Khazanah
Beranda » Berita » Jangan Cinta ke Pacar, ke Allah Aja Dulu

Jangan Cinta ke Pacar, ke Allah Aja Dulu

Pemuda muslim menatap langit malam dengan cahaya lembut, simbol cinta kepada Allah yang menenangkan hati.
Pemuda muslim duduk di dekat jendela malam, diterpa cahaya lembut — simbol cinta kepada Allah yang menenangkan.

Surau.co. Cinta adalah bahasa universal. Siapa pun pernah merasakannya, bahkan sebelum tahu apa maknanya. Namun, di zaman sekarang, cinta sering kali menjadi bahan candaan, ajang eksistensi, atau pelarian dari sepi. Banyak anak muda muslim yang merasa “kosong” kalau belum punya pasangan, seolah cinta manusia menjadi sumber kebahagiaan utama. Padahal, ketika cinta bergeser dari arah Ilahi, yang datang justru luka dan kehilangan makna.

Artikel ini mengajak kita menata ulang cinta: bukan untuk menolak cinta manusia, tapi untuk mengembalikan urutannya — bahwa sebelum mencintai siapa pun, kita harus belajar mencintai Allah lebih dulu.

Cinta Itu Fitrah, Tapi Harus Tertata

Islam tidak menolak cinta. Rasulullah ﷺ pun mencintai istrinya, sahabatnya, dan umatnya. Namun, Islam menata cinta agar tidak berubah menjadi jerat hawa nafsu.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 165)

Ayat ini menegaskan bahwa cinta sejati bukan sekadar rasa, tetapi arah — ke mana cinta itu mengantarkan kita. Cinta yang tidak tertata bisa membuat kita lupa kepada sumber kebahagiaan sejati, yaitu Allah sendiri.

Pacaran Bukan Jalan Cinta yang Diberkahi

Bagi banyak muslim muda, pacaran sering dianggap sebagai bentuk “pendekatan sebelum menikah.” Padahal, dalam pandangan syariat, pacaran justru membuka banyak pintu syahwat yang menodai niat suci.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidak aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki setelahku daripada fitnah wanita.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Bukan berarti wanita adalah sumber masalah — tetapi ketika cinta tidak dikawal dengan iman, ia bisa menjerumuskan. Banyak pemuda dan pemudi yang awalnya hanya ingin “dekat”, berakhir dalam hubungan yang menjauhkan dari Allah. Pacaran sering kali membuat seseorang terlalu sibuk memikirkan makhluk hingga lupa menenangkan hati dalam dzikir kepada Sang Pencipta.

Cinta ke Allah Itu Bukan Klise

Ada yang berkata, “Cinta ke Allah itu abstrak. Gimana bisa cinta sama yang nggak kelihatan?” Pertanyaan ini justru menunjukkan bahwa banyak orang mengenal cinta hanya lewat fisik dan emosi, bukan lewat makna.

Dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’, Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī menjelaskan tentang hakikat cinta kepada Allah:

مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ صِدْقًا لَا يَسْتَرِيحُ إِلَّا بِذِكْرِهِ، وَلَا يَطْمَئِنُّ إِلَّا بِقُرْبِهِ، وَلَا يَسْكُنُ إِلَّا فِي طَاعَتِهِ

“Barang siapa mencintai Allah dengan sebenar-benarnya cinta, maka ia tidak akan merasa tenang kecuali dengan mengingat-Nya, tidak akan tenteram kecuali dengan dekat kepada-Nya, dan tidak akan damai kecuali dalam ketaatan kepada-Nya.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Cinta kepada Allah bukan perasaan yang melayang, tetapi kedekatan yang membuat hati tenang. Ia tumbuh dari dzikir, doa, dan pengenalan diri terhadap kebesaran-Nya. Inilah cinta yang tidak mengecewakan — karena Allah tidak pernah meninggalkan.

Mengganti Overthinking dengan Dzikir

Ketika cinta kepada manusia sering berakhir dengan overthinking, cinta kepada Allah justru membawa ketenangan. Bayangkan seorang pemuda yang terbiasa menatap layar ponsel menunggu pesan dari kekasihnya.

Begitu pesan tak kunjung datang, pikirannya gelisah, dadanya sesak, malamnya tak nyenyak. Bandingkan dengan seseorang yang menatap langit malam, berbisik dalam doa: “Ya Allah, Engkau yang paling tahu isi hatiku.”

