Sosok
Beranda » Berita » Habib Ali bin Husein al-Athas, Mutiara dari Betawi yang Bersahaja

Habib Ali bin Husein al-Athas, Mutiara dari Betawi yang Bersahaja

SURAU.CO – Habib Ali bin Husein al-Athas, yang lebih terkenal dengan nama Habib Ali Bungur, adalah salah satu dari tiga serangkai ulama habib yang sangat masyhur di tanah Betawi. Namanya bersanding dengan Habib Ali Kwitang dan Habib Salim bin Jindan. Julukan “Bungur” melekat padanya karena ia menghabiskan akhir hayatnya di kawasan Bungur, Jakarta Pusat. Beliau dikenal sebagai sosok ulama yang hidupnya sederhana, tawadhu, dan teguh dalam memegang prinsip.

Lahir di Huraidhah, Hadramaut, pada 1 Muharram 1309 H atau sekitar tahun 1889, Habib Ali tumbuh dalam keluarga yang taat beragama. Kecerdasan dan semangat belajarnya yang luar biasa sudah terlihat sejak usia dini. Pada usia enam tahun, ia telah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an di bawah bimbingan ibundanya. Menginjak usia 12 tahun, ia sudah menguasai kitab-kitab penting seperti Shahih Bukhari-Muslim, Fatawa Qubro, dan Minhaj. Perjalanan menuntut ilmunya berlanjut hingga ke Makkah pada tahun 1912, di mana ia bermukim selama lima tahun untuk belajar dari para ulama di Hijaz.

Menebar Dakwah di Jakarta

Sekitar tahun 1920, Habib Ali memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Awalnya, ia menetap di kawasan Cikini, yang pada masa itu merupakan daerah yang dihuni oleh masyarakat miskin. Beliau memilih untuk tinggal dan berbaur dengan rakyat jelata. Kepedulian sosialnya sangat tinggi, ia tidak hanya berdakwah tentang ilmu keislaman tetapi juga sangat memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Dakwahnya menekankan pentingnya cinta tanah air dan semangat perjuangan melawan penjajah, serta mendorong terbentuknya negara Indonesia yang bersatu.

Kesederhanaan adalah ciri yang paling melekat pada diri Habib Ali Bungur. Meskipun banyak muridnya yang ingin memberikan fasilitas yang lebih baik, ia selalu memilih untuk naik angkutan umum seperti becak saat bepergian untuk berdakwah. Sikapnya yang merakyat, tidak membedakan antara yang kaya dan miskin, serta keberaniannya dalam membela kebenaran membuat umat sangat mencintainya. Bahkan, ia tidak segan untuk menegur para pejabat yang datang kepadanya agar menghilangkan jurang pemisah antara pemimpin dan rakyat.

Jaringan Keilmuan dan Warisan Intelektual

Setibanya di Indonesia, semangat belajar Habib Ali tidak pernah surut. Beliau berguru kepada para ulama besar di tanah air, di antaranya adalah Habib Abdullah bin Muhsin al-Athas di Bogor dan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Athas di Pekalongan. Selain itu, beliau juga menimba ilmu dari Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi di Surabaya dan Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar di Bondowoso.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Kealiman Habib Ali menjadikannya rujukan bagi banyak ulama dan tokoh masyarakat. Banyak ulama terkemuka yang menjadi muridnya, seperti KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili. Murid-muridnya tersebar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia dan Singapura. Di samping mengajar dan berdakwah, Habib Ali juga merupakan seorang penulis. Beliau meninggalkan beberapa karya tulis, di antaranya adalah kitab Tajul A’ras fi Manaqib al-Qutub al-Habib Shaleh bin Abdullah al-Athas yang membahas tasawuf dan Tarekat Alawiyah, serta kitab Al-Qirthas yang merupakan syarah dari Ratib al-Athas.

Habib Ali bin Husein al-Athas wafat pada tanggal 16 Februari 1976 dalam usia 88 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, Condet, Jakarta Timur. Beliau meninggalkan warisan berupa keteladanan dalam kesederhanaan, kepedulian sosial, dan semangat keilmuan yang tak pernah padam. (dari berbagai sumber)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement