SURAU.CO – SKEMA (Sketsa Masyarakat): Resensi A House of Dynamite. Usai membesut film drama kriminal Detroit (2017), Sutradara Kathryn Bigelow—berusia 74 tahun pada 27 Nopember 2025—datang lagi mengoyak harapan umat manusia akan masa depan dunia yang damai melalui A House of Dynamite (AHoD), sebuah thriller politik apokaliptik dalam potensi ancaman perang nuklir yang pelik.
AHoD berkisah tentang sebuah rudal balistik antarbenua (ICBM) yang mendadak tertangkap radar sedang menuju Chicago, Amerika Serikat. Pada awalnya penonton diajak menduga-duga siapa yang berani melakukan provokasi ekstrem begini: Korea Utara? Rusia? Tiongkok? Iran? Atau, jangan-jangan, ada pihak lain dalam kecanggihan arsitektur geopolitik berlapis tipuan: yang sebetulnya lawan namun menampilkan gestur seorang kawan?
Setelah dua upaya pencegatan udara untuk menembak jatuh rudal siluman gagal total
Pertanyaan tentang SIAPA (negara pelaku pengirim rudal) menjadi tak lagi relevan. Bigelow dengan cekatan mendera pikiran penonton pada pertanyaan lebih eksistensial tentang BAGAIMANA (jika rudal mencapai sasaran)? Apakah sistem pertahanan AS sedigdaya yang dikoar-koarkan?
Maka 18 menit terakhir perjalanan ICBM disajikan bukan dalam pertunjukan pyrotechnique luar ruang bertabur efek spesial layaknya sajian mayoritas film perang dengan asap mesiu bergulung-gulung dan jeritan histeris korban yang menyobek langit, melainkan melalui dialog dan mikro ekspresi para petinggi institusi keamanan AS di dalam Situation Room dan War Room Gedung Putih sebelum POTUS (President of the United States) bergabung belakangan karena sudah terjadwal lebih dulu menghadiri eksebisi bola basket bagi murid-murid perempuan di sebuah institusi pendidikan.
Bigelow menyajikan intensitas 18 menit ancaman perang nuklir dalam pola itinerasi (pengulangan) tiga kali dari sudut pandang berbeda, yakni POV komandan NORTHCOM/The United States Northern Command di pangkalan pertahanan rudal Fort Greely, Alaska; dari POV Presiden sebagai panglima militer tertinggi, dan dari POV Menteri Pertahanan yang terdistraksi dengan problem keluarga akibat sikap putrinya.
Gaya realisme prosedural ini dilakukan Bigelow untuk membawa penonton terhadap perbedaan fragmentatif, beban inefisiensi, dan dilema prioritas birokrasi pada momen superkritis bagi kelangsungan hidup negara.
Skenario padat tajam garapan Noah Oppenheim
Mantan jurnalis dan presiden NBC News, begitu rinci dengan taburan akronim yang jarang didengar penonton film genre sejenis. Ini disebabkan pengalaman Oppenheim mewawancarai sekian banyak tokoh penting pemerintahan AS terhadap satu pertanyaan fundamental: bagaimana protokol yang harus dijalani pemerintah jika negara berada dalam ancaman nyata serangan nuklir? Hasil wawancara itulah yang diolah Oppenheim menjadi skenario AHoD. Fiksi namun tidak fiktif.
Beban berat skenario tersebut, untungnya, mampu dihayati dan ditafsirkan ensembel pemain dengan memukau. Mulai dari Rebecca Ferguson (sebagai Kapten Olivia Walker, perwira Ruang Situasi Gedung Putih), Anthony Ramos (Mayor Daniel Gonzales, komandan Fort Greely), Gabriel Basso (Jake Baerington, Wakil Penasihat Keamanan Nasional), Jared Harris (Menteri Keamanan Reid Baker), serta aktor kawakan Idris Elba (POTUS) yang melontarkan ucapan-separuh-keluhan metaforis nihilis, “Kita seperti hidup di dalam rumah yang dipenuhi dinamit siap meledak.” Bagaimana cara mengambil dinamit namun rumah tetap utuh menjadi puncak tantangan.
Tetapi kemudian, penonton hanya mendapatkan layar hitam sebagai akhir tontonan. Tak ada kepastian keputusan akhir POTUS apakah melakukan retaliasi sebagai wujud kesepakatan M.A.D (Mutually Assured Destruction) warisan era Perang Dingin bahwa jika satu negara melakukan serangan nuklir kepada negara lain, maka negara yang diserang berhak melakukan pembalasan serupa atau lebih besar, sehingga keduanya hancur lebur berantakan. Ataukah POTUS mengambil keputusan krusial lainnya?
Pengakhiran cerita yang dipilih Bigelow
Perempuan sutradara pertama peraih Oscar melalui The Hurt Locker (2008)-memiliki konsekuensi penonton akan terbagi dalam dua kelompok. Either you hate it or love it. Tidak ada pilihan ketiga.
Penonton penyuka akhir cerita yang pasti, bakal kesal setelah dua jam mengikuti AHoD karena film ini tidak seperti Zero Dark Thirty (2012), film Bigelow yang mendramatisasi penangkapan Osama bin Laden dengan ending yang sudah diketahui dunia. Sementara penonton yang tak suka semua elemen cerita dikunyahkan sutradara, akan memuji cara Bigelow menyodorkan kebebasan imajinatif kepada mereka.
Sebab, meski tak ada kiamat nuklir tersaji di layar, ledakan gigantik itu tetap terjadi di benak penonton. Sederhana saja. Bigelow tak memberi kesempatan adanya jalan keluar dari kehancuran Amerika Serikat, negara garda depan dalam pengembangan senjata nuklir sesuai dengan hukum tabur-tuai yang berlaku di muka bumi, di bawah sinar matahari. Tanpa kecuali.
Jakarta, 31 Oktober 2025. Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional. Tanggapan untuk resensi ini bisa dikirimkan melalui e-mail. (Akmal Nasery Basral)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