Cinta kepada Allah menenangkan karena tidak menuntut balasan manusia. Ia tidak bergantung pada notifikasi, tapi pada keyakinan bahwa doa tidak pernah diabaikan. Allah berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)

Ayat ini bukan sekadar kalimat indah, tetapi resep hidup: ketika hati mulai cemas karena cinta manusia, kembalikan hatimu kepada Sang Pemilik Segalanya.

Belajar Mencintai Tanpa Memiliki

Cinta kepada Allah mengajarkan kita mencintai tanpa harus memiliki. Sering kali kita ingin segala hal berjalan sesuai keinginan — termasuk dalam urusan cinta. Namun, cinta sejati justru tumbuh ketika kita ikhlas menerima bahwa apa yang tidak kita miliki pun bisa menjadi jalan menuju Allah.

Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan ia terus mendekat kepada-Ku dengan amal-amal sunnah hingga Aku mencintainya.”
(HR. al-Bukhari)

Ketika Allah sudah mencintai seorang hamba, cinta manusia terasa ringan. Kita tidak lagi bergantung pada siapa yang datang atau pergi, karena yang paling penting: Allah tetap di hati.

Ridha: Puncak dari Cinta Ilahi

Cinta sejati tidak berhenti di kata “percaya”, tetapi naik menuju “ridha”. Ketika seseorang ridha pada takdir Allah, ia tidak lagi bertanya “kenapa bukan dia”, tetapi berkata “kalau memang bukan dia, berarti Allah punya yang lebih baik.”

Ridha bukan menyerah, tapi mempercayai rencana Allah lebih indah dari ekspektasi kita. Itulah cinta yang matang — bukan cinta yang gelisah, tetapi cinta yang menentramkan.

Move On Tanpa Kehilangan Makna

Banyak orang gagal move on karena hatinya masih terikat pada sosok, bukan pada nilai cinta itu sendiri. Padahal, setiap kehilangan bisa menjadi undangan untuk kembali kepada Allah. Kehilangan adalah guru yang mengajarkan bahwa cinta manusia terbatas, sedangkan cinta Allah abadi.

Jika dulu kita menunggu pesan dari seseorang yang tak lagi mengabari, sekarang ganti waktumu untuk menunggu waktu shalat. Jika dulu hatimu sibuk berharap kepada makhluk, kini belajar berharap kepada Sang Pencipta.

Cinta kepada Allah bukan berarti menolak cinta manusia, tapi menempatkannya dalam hierarki yang benar. Ketika Allah menjadi pusat cinta, maka mencintai manusia pun akan terasa ringan, karena semuanya berawal dan berakhir pada-Nya.

Cinta yang Tidak Menguras, Tapi Menguatkan

Cinta manusia sering menguras tenaga dan air mata. Namun, cinta kepada Allah justru menambah kekuatan. Ketika kau lelah mencintai manusia yang tak memahami hatimu, ingatlah bahwa Allah selalu mendengar setiap bisikan yang tak terucap.

Syaikh ad-Dimyāthī berkata:

مَنْ ذَكَرَ اللَّهَ فِي وَقْتِ الْهُمُومِ، نُزِعَ الْغَمُّ مِنْ قَلْبِهِ وَوُضِعَ فِي قَلْبِهِ نُورُ الرَّجَاءِ

“Barang siapa mengingat Allah di saat hatinya gundah, maka kesedihan akan dicabut dari hatinya dan digantikan dengan cahaya harapan.”

Penutup: Cinta yang Menghidupkan, Bukan Melelahkan

Pada akhirnya, cinta yang paling menenangkan adalah cinta yang menghidupkan, bukan cinta yang melelahkan. Cinta kepada Allah membuat kita kuat bahkan ketika tidak memiliki siapa pun. Ia tidak butuh validasi, tidak menuntut balasan, dan tidak hilang meski waktu berjalan.

Jadi, kalau hatimu sedang patah karena cinta manusia, jangan buru-buru mencari pengganti. Cari Allah dulu. Cintai Dia lebih dulu, maka Dia akan ajarkan bagaimana mencintai yang lain dengan cara yang benar.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي وَمِمَّا أُحِبُّ مِنَ الدُّنْيَا

“Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu lebih aku cintai daripada diriku sendiri dan dari apa pun yang kucintai di dunia ini.”
(HR. an-Nasa’i).

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement