Kisah
Beranda » Berita » Kisah Kedermawanan Abu Thalhah Al-Ansari

Kisah Kedermawanan Abu Thalhah Al-Ansari

SURAU.CO – Dalam sejarah Islam, kisah para sahabat Nabi Muhammad SAW senantiasa menjadi sumber inspirasi yang tak lekang oleh waktu. Salah satu teladan paling menyentuh tentang keikhlasan dan pengorbanan adalah kisah Abu Thalhah al-Ansari. Beliau adalah seorang sahabat yang menunjukkan bukti nyata kecintaannya kepada Allah SWT dengan merelakan hartanya yang paling berharga. Kisah ini bukan sekadar cerita, melainkan manifestasi dari keimanan yang mendalam dan pemahaman sejati akan hakikat kepemilikan.

Anas RA meriwayatkan, “Di seluruh kawasan Madinah, Abu Thalhah al-Ansari adalah pemilik tanah perkebunan yang paling luas.” Di antara sekian banyak hartanya, ada satu yang paling istimewa baginya. Harta tersebut adalah sebuah kebun kurma yang subur dan indah bernama Bairuha’. Kebun ini tidak hanya bernilai materi tinggi, tetapi juga memiliki kedekatan emosional dengannya. Lokasinya sangat strategis, tepat berhadapan dengan Masjid Nabawi, dan Rasulullah SAW sendiri sering masuk ke dalamnya untuk berteduh serta meminum airnya yang segar dan jernih. Kebun Bairuha’ adalah properti yang paling dia sayangi, sebuah permata di antara aset-asetnya yang melimpah. Kecintaan terhadap harta adalah fitrah manusia, namun keimanan sejati mampu melampaui rasa cinta tersebut.

Panggilan Iman yang Menggetarkan Hati

Kehidupan Abu Thalhah berubah selamanya ketika sebuah wahyu turun kepada Rasulullah SAW. Ayat tersebut kemudian menjadi pedoman bagi umat Islam dalam berinfak. Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 92:

“Sekali-kali kalian tidak akan memperoleh kebaikan sehingga kalian menginfakkan harta yang kalian sukai.”

Ayat ini turun dan langsung mengetuk relung hati Abu Thalhah. Ia tidak hanya mendengar atau membacanya, tetapi meresapinya dengan segenap jiwa. Segera setelah Abu Thalhah membaca ayat ini, ia merenung sejenak. Firman Allah tersebut seolah berbicara langsung kepadanya, menantang tingkat keimanannya. Ia menyadari bahwa untuk mencapai al-birr, atau kebaikan yang sempurna, ia harus mempersembahkan sesuatu yang lebih dari sekadar sisa atau apa yang tidak lagi ia butuhkan. Ia harus memberikan apa yang paling ia cintai. Tanpa keraguan, bayangan kebun Bairuha’ yang indah dan dicintainya melintas di benaknya.

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Dengan hati yang mantap, Abu Thalhah kemudian menemui Rasulullah. Ia tidak menunda-nunda panggilan imannya. Langkahnya penuh keyakinan, menunjukkan bahwa perintah Allah lebih utama dari segala harta duniawi. Pertemuannya dengan Rasulullah menjadi momen bersejarah yang diabadikan dalam tinta emas sirah nabawiyah, memberikan pelajaran berharga bagi generasi-generasi setelahnya tentang makna pengorbanan yang sesungguhnya di jalan Allah.

Persembahan Terbaik di Jalan Allah

Di hadapan Sang Nabi, Abu Thalhah mengungkapkan isi hatinya dengan penuh ketulusan. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Kita telah diperintahkan Allah untuk menginfakkan harta yang kita sukai. Saat ini tidak ada harta yang aku sukai kecuali tanah perkebunanku yang luas dan indah. Aku infakkan semua itu di jalan Allah.”Ia melanjutkan dengan penuh kepasrahan, “Sekarang aku serahkan tanah perkebunanku kepada Anda dan Anda bebas mempergunakannya yang terbaik menurut anda.” Pernyataan ini menunjukkan totalitas penyerahan dirinya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Mendengar pengakuan tulus tersebut, wajah Rasulullah SAW menunjukkan kekaguman. Beliau bersabda, “Bagus, itu adalah harta yang menguntungkan, itu adalah harta yang menguntungkan.” Rasulullah mengapresiasi keikhlasan Abu Thalhah, namun beliau juga memberikan arahan yang terbaik. Beliau tidak serta-merta mengambil alih kebun tersebut untuk kepentingan umum, melainkan memberikan nasihat bijak, “Aku telah mendengar apa yang telah kamu ucapkan dan aku memandang agar kamu menyedekahkannya kepada para kerabatmu yang dekat.”

Nasihat Rasulullah ini menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan ikatan kekeluargaan. Sedekah kepada kerabat memiliki dua nilai pahala: pahala sedekah itu sendiri dan pahala menyambung tali silaturahmi. Tanpa berpikir panjang, Abu Thalhah segera melaksanakan petunjuk tersebut. Ia membagi-bagikan kebun Bairuha’ kepada sanak kerabat dan anak-anak dari pamannya, mengubah harta yang paling ia cintai menjadi investasi abadi di akhirat. Kisah ini mengajarkan kita bahwa sedekah terbaik bukanlah tentang jumlah, melainkan tentang nilai pengorbanan dan keikhlasan hati dalam memberikan apa yang paling kita cintai.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement