Khazanah
Beranda » Berita » Kerja Keras Tapi Ikhlas, Di Era Sekarang Emang Bisa ya?

Kerja Keras Tapi Ikhlas, Di Era Sekarang Emang Bisa ya?

Pemuda muslim bekerja dengan cahaya senja, simbol kerja keras dan ikhlas.
Seorang pemuda muslim duduk di meja kerja dengan cahaya senja masuk dari jendela. Di belakangnya, tampak bayangan sujud — simbol antara kerja dunia dan ibadah.

Surau.co. Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, kata “ikhlas” sering terdengar seperti idealisme lama yang mulai memudar. Semua serba cepat, semua ingin hasil instan. Orang bekerja bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga agar dilihat berhasil. Media sosial menambah tekanan: setiap kerja keras seolah harus dibuktikan dengan pencapaian yang bisa dipamerkan.

Namun, di balik gemerlap dunia digital ini, pertanyaan batin muncul: apakah masih mungkin bekerja keras tapi tetap ikhlas? Bisakah seseorang mengerahkan seluruh tenaganya tanpa berharap validasi dari manusia, hanya mengharap ridha Allah?

Ikhlas di Tengah Dunia yang Serba Kompetitif

Ikhlas, dalam makna paling sederhana, berarti berbuat sesuatu semata karena Allah. Tanpa pamrih, tanpa ingin dipuji, tanpa berharap imbalan selain keberkahan dari-Nya. Tapi keikhlasan, di era persaingan seperti sekarang, justru menjadi ujian paling berat.
Kita bekerja, tapi di balik itu ada target, ada angka, ada standar keberhasilan duniawi yang tak bisa diabaikan. Apakah itu salah? Tidak. Islam tidak pernah melarang bekerja keras, bahkan justru mendorong umatnya untuk menjadi produktif. Rasulullah ﷺ bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
«إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ»
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan sempurna.”
(HR. al-Baihaqi)

Hadis ini menunjukkan bahwa kerja keras adalah bagian dari ibadah, selama niatnya benar. Namun, yang sering sulit adalah menjaga niat agar tetap murni, tidak tercampur dengan keinginan pengakuan atau kepentingan pribadi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Antara Ambisi Dunia dan Cita-cita Akhirat

Bekerja keras bukan berarti ambisius terhadap dunia itu salah. Islam justru menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Artinya: “Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.”
(QS. Al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini seolah mengingatkan bahwa dunia bukan tujuan, melainkan jalan. Kerja keras adalah bagian dari perjalanan itu, dan keikhlasan adalah bahan bakarnya. Tanpa ikhlas, kerja keras hanyalah lelah yang tidak berpahala.

Namun, justru di sinilah tantangan era sekarang. Banyak orang bekerja keras hingga lupa tujuan hakikinya. Bukan karena ingin beribadah, melainkan karena takut kalah, takut tertinggal, atau ingin diakui. Padahal, orang yang ikhlas tidak diukur oleh seberapa besar hasilnya, tapi seberapa murni niatnya.

Definisi Ikhlas Menurut Ulama Klasik

Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam kitab Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menjelaskan:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

الْإِخْلَاصُ هُوَ تَجْرِيدُ الْقَصْدِ عَنِ الْمَخْلُوقِينَ فِي الْعِبَادَةِ
Artinya: Ikhlas adalah memurnikan niat dari segala bentuk pandangan kepada makhluk dalam ibadah.

Artinya, seseorang dikatakan ikhlas ketika hatinya tidak lagi menimbang reaksi manusia terhadap amalnya. Ia bekerja, tapi hatinya hanya berharap pada Allah, bukan pada “like” atau “apresiasi”.

Ikhlas bukan berarti berhenti berprestasi. Justru sebaliknya, orang ikhlas bekerja lebih sungguh-sungguh karena ia tahu bahwa yang menilai bukan manusia, melainkan Allah. Ia tidak terjebak dalam siklus pujian dan kekecewaan.

Maka, bekerja keras dengan ikhlas berarti melibatkan hati dalam setiap usaha, bukan sekadar otot dan pikiran.

