Khazanah
Beranda » Berita » Kalau Nggak Dihargai, Tetap Lanjutkan Aja Kebaikanmu

Kalau Nggak Dihargai, Tetap Lanjutkan Aja Kebaikanmu

pemuda muslim berdiri di bawah cahaya senja, simbol kebaikan yang tetap tulus meski tak dihargai
Seorang pemuda muslim berdiri di jalan senja dengan cahaya lembut menerangi wajahnya, simbol ketulusan yang tetap bersinar meski tanpa sorotan manusia.

Surau.co. Ada masa ketika hati terasa lelah karena kebaikan yang kita lakukan tidak disambut dengan apresiasi. Sudah berusaha jujur, tapi dianggap naif. Sudah menolong orang lain, tapi malah dilupakan. Lalu muncul pertanyaan di dada: “Masih pantaskah aku berbuat baik kalau tak ada yang menghargai?”

Jawabannya sederhana tapi dalam: tetaplah lanjutkan kebaikanmu. Karena ukuran nilai kebaikan tidak ditentukan oleh tepuk tangan manusia, tetapi oleh ridha Allah yang melihat segala niat dan usaha, bahkan yang tersembunyi di relung hati.

Makna Kebaikan yang Tak Butuh Pengakuan

Kebaikan sejati bukan tentang siapa yang melihat, tapi tentang untuk siapa kita melakukannya. Sering kali, orang berhenti berbuat baik bukan karena mereka lelah, tapi karena mereka kecewa. Kecewa saat kebaikan dibalas dengan keburukan, atau saat ketulusan justru dianggap pencitraan. Padahal, Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. At-Taubah: 120)

Ayat ini meneguhkan hati bahwa setiap kebaikan, sekecil apa pun, tidak akan hilang di sisi Allah. Mungkin manusia lupa, tapi catatan langit tak pernah luput. Maka teruskanlah langkahmu meski tak ada yang berterima kasih.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Dalam pandangan para ulama, keikhlasan adalah inti dari amal. Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ berkata:

العملُ إذا خَلَصَ للهِ تعالى نَما، وإذا خالطهُ الرّياءُ تلاشى
“Amal jika dilakukan ikhlas karena Allah akan tumbuh (bernilai besar), tetapi jika bercampur riya’, ia akan sirna.”

Kebaikan yang dilakukan tanpa pamrih akan memiliki daya hidup panjang. Ia tumbuh, mengakar, dan berbuah di waktu yang bahkan tak kita duga.

Berbuat Baik Itu Ujian, Bukan Transaksi

Banyak orang berpikir kebaikan adalah investasi sosial — berbuat baik supaya dihargai. Padahal, bagi seorang mukmin, kebaikan bukan transaksi, tapi ujian. Ujian untuk melihat, sejauh mana ia mampu tetap tulus saat tak dipuji, tetap sabar saat diremehkan, dan tetap rendah hati saat dihormati.

Kebaikan yang sejati justru teruji saat tidak ada yang memperhatikannya. Rasulullah ﷺ bersabda:

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan bahwa nilai amal bukan diukur dari banyaknya pujian, tapi dari kedalaman niat. Maka, ketika tak ada yang menghargai, sesungguhnya Allah sedang menegur kita agar kembali mengecek niat: “Apakah aku berbuat baik untuk manusia, atau untuk-Nya?”

Kebaikan Itu Cahaya, dan Cahaya Tak Butuh Sorotan

Bayangkan lilin kecil di ruang gelap. Ia tidak bertanya, siapa yang melihat cahayanya. Ia hanya menyala, memberi terang, meski akhirnya habis dalam diam. Begitulah kebaikan sejati — ia tak butuh sorotan, tapi selalu membawa terang.

Kebaikan yang lahir dari hati yang ikhlas adalah cahaya. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut cahaya (النور) sebagai simbol petunjuk dan rahmat.
Allah berfirman:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
(QS. An-Nur: 35)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Jika Allah adalah sumber cahaya, maka setiap kebaikan yang kita lakukan karena-Nya adalah pantulan kecil dari cahaya itu. Ia tidak redup meski dunia tak memperhatikan.

Jadi, saat kamu merasa tak dihargai, jangan padamkan cahayamu. Teruslah bersinar dalam versi terbaikmu. Karena cahaya kebaikan tidak pernah sia-sia — ia selalu kembali, entah dalam bentuk ketenangan, keberkahan, atau ampunan.

