Khazanah
Beranda » Berita » Dari Mekah ke Minangkabau: Infiltrasi Wahabi Pertama dan Tragedi Gerakan Padri

Dari Mekah ke Minangkabau: Infiltrasi Wahabi Pertama dan Tragedi Gerakan Padri

Ilustrasi perang padri di masa lalu.
Ilustrasi perang padri di masa lalu.

SURAU.CO-Sejak beberapa dekade yang lalu, dalam buku-buku pelajaran sejarah resmi di sekolah-sekolah umumnya hanya memperkenalkan Perang Padri sebagai perang melawan pendudukan penjajah Belanda. Akibatnya, publik mengenal para Padri sebagai pahlawan yang gagah berjuang membela tanah air. Ironisnya, sisi kekerasan dan afiliasi mereka dengan ajaran Wahabi tidak pernah terungkap dan hanya beredar pada kalangan para ahli saja. Oleh karena itu, penting untuk menelusuri penggalan lain sejarah Gerakan Padri tersebut.

Vonis Sesat Terhadap Tarekat Syattariyah dan Tasawuf

Pada awal abad ke-19, Gerakan Padri bermula saat Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif berkenalan dengan Wahabi ketika mereka menunaikan ibadah haji. Saat itu, Wahabi menguasai Makkah dan Madinah. Karena terpesona oleh gerakan Wahabi, Haji Miskin berusaha melancarkan gerakan pemurnian sepulangnya ke Nusantara (Indonesia), dan dua haji lainnya mendukung upaya ini. Sejalan dengan Wahabi, pemikiran dan gerakan mereka memvonis tarekat Syattariyah, dan tasawuf secara umum, yang sudah hadir dalam masyarakat Minangkabau berabad-abad sebelumnya.

Mereka menganggap tarekat ini sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi, sebab di dalamnya terkandung banyak takhayul, bid‘ah, dan khurafat yang harus mereka luruskan, bahkan mereka perangi. Sebagai contoh, Tuanku Nan Renceh memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri, karena Tuanku Nan Tuo memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Bahkan, Tuanku Nan Renceh mengkafirkan Fakih Saghir, sahabat dan teman seperguruannya, dan menyebutnya sebagai raja kafir dan rahib tua, hanya karena ia tidak berbagi pandangan keagamaan dengannya.

Fikih Versi Padri: Kewajiban Janggut

Selain mengikuti kegemaran Wahabi yang memusyrikkan, mengkafirkan, dan memurtadkan siapa pun yang berbeda, beberapa kekerasan yang para Padri lakukan meliputi penerapan hukum yang sama sekali asing dalam diktum hukum Islam. Misalnya, mereka mewajibkan memelihara janggut dan mendenda 2 suku (setara dengan 1 gulden) bagi siapa pun yang mencukurnya. Mereka melarang pemotongan gigi dengan ancaman denda seekor kerbau bagi pelanggarnya. Selain itu, mereka menetapkan denda 2 suku bagi laki-laki yang lututnya terbuka; denda 3 suku bagi perempuan yang tidak menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan tangan; mereka mendenda 5 suku bagi yang meninggalkan shalat fardlu untuk pertama kali, dan memberlakukan hukum mati untuk berikutnya.

Praktik Takfiri, Perbudakan, dan Rampasan Perang atas Sesama Muslim

Parahnya lagi, para Padri juga melegalkan perbudakan. Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padri terkemuka dan dikenal sebagai pahlawan nasional, memiliki tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan. Budak-budak ini, sebagian, mereka dapatkan sebagai hasil rampasan perang yang mereka lancarkan terhadap sesama Muslim karena mereka anggap kafir. Selanjutnya, Padri juga melakukan kekerasan lain terhadap sesama Muslim di Minangkabau, antara lain penyerangan terhadap istana Pagaruyung pada tahun 1809. Serangan ini bermula dari tuduhan Tuanku Lelo, tokoh Padri, bahwa beberapa keluarga raja, seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang, dan seorang anak raja lainnya, tidak menjalankan akidah Islam secara benar dan ia anggap kafir, sehingga mereka harus mengalami ekseskusi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Tragedi Istana Pagaruyung: Pembantaian Keluarga Kerajaan dan Penghulu

Akibatnya, pembantaian massal pun mereka lakukan terhadap para anggota keluarga dan pembantu raja, termasuk para penghulu yang dekat dengan istana. Pada tahun 1815, mereka kembali melakukan serangan di bawah komando Tuanku Lintau. Dalam serangan kali ini, Gerakan Padri membunuh hampir seluruh keluarga kerajaan yang sudah memeluk Islam sejak abad ke-16 itu. Bahkan, kekejaman Padri tidak hanya terbatas pada hal itu saja. Tercatat, Tuanku Nan Renceh menghukum mati bibinya sendiri yang sudah tua. Kemudian ia tidak membolehkan jenazahnya untuk mendapatkan prosesi penguburan yang layak. Melainkan membuangnya ke hutan. Hal ini semata-mata karena ia mengunyah sirih yang Wahabi haramkan. Jelaslah bahwa apa yang kaum Padri lakukan ini sama persis dengan apa yang Wahabi lakukan pada masa formasinya dan oleh pengikutnya seperti al-Qaedah dan Taliban sampai dewasa ini.

Tamatnya Padri, Bertahannya Virus

Pada akhirnya, Gerakan Padri berakhir.  Selain karena faktor penjajahan, juga karena secara alamiah gerakan tersebut bertentangan dengan suasana, tradisi, dan budaya bangsa Indonesia. Fakta ini membuktikan secara konkret betapa virus Wahabi yang menjangkiti jantung dunia Islam bisa menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dunia Islam. Meskipun Gerakan Padri berakhir, hal itu tidak mengakhiri penyusupan Wahabi ke Indonesia.(St.Diyar)

Referensi:KH. Abdurrahman Wahid(Ed), Ilusi Ne­gara Islam: Ekspansi Ge­rakan Islam Transnasio­nal di Indo­ne­sia, 2009

 

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement