SURAU.CO– Bilal ibn Rabah, sahabat Nabi Muhammad dari golongan mustaḍʿafīn. Ia tetap mempertahankan agama Allah meski kaum musyrik menganiaya dan menyiksanya. Rasulullah Saw. memercayainya menjadi muazin karena suaranya yang lantang dan merdu, memberinya julukan “si burung camar Islam.”
Bilal dikenal sebagai orang yang sangat kukuh memegang keyakinannya dan selalu menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Ia pun senantiasa menunaikan amanat yang diberikan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Ia akan menjaga amanat tersebut dengan kukuh dan menyampaikannya kepada orang yang berhak menerima. Ketika datang kewajiban untuk berjihad, Bilal tidak pernah absen dari kaum muslimin lain. Ia selalu bergegas bergabung dalam barisan pasukan, kemudian berperang bersama kaum muslimin dengan gagah berani.
Memohon Izin Berjihad Setelah Wafatnya Nabi
Sebenarnya Bilal telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa setelah Rasulullah Saw. wafat, ia tidak akan lagi mengumandangkan azan. Oleh karena itu, setelah Rasulullah Saw.wafat, ia segera menghadap Khalifah Abu Bakar dan memohon izin untuk pergi ke Syam. Abu Bakar menjawab,
“Tetapi, sebelum kau berangkat ke sana, lakukanlah tugas itu (menjadi muazin) untukku.”
Apa jawaban Bilal ketika mendengar permintaan khalifah Rasulullah Saw. itu? Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Numair, dari Muhammad ibn Ubaid, dari Ismail, dari Qais bahwa Bilal berkata kepada Abu Bakar,
“Jika Tuan membeliku untuk dirimu maka kau boleh menahanku, tetapi jika Tuan membeliku karena Allah maka bebaskanlah aku dan seluruh amalanku untuk Allah.”
Abu Bakar mampu memahami permintaannya dan memenuhinya. Ia berkata kepada Bilal, “Sesuai kehendakmu, pergilah.” Setelah mendapat izin dari Khalifah Abu Bakar, Bilal pergi menuju Syam dan menetap di sana.
Permintaan Kedua kepada Umar
Al-Thabrani meriwayatkan bahwa setelah Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam wafat, Bilal datang menghadap Abu Bakr dan berkata,
“Wahai Khalifah Rasulullah, aku mendengar bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sebaik-baik amal seorang mukmin adalah jihad di jalan Allah’ dan aku sangat ingin membaktikan diriku di jalan Allah hingga ajal menjemputku.”
Abu Bakr menjawab, “Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, hai Bilal, demi hak dan kehormatanku, aku sudah tua dan ajalku sudah dekat.”
Mendengar jawaban Khalifah, Bilal memutuskan untuk tetap tinggal di Madinah mendampingi Abu Bakr. Setelah Khalifah Abu Bakr wafat, Bilal menghadap Khalifah Umar ra. dan kembali mengutarakan maksudnya untuk mengundurkan diri dari posisi muazin. Namun, jawaban Khalifah Umar pun tidak berbeda jauh dari jawaban Khalifah Abu Bakr.
Umar raḍiyallāhu ‘anhu bertanya, “Mengapa kau tidak lagi bersedia mengumandangkan azan?” Bilal menjawab, “Aku mengumandangkan azan untuk Rasulullah Saw. hingga beliau wafat, kemudian aku mengumandangkan azan untuk Abu Bakar hingga ia wafat, sebab dialah yang telah membebaskan diriku dari perbudakan dan memberiku kehidupan. Selain itu, aku ingin pergi karena telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Hai Bilal, tidak ada amal perbuatan yang lebih utama dari berjihad di jalan Allah.’”
Azan di Tanah Syam dan Pernikahan
Setelah itu, Bilal langsung bertolak menuju Syam untuk berjihad. Selama beberapa waktu sebelum mendapat izin, Bilal mengumandangkan azan untuk Khalifah Umar ibn al-Khattab. Ketika pasukan muslimin berhasil menaklukkan salah satu kota di wilayah Syam, Bilal mengumandangkan azan untuk pertama kalinya di sana. Banyak orang menangis mendengar suaranya. Suara Bilal mengingatkan mereka kepada sang junjungan yang telah tiada, manusia yang paling mulia, Rasulullah Muhammad Saw.
Suatu hari, Bilal dan saudaranya pergi melamar dua orang wanita untuk mereka berdua. Bilal berkata kepada ayah dua wanita itu,
“Aku Bilal dan ini saudaraku. Dahulu kami adalah budak dari Abisinia. Kami berdua hidup dalam kesesatan, kemudian Allah memberi petunjuk kepada kami dan membebaskan kami dari perbudakan. Jika engkau bersedia menikahkan kami, kami bersyukur dan memuji Allah; jika tidak, sungguh Allah Mahaagung.”
Ibn al-Atsir mencatat sebuah hadis dalam Asad al-Ghābah, bahwa Abu al-Darda meriwayatkan ketika Umar ibn al-Khattab memasuki Baitul Makdis, Bilal memohon agar ia dapat penugasan ke Syam. Khalifah Umar ra. menyetujuinya. Bilal berkata, “Lalu bagaimana dengan saudaraku, Abu Ruawihah, yang telah dipersaudarakan oleh Rasulullah?” Umar ra. menjawab, “Ya, saudaramu juga.”
Pernikahan Bilal
Setelah itu, keduanya pergi menuju perkampungan Dariya di daerah Khaulan. Mereka berkata kepada orang yang mereka tuju di sana,
“Kami berdua sengaja datang untuk meminang kedua putrimu. Dahulu kami kafir, lalu Allah memberi kami petunjuk. Dulu kami adalah budak. Allah memerdekakan kami. Dulu, kami berdua adalah orang fakir, kemudian Allah memberi kami kekayaan. Jika engkau bersedia menikahkan kami, kami bersyukur (alhamdulillah); dan jika engkau menolak kami, (Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil ‘azhīm).”
Orang itu bersedia menikahkan putrinya kepada Bilal dan Abu Ruawihah.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