Jangan Menunggu Apresiasi, Fokuslah pada Ridha Allah

Salah satu hal yang sering melemahkan semangat berbuat baik adalah rasa ingin dihargai. Padahal, penghargaan manusia sangat fluktuatif. Hari ini mereka memuji, besok bisa mencaci. Maka, alihkan fokus: dari mencari pengakuan manusia menuju mencari ridha Allah.

Ridha Allah adalah tujuan tertinggi yang tidak bergantung pada pandangan dunia. Syaikh Abu Bakar Syathā juga menerangakan dalam Kifāyatul Atqiyā’:

الرِّضا باللهِ يُورِثُ سُكونَ القلبِ وإنْ لمْ يَحصُلِ المرادُ
“Keridhaan kepada Allah menumbuhkan ketenangan hati meskipun keinginan belum tercapai.”

Artinya, orang yang berbuat baik karena Allah tidak akan kehilangan ketenangan meski tidak mendapatkan balasan dari manusia. Ia tahu bahwa setiap langkahnya telah dinilai oleh Yang Maha Adil.

Kebaikan Kecil, Nilai Besar di Sisi Allah

Sering kali kita menganggap kebaikan kecil itu tak berarti — seperti memberi senyum, menyingkirkan batu di jalan, atau sekadar menyapa orang dengan lembut. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا
“Janganlah meremehkan kebaikan sekecil apa pun.”
(HR. Muslim)

Setiap kebaikan, sekecil apa pun, jika dilakukan dengan ikhlas, akan mendapat ganjaran besar. Karena di mata Allah, ukuran amal bukan pada besarnya tindakan, tapi pada keikhlasan hati yang melakukannya.

Bisa jadi, senyummu pada orang yang sedang sedih lebih berharga daripada bantuan materi yang penuh pamrih. Bisa jadi, doa diam-diammu untuk seseorang yang menyakitimu, lebih tinggi nilainya di sisi Allah dibanding seribu kata maaf yang diucapkan untuk mencari simpati.

Ketulusan Membuat Kebaikan Tak Pernah Sia-Sia

Kita sering lupa, bahwa kebaikan selalu memiliki efek domino. Sekalipun tidak langsung kembali kepada kita, ia akan bergerak, berpindah, dan menumbuhkan kebaikan lain di tempat yang tak disangka.

Orang yang pernah menerima kebaikanmu mungkin tidak mengucap terima kasih. Tapi bisa jadi, ia terinspirasi untuk menolong orang lain. Dan di situlah keindahan amal jariyah — kebaikan yang tak berhenti di satu tangan, tapi terus mengalir sepanjang waktu.

Allah berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).”
(QS. Az-Zalzalah: 7)

Tak ada kebaikan yang hilang, bahkan yang sekecil zarrah. Maka jangan berhenti hanya karena dunia tampak tak peduli. Allah tahu setiap detak hati yang berjuang untuk tetap baik.

Menjadi Baik Bukan Karena Dunia, Tapi Karena Allah

Menjadi baik di tengah dunia yang serba perhitungan memang tidak mudah. Kadang, kebaikan dianggap kelemahan, kesabaran disalahartikan sebagai ketidakberdayaan. Namun, seorang mukmin sejati memilih tetap berjalan di jalan kebaikan, bukan karena dunia setuju, tapi karena Allah menyukai.

Ketenangan sejati bukan datang dari pengakuan, tapi dari keyakinan bahwa Allah tahu. Ketika kamu berbuat baik dan tidak dihargai, saat itu Allah sedang mengajarkan nilai yang lebih tinggi dari sekadar pujian: keikhlasan dan keteguhan.

Penutup: Kebaikan Tak Butuh Panggung, Cukup Langit Sebagai Saksi

Jangan hentikan langkah kebaikanmu hanya karena dunia menutup mata. Biarkan Allah yang menjadi saksimu. Karena kebaikan sejati adalah tentang terus melangkah meski tak ada sorotan, tetap menolong meski tak diminta, dan tetap sabar meski disalahpahami.

Hidup memang tidak selalu memberi ruang untuk dihargai. Tapi di setiap kesunyian itu, Allah hadir sebagai penonton yang paling setia. Ia tahu siapa yang benar-benar tulus, siapa yang mencintai tanpa pamrih, siapa yang tetap berbuat baik walau tak disebut.

Teruslah menanam, meski ladangmu tampak gersang. Karena di sisi Allah, setiap biji kebaikan akan tumbuh, disiram oleh rahmat, dan berbuah di waktu yang paling indah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement