SURAU.CO – Kisah-kisah dalam sejarah Islam seringkali menyimpan pelajaran berharga yang tak lekang oleh waktu. Salah satu yang paling terkenal adalah dialog antara Nabi Sulaiman AS dengan seekor semut. Meskipun tampak sederhana, percakapan ini mengandung makna mendalam tentang keimanan, tawakal, dan cara memandang rezeki. Kisah ini bukan sekadar cerita pengantar tidur, melainkan sebuah refleksi agung tentang bagaimana seorang hamba seharusnya bersandar hanya kepada Allah SWT.
Pada suatu masa, Nabi Sulaiman AS sedang melakukan perjalanan. Di tengah jalan, perhatiannya tertuju pada seekor semut kecil. Semut itu terlihat sangat kepayahan. Ia sedang memikul sebutir biji kurma yang ukurannya jauh lebih besar dari tubuhnya. Nabi Sulaiman, yang diberi mukjizat memahami bahasa binatang, kemudian menyapa semut tersebut. Ia bertanya, “Wahai semut, untuk apa engkau membawa beban seberat ini?”
Dengan penuh keyakinan, semut itu menjawab. “Ini adalah rezeki yang Allah jaminkan untukku. Setiap tahun, aku menerima sebutir kurma sebagai makananku.”
Ujian Keimanan dan Pengelolaan Rezeki
Mendengar jawaban yang lugas itu, Nabi Sulaiman berniat memberikan sebuah pelajaran. Ia kemudian berkata, “Masuklah ke dalam botol ini. Aku akan memberimu bukan hanya satu, tetapi dua butir kurma. Botol ini akan kututup rapat. Setahun lagi, aku akan kembali untuk melihat keadaanmu.”
Semut itu pun setuju. Ia masuk ke dalam botol yang telah disiapkan. Nabi Sulaiman meletakkan dua butir kurma di dalamnya, lalu menutup botol itu dengan rapat. Waktu pun berlalu dengan cepat. Tepat satu tahun kemudian, Nabi Sulaiman kembali ke tempat tersebut untuk memenuhi janjinya.
Ketika membuka botol itu, ia merasa sangat terkejut. Nabi Sulaiman mendapati bahwa semut itu hanya memakan setengah dari satu biji kurma. Sementara itu, satu biji kurma lainnya masih utuh, tidak tersentuh sama sekali. Padahal, ia mengira kedua kurma itu akan habis.
Dengan penuh rasa heran, Sulaiman bertanya, “Mengapa engkau tidak menghabiskan kurma yang kuberikan? Bukankah engkau berkata bahwa satu kurma adalah jatah makananmu untuk setahun?”
Jawaban semut itu menjadi sebuah tamparan lembut yang penuh hikmah. “Wahai Nabi Allah, selama ini Tuhanku, Allah SWT, yang selalu menjamin rezekiku. Aku tahu Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah lupa. Karena itu, aku menghabiskan jatahku tanpa ragu. Namun, kali ini engkaulah yang memberiku makan. Engkau adalah manusia. Aku khawatir jika engkau lupa atau bahkan wafat tahun depan. Bagaimana jika engkau tidak bisa memberiku makan lagi? Oleh karena itu, aku berhemat dan berpuasa. Aku menyimpan sisanya untuk berjaga-jaga.”
Nabi Sulaiman terdiam. Ia memuji kebijaksanaan semut kecil itu yang telah mengingatkannya pada sebuah kebenaran agung.
Pelajaran Utama: Hakikat Tawakal kepada Allah
Pelajaran pertama dan yang paling utama dari kisah ini adalah tentang tawakal. Tawakal berarti menggantungkan segala harapan dan urusan hanya kepada Allah semata. Makhluk, sehebat apa pun dia, pada hakikatnya lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak memiliki kuasa untuk memberi manfaat atau mendatangkan mudarat tanpa izin dari Allah. Keyakinan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran: 173.
Artinya: “(Yaitu) orang-orang (yang menta`ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”
Begitu pula dalam surah az-Zumar [39]: 38, Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.”
Kisah ini mengajarkan bahwa seorang istri tidak perlu takut ditinggal suaminya, atau anak-anak takut kehilangan orang tuanya. Sebab, sumber rezeki sejati bukanlah manusia, melainkan Allah Yang Maha Pemberi Rezeki.
Pentingnya Hidup Hemat dan Sederhana
Pelajaran kedua adalah tentang pentingnya berlaku hemat dan tidak boros. Semut tersebut memberikan contoh nyata bagaimana mengelola sumber daya dengan bijak. Apa yang kita miliki hari ini belum tentu akan tetap ada di masa depan. Roda kehidupan terus berputar. Kondisi manusia selalu berubah seiring berjalannya waktu.
Oleh karena itu, sikap moderat atau jalan tengah adalah pilihan terbaik. Islam tidak mengajarkan kita untuk menjadi kikir hingga menyiksa diri sendiri. Akan tetapi, Islam juga melarang keras sikap boros yang dapat menjerumuskan pada penyesalan. Sikap boros akan terasa dampaknya ketika masa sulit datang. Sebaliknya, sikap kikir hanya akan menjadikan harta sebagai tuan yang memperbudak pemiliknya.
Allah SWT mengingatkan kita untuk senantiasa berada di tengah-tengah, seperti yang tertuang dalam surah al-Isra’ [17]:29:
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Pada akhirnya, kisah Nabi Sulaiman dan seekor semut ini menjadi pengingat abadi. Ia mengajarkan kita untuk menyandarkan harapan hanya kepada Sang Pencipta. Selain itu, ia juga mendorong kita untuk menjadi pribadi yang bijak dalam mengelola nikmat yang telah dianugerahkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
