Opinion
Beranda » Berita » Kekuatan Cinta dan Pengorbanan Seorang Anak

Kekuatan Cinta dan Pengorbanan Seorang Anak

Kekuatan Cinta dan Pengorbanan Seorang Anak
Kekuatan Cinta dan Pengorbanan Seorang Anak

 

SURAU.CO – Di layar televisi itu terpampang kisah nyata yang menampar nurani siapa pun yang masih memiliki hati: “Anak 12 Tahun Putus Sekolah Demi Bantu Ayah Lumpuh.” Sebuah judul berita sederhana, tapi menyimpan lautan makna tentang cinta, tanggung jawab, dan realita kehidupan yang sering kali tak berpihak pada yang lemah.

Berita itu datang dari Bengkulu—sebuah daerah yang mungkin jauh dari hiruk pikuk kota besar, tetapi di sanalah kasih sayang sejati sedang dipertontonkan tanpa skenario, tanpa pencitraan. Seorang anak kecil, yang seharusnya mengisi hari-harinya dengan belajar dan bermain, justru memilih berhenti sekolah agar bisa membantu ayahnya yang lumpuh.

Ketika Masa Kecil Dirampas oleh Kenyataan

Dalam usia 12 tahun, kebanyakan anak sedang berjuang menghafal pelajaran, menulis cita-cita di buku harian, atau bermain bola dengan tawa lepas. Namun, bagi anak ini, masa kecilnya harus ia korbankan untuk sesuatu yang jauh lebih berat: bertahan hidup dan berbakti kepada orang tua.

Ia mungkin tidak mengerti arti “pengorbanan” dalam teori, tapi ia mempraktikkannya dengan sempurna. Tangan kecilnya menggantikan tangan ayah yang tak lagi bisa bekerja. Bahunya yang kurus menanggung beban keluarga yang seharusnya tak sebesar itu.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Bukankah ini bentuk birrul walidain—bakti kepada orang tua—yang sesungguhnya?

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

> “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
(QS. Luqman: 14)

Ayat ini bukan sekadar perintah, tapi juga gambaran betapa besar nilai bakti seorang anak di sisi Allah. Dan sungguh, anak 12 tahun itu telah menjadi teladan dalam menjalankan perintah Ilahi, meskipun mungkin tanpa ia sadari.

Ujian Hidup yang Memuliakan

Ketika dunia melihatnya sebagai “anak miskin yang putus sekolah”, barangkali Allah melihatnya sebagai “anak saleh yang sedang diuji untuk dimuliakan”.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ujian hidup sering kali datang dalam bentuk kehilangan: kehilangan harta, kesempatan, bahkan masa kecil. Tapi bagi orang beriman, setiap kehilangan adalah peluang untuk mendekat pada Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Sesungguhnya besarnya balasan itu tergantung pada besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka.”
(HR. At-Tirmidzi, no. 2396)

Maka boleh jadi, anak kecil itu sedang menempuh jalan cinta Ilahi—ditempa dengan sabar, diuji dengan air mata, agar kelak Allah menyiapkan kedudukan yang tinggi baginya.

Cermin bagi Kita yang Lupa Bersyukur

Berita seperti ini seharusnya bukan hanya mengundang rasa iba, tetapi juga menggugah rasa syukur.
Kita yang sering mengeluh karena pekerjaan, karena tidak punya waktu liburan, atau karena keinginan dunia yang belum terpenuhi—pernahkah membayangkan jika kita berada di posisi anak itu?

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Ia tidak meminta belas kasihan. Ia hanya berbuat yang bisa ia lakukan dengan cinta dan tanggung jawab. Ia tidak menyalahkan keadaan. Ia justru mengisinya dengan amal kecil yang besar di sisi Allah.

Sungguh, di tengah dunia yang semakin materialistis, anak 12 tahun itu telah mengajarkan makna spiritual yang dalam: bahwa kemuliaan bukan diukur dari seragam sekolah, tapi dari keteguhan hati dalam menghadapi ujian hidup.

Harapan dari Tepi Derita

Kisah ini seharusnya menjadi panggilan bagi kita semua—baik pemerintah, masyarakat, maupun individu—untuk tidak menutup mata terhadap anak-anak seperti dia. Pendidikan seharusnya tidak berhenti hanya karena keterbatasan ekonomi.

Pemerintah punya tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan setiap anak Indonesia berhak atas pendidikan yang layak. Dan masyarakat pun punya tanggung jawab sosial untuk saling peduli, saling membantu, tanpa harus menunggu viral di media.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Barang siapa menghilangkan satu kesulitan dari seorang mukmin di dunia, maka Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kiamat.”
(HR. Muslim, no. 2699)

Maka membantu anak ini, atau siapa pun yang bernasib sama, bukan sekadar amal sosial, melainkan investasi akhirat.

Penutup: Cahaya dari Rumah yang Retak

Gambar yang terlihat di televisi itu menunjukkan rumah sederhana, dinding bata tanpa plester, cahaya yang masuk dari jendela tanpa kaca. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada cahaya iman yang jauh lebih terang—cahaya bakti dan kasih sayang yang mungkin tak ditemukan di rumah megah mana pun.

Dari ruang sempit di Bengkulu itu, kita belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kemewahan, tapi dari ketulusan.
Bahwa cinta sejati tidak diukur dari kata-kata, tapi dari pengorbanan.
Dan bahwa anak 12 tahun itu, tanpa sadar, telah menjadi guru kehidupan bagi kita semua.

Semoga Allah memberi kesembuhan bagi sang ayah, kekuatan bagi sang anak, dan kesadaran bagi kita yang menonton agar tak sekadar merasa iba—tapi benar-benar tergerak untuk peduli.

> “Tidak akan berkurang harta karena sedekah, dan Allah tidak menambah kepada seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan.”
(HR. Muslim)

Mari belajar dari mereka yang diuji, agar kita tidak sombong dengan nikmat yang diberi. (Oleh: Tengku Iskandar – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement