalam ruang-ruang kecil yang sepi. Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menerangkan:
اَلْإِخْلَاصُ أَنْ تَكُونَ أَعْمَالُكَ لِلّٰهِ تَعَالَى دُونَ نَظَرٍ إِلَى مَخْلُوقٍ
“Keikhlasan adalah ketika amalmu ditujukan semata-mata kepada Allah Ta’ala tanpa memandang makhluk.”
Terjemahannya menegaskan bahwa keikhlasan adalah titik awal semua kebaikan yang bernilai. Jika kebaikanmu lahir karena ingin dikenal, ia mungkin akan cepat lelah. Tapi jika kamu berbuat baik karena ingin mendekat kepada Allah, maka hati akan terasa ringan, seolah tidak ada energi yang terbuang.
Kebaikan yang Dimulai dari Hal Kecil
Kita sering menunda kebaikan karena merasa belum mampu melakukan yang besar. Padahal, Rasulullah ﷺ justru menanamkan prinsip sebaliknya.
Beliau bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kamu meremehkan suatu kebaikan, walaupun hanya dengan bertemu saudaramu dengan wajah yang cerah.”
(HR. Muslim)
Senyum, ucapan lembut, atau kesediaan mendengarkan adalah bagian dari rantai kebaikan yang panjang. Justru dari yang sederhana itu, hati dilatih untuk peka.
Kebaikan kecil yang dilakukan terus-menerus akan membentuk kebiasaan batin yang indah. Ibarat tetes air yang lama-lama bisa mengukir batu, begitu pula kebaikan kecil—ia membentuk karakter yang kuat dan berakhlak.
Jadi Orang Pertama Itu Tidak Mudah, Tapi Mulia
Kebaikan menular, tapi seseorang harus memulai lebih dulu. Dan menjadi yang pertama itu selalu menantang. Kamu bisa dianggap sok suci, dikira cari perhatian, atau bahkan ditertawakan. Tapi itulah ujian keikhlasan yang sebenarnya.
Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau memulai salam lebih dulu, bahkan kepada anak kecil atau orang yang baru beliau temui. Dalam riwayat disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَبْدَأُ السَّلَامَ
“Rasulullah ﷺ selalu memulai memberi salam.”
(HR. Tirmidzi)
Tindakan sederhana, tapi dampaknya besar. Kebaikan yang dimulai oleh satu orang bisa mencairkan suasana dingin di antara dua hati. Dan setiap kali kamu menjadi “orang pertama” dalam kebaikan, kamu sedang menyalakan lilin dalam kegelapan sosial.
Menyebarkan Kebaikan Tanpa Menyebarkan Drama
Salah satu alasan kebaikan sulit menular adalah karena manusia suka menyelipkan ego di dalamnya. Kita ingin disebut baik, ingin diakui, atau ingin balasan cepat. Padahal kebaikan tanpa keikhlasan justru bisa berubah jadi beban batin.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima).”
(QS. Al-Baqarah [2]: 264)
Artinya, kebaikan sejati tidak butuh “drama”. Ia tumbuh dari hati yang tulus, bukan dari perasaan ingin menang.
Maka kalau kamu berbuat baik dan tidak dihargai, tidak apa-apa. Allah sudah mencatatnya lebih dulu. Dan bisa jadi, balasannya datang dalam bentuk ketenangan batin—yang tak bisa dibeli oleh apa pun di dunia.
Kifāyatul Atqiyā’ dan Makna Kebaikan yang Lembut
Dalam Kifāyatul Atqiyā’, Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menulis bahwa salah satu tanda hati yang hidup adalah ketika seseorang tetap berbuat baik, meski tidak dilihat siapa pun.
Beliau berkata:
اَلرِّضَا بِالْخَيْرِ لِلْغَيْرِ دَلِيلُ سَلَامَةِ الصَّدْرِ وَصِدْقِ النِّيَّةِ
“Rida terhadap kebaikan yang dilakukan orang lain adalah tanda kebersihan hati dan ketulusan niat.”
Pesan ini begitu dalam: orang yang hatinya bersih akan bahagia melihat orang lain berbuat baik, bukan merasa tersaingi. Justru, ia terdorong untuk menambah kebaikan baru agar rantai itu terus hidup.
Kebaikan di Dunia Digital: Saring Sebelum Sharing
Zaman digital membuka peluang besar untuk menebar kebaikan, tapi juga jebakan untuk menyebarkan hal sebaliknya. Kadang, tanpa sadar kita menyebarkan keburukan dalam bentuk gosip, sindiran, atau komentar tajam yang melukai.
Sebelum membagikan sesuatu, ingatlah sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Di dunia maya, satu kalimat bisa menenangkan atau melukai banyak hati. Maka jadilah penyebar kebaikan digital—orang yang memilih kata-kata yang meneduhkan, bukan yang memperkeruh suasana.
Penutup: Jadilah Orang Pertama yang Menyalakan Nyala
Kebaikan itu seperti cahaya kecil di tengah gelap malam. Ia menular, ia berpindah, tapi selalu butuh satu orang pertama yang berani menyalakannya.
Jangan menunggu dunia jadi lembut untuk berbuat baik. Jadilah sebab dunia jadi lebih lembut. Mulailah dari senyum, dari ucapan hangat, dari niat tulus.
Dan bila suatu hari kamu merasa lelah berbuat baik, ingatlah—kebaikan tidak pernah hilang. Ia hanya berputar, menunggu saatnya kembali padamu dalam bentuk yang lebih indah.
Sebagaimana Allah berfirman:
إِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(QS. At-Taubah [9]: 120).
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