Dunia Digital dan Krisis Niat

Era digital membawa banyak manfaat, tapi juga menciptakan tantangan baru bagi keikhlasan. Setiap pencapaian bisa dipublikasikan, setiap hasil kerja bisa viral. Kadang niat yang semula lurus bisa bergeser tanpa disadari — dari ingin bermanfaat menjadi ingin dikenal.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Di sinilah keikhlasan diuji. Apakah kita bekerja karena Allah, atau karena algoritma Islam mengajarkan muhasabah, introspeksi niat secara berkala. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Setiap orang yang bekerja, baik di kantor, di lapangan, atau di dunia digital, perlu terus bertanya pada dirinya sendiri: “Untuk siapa aku melakukan ini?”

Menjaga niat memang tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil. Seperti halnya otot, keikhlasan juga bisa dilatih dengan kesadaran dan pengulangan.

Ikhlas Itu Bukan Lupa Diri, Tapi Menemukan Diri

Kadang orang salah paham: dikira orang ikhlas itu tidak peduli dengan hasil. Padahal, orang ikhlas tetap berusaha keras, hanya saja ia tidak menggantungkan harga dirinya pada hasil itu.

Ikhlas berarti memahami bahwa keberhasilan bukan hanya hasil akhir, tapi juga proses yang dijalani dengan sabar dan jujur. Dalam pandangan tasawuf, ikhlas adalah buah dari ma’rifah, yaitu kesadaran bahwa semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Ketika seseorang menyadari bahwa rezeki, kesuksesan, bahkan kegagalan pun bagian dari rencana-Nya, maka hati menjadi tenang. Sebagaimana dijelaskan Syaikh ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’:

مَنْ عَرَفَ اللَّهَ لَمْ يَغْتَرَّ بِغَيْرِهِ
Artinya: Barang siapa mengenal Allah, ia tidak akan tertipu oleh selain-Nya.

Ikhlas menjadikan seseorang bebas — bebas dari kebutuhan akan pengakuan, bebas dari tekanan dunia, bebas dari rasa iri terhadap orang lain. Ia bekerja bukan untuk menjadi lebih tinggi dari orang lain, tapi agar hatinya lebih dekat kepada Allah.

Strategi Menjaga Ikhlas di Tengah Rutinitas

  1. Mulai dengan niat yang jelas.
    Sebelum memulai aktivitas, niatkan dengan kalimat sederhana: “Aku bekerja karena Allah.” Kalimat kecil ini bisa menjadi kompas spiritual di tengah tekanan dunia kerja.
  2. Jangan bandingkan hasil.
    Perbandingan adalah racun bagi keikhlasan. Fokus pada prosesmu sendiri, bukan pencapaian orang lain.
  3. Latih syukur dan sabar.
    Orang yang ikhlas tidak mudah kecewa karena ia tahu setiap hasil, baik atau buruk, adalah takdir terbaik.
  4. Evaluasi niat secara berkala.
    Tanyakan kembali pada diri sendiri: apakah aku masih bekerja untuk Allah, atau sudah untuk manusia?
  5. Ingat akhirat sebagai tujuan.
    Dunia hanya sementara. Setiap kerja keras yang ikhlas akan dibayar dengan ganjaran abadi di sisi Allah.

Antara “Kerja Keras” dan “Kerja Sadar”

Di era cepat seperti sekarang, banyak orang sibuk tanpa arah. Mereka bekerja keras, tapi kehilangan makna. Sementara kerja ikhlas adalah kerja sadar — sadar bahwa setiap tenaga, pikiran, dan waktu adalah amanah.

Kerja ikhlas tidak membuat seseorang kehilangan ambisi, tapi menata ulang ambisi agar selaras dengan kehendak Allah. Ketika seseorang bekerja dengan kesadaran itu, maka lelahnya menjadi ibadah, keberhasilannya menjadi syukur, dan kegagalannya menjadi pelajaran.

Penutup: Lelah yang Bernilai

Ikhlas bukan perkara mudah. Ia seperti permata yang harus digali dari kedalaman hati. Kadang butuh waktu, kadang butuh jatuh-bangun, tapi hasilnya luar biasa: ketenangan.

Bekerja keras di era sekarang memang menuntut banyak hal — target, waktu, tenaga, bahkan kadang perasaan. Tapi ketika semuanya dipersembahkan kepada Allah, maka yang semula beban berubah menjadi ibadah.

Maka, teruslah berusaha. Bukan untuk dilihat manusia, tapi agar Allah melihat hatimu tetap tulus di tengah dunia yang riuh.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement