Surau.co. Banyak orang masih salah paham tentang makna zuhud. Ketika mendengar kata itu, mereka sering membayangkan hidup miskin, menolak dunia, atau menjauh dari kenikmatan. Padahal, Islam tidak mengajarkan manusia untuk menolak dunia, tetapi untuk menguasainya tanpa menjadi budaknya.
Manusia Allah ciptakan bukan untuk membenci dunia, melainkan untuk memaknainya dengan bijak. Dunia memang bukan musuh, tetapi juga bukan tujuan. Ia hanyalah ladang tempat manusia menanam amal, bukan istana tempat beristirahat.
Allah ﷻ berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.”
(QS. Al-Qashash [28]: 77)
Ayat ini menegaskan pentingnya keseimbangan: manusia boleh menikmati dunia, asalkan kenikmatan itu tidak menjauhkan dirinya dari Allah. Dengan kata lain, zuhud berarti mampu menempatkan dunia di tangan, bukan di hati.
Makna Zuhud dalam Pandangan Ulama
Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syathā ad-Dimyāthī dalam Kifāyatul Atqiyā’ wa Minhājul Ashfiyā’ menjelaskan:
الزهد تركُ الرغبةِ فيما لا ينفع في الآخرة
“Zuhud adalah meninggalkan keinginan terhadap hal-hal yang tidak bermanfaat bagi akhirat.”
Artinya, orang yang zuhud tidak menolak rezeki, jabatan, atau kesenangan duniawi. Sebaliknya, ia menempatkan semuanya sesuai porsi — tanpa menjadikannya pusat kehidupan. Ia tetap bekerja, berusaha, bahkan bisa kaya, tetapi hatinya tidak pernah bergantung pada dunia.
Selain itu, sejarah Islam mencatat banyak tokoh kaya yang tetap zuhud. Utsman bin Affan رضي الله عنه, misalnya, hidup sebagai saudagar sukses namun tetap dermawan luar biasa. Ia menggunakan hartanya untuk mendekat kepada Allah, bukan untuk meninggikan nama.
Dengan demikian, zuhud berarti memiliki dunia tanpa membiarkan dunia memiliki hati. Ia adalah seni menjaga kebebasan batin dari keserakahan.
Zuhud Bukan Tentang Pakaian Lusuh
Sebagian orang mengira bahwa tanda zuhud terletak pada pakaian compang-camping dan hidup serba kekurangan. Padahal, Nabi Muhammad ﷺ selalu tampil rapi, bersih, dan berwibawa. Beliau mengenakan pakaian terbaik sesuai kemampuan, tetapi tidak pernah terpaut pada kemewahan.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits riwayat Ibnu Majah:
لَيْسَ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ، وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ، وَلَكِنَّ الزُّهْدَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدِ اللَّهِ
“Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta. Zuhud adalah ketika apa yang ada di tanganmu tidak lebih engkau percayai daripada apa yang ada di sisi Allah.”
(HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menjelaskan bahwa inti zuhud terletak pada ketenangan hati. Orang yang zuhud yakin sepenuhnya bahwa rezeki, kedudukan, dan nikmat sejati berasal dari Allah semata.
Tanda Zuhud: Saat Dunia Tak Lagi Mengendalikanmu
Zuhud tidak bergantung pada seberapa banyak harta yang dimiliki seseorang, tetapi pada bagaimana ia memperlakukan hartanya. Seseorang bisa hidup miskin tetapi tetap menjadi budak dunia karena pikirannya dipenuhi keinginan. Sebaliknya, orang kaya bisa hidup zuhud karena hatinya tenang dan mudah berbagi.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tanda-tanda orang zuhud ada tiga:
-
Ia tidak terlalu gembira atas dunia yang diperoleh.
-
Ia tidak terlalu sedih atas dunia yang hilang.
-
Ia tidak iri terhadap apa yang dimiliki orang lain.
Tiga hal ini tampak sederhana, tetapi memerlukan latihan hati yang mendalam. Dunia sering menyeret manusia ke pusaran ambisi tanpa ujung. Oleh karena itu, zuhud hadir sebagai rem spiritual agar manusia tidak terjebak menjadi budak dunia yang haus validasi dan kenikmatan semu.
Antara Pekerjaan dan Zuhud: Bisa Sekaligus
Banyak orang mengira bahwa bekerja keras bertentangan dengan zuhud. Padahal, Islam justru menempatkan kerja sebagai ibadah jika diniatkan karena Allah. Nabi ﷺ dan para sahabatnya menjadi teladan terbaik: mereka berdagang, berjihad, dan berjuang tanpa kehilangan ketenangan batin.
Selain itu, zuhud tidak mendorong kemalasan. Sebaliknya, ia melahirkan produktivitas yang berkualitas, karena orientasinya bukan pada angka, melainkan keberkahan. Orang zuhud berani berkata “cukup”, tetapi tetap berbuat baik tanpa henti. Ia terus berjuang tanpa menuhankan hasil.
Syaikh Abu Bakar ad-Dimyāthī menjelaskan dalam Kifāyatul Atqiyā’:
الزاهدُ يعملُ للدنيا عملَ مَن لا يحتاج إليها، وللآخرة عملَ مَن لا يعيش إلاّ لها
“Orang zuhud bekerja untuk dunia seolah ia tidak membutuhkannya, dan beramal untuk akhirat seolah ia tidak akan hidup kecuali untuknya.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa orang zuhud tetap menjalankan tanggung jawab duniawi, tetapi hatinya sepenuhnya bergantung pada akhirat.
Zuhud di Era Digital: Dunia di Genggaman
Di era media sosial, ujian zuhud semakin berat. Dunia kini hadir di genggaman: dalam bentuk likes, followers, dan validasi digital. Banyak orang merasa berharga hanya ketika mendapatkan perhatian.
Padahal, zuhud sejati berarti merdeka dari penilaian manusia. Jika dulu orang menimbun emas, kini banyak yang menimbun atensi. Oleh karena itu, menjadi zuhud di era digital berarti mampu menggunakan media sosial tanpa membiarkannya menguasai batin.
Kita boleh aktif di dunia maya, tetapi jangan membiarkan dunia maya menentukan kadar kebahagiaan kita.
Ketika Hati Sudah Penuh, Dunia Tak Lagi Menggoda
Zuhud sejati tumbuh dari kondisi batin yang penuh dengan Allah. Hati yang telah dipenuhi cinta kepada-Nya tidak mudah tergoda oleh gemerlap dunia. Sebaliknya, hati yang kosong akan mencari pengganti di luar dirinya, lalu terperangkap dalam pencarian yang tak berujung.
Rasulullah ﷺ bersabda:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia pun akan mencintaimu.”
(HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa zuhud melahirkan cinta sejati: cinta dari Allah dan cinta dari manusia. Orang zuhud tidak bersaing dalam mengejar dunia, tetapi berlomba dalam menebar kebaikan.
Zuhud: Jalan Tengah antara Syukur dan Tawakal
Zuhud tidak berarti menolak nikmat, melainkan menyikapinya dengan rasa syukur dan tawakal. Orang yang zuhud mensyukuri nikmat tanpa kesombongan dan menerima kehilangan tanpa keputusasaan.
Ia memandang dunia sebagai amanah, bukan milik pribadi. Apa pun yang dimilikinya ia anggap sebagai titipan yang harus dijaga dan dibagi. Dengan begitu, zuhud menjadikan manusia kokoh di tengah perubahan zaman. Ia tetap tenang di tengah arus, karena hatinya berlabuh pada Yang Maha Tetap.
Penutup: Dunia Itu Cermin, Bukan Rumah
Pada akhirnya, zuhud bukan berarti menutup mata dari dunia, melainkan membuka mata batin agar tidak tertipu olehnya. Dunia hanyalah cermin yang memantulkan cahaya akhirat. Jika seseorang pandai memaknainya, dunia justru menjadi jalan menuju Allah.
Mari kita belajar menjadi manusia yang tidak membenci dunia, tetapi juga tidak terikat olehnya. Dunia boleh mempesona, tetapi jangan sampai menawan hati. Sebab, hati yang terikat pada dunia akan hancur bersama kefanaannya.
Dengan demikian, zuhud adalah seni melepaskan — agar hati tetap lapang untuk mencintai Allah tanpa batas.
*Gerwin Satria N
Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
