SURAU.CO. Sembilan puluh tujuh tahun silam, tepatnya 28 Oktober 1928, sebuah babak penting terukir dalam lembaran sejarah Indonesia. Bukan di gedung megah, melainkan di sebuah kongres sederhana di Jalan Kramat Raya, Jakarta, puluhan pemuda dari penjuru Nusantara berkumpul. Mereka datang tanpa atribut kebesaran, tanpa kendaraan yang mewah, tetapi yang mereka bawa hanyalah satu cita-cita luhur: Indonesia yang bersatu, melampaui sekat suku, bahasa, dan agama. Dari pertemuan bersejarah itulah lahir ikrar agung yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Sebuah deklarasi yang kini menjadi fondasi kokoh persatuan bangsa.
Semangat 1928 Bukan Sumpah Seremonial
Para pemuda di tahun 1928 itu bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Ini bukan sekadar sumpah seremonial. Ini adalah tekad membara yang sanggup mengguncang cengkeraman penjajahan. Kala itu, perhatian pemuda tidak tertuju pada gawai atau konten viral. Mereka justru sibuk menganalisis situasi, berpikir kritis, dan merencanakan langkah strategis. Mereka menyadari betul bahwa nasib bangsa tidak akan berubah jika generasinya hanya berdiam diri.
Kongres Pemuda II menjadi titik balik pergerakan nasional. Tokoh-tokoh inspiratif seperti Soegondo Djojopoespito, Mohammad Yamin, dan Wage Rudolf Supratman muncul sebagai representasi semangat lintas daerah. Dari Batak hingga Ambon, dari Jawa hingga Sulawesi, semua sepakat untuk menanggalkan ego kedaerahan. Mereka mengusung satu identitas baru: Indonesia. Momen paling mengharukan adalah ketika lagu “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya diperdengarkan. Hati para pemuda bergetar, merasakan denyut nyanyian kemerdekaan jauh sebelum kemerdekaan itu sendiri tiba. Sebuah orkestrasi emosi yang menyatukan.
Tantangan Pemuda Saat Ini
Semangat heroik itulah yang kini seringkali terasa jauh dari diri banyak pemuda. Setelah hampir satu abad merdeka, Indonesia memang telah berdiri tegak. Namun, apakah pemudanya benar-benar merdeka dari sikap apatis dan individualistis? Pertanyaan ini seharusnya menjadi renungan bagi kita semua.
Kita hidup di era serba instan. Jari lebih cepat bergerak di layar gawai daripada hati yang berpikir mendalam. Banyak pemuda kini lebih fokus pada pencitraan diri di media sosial daripada peran nyata di masyarakat. Mereka mudah tersinggung, mudah “baper”—bahkan terhadap kritik konstruktif yang seharusnya menjadi bahan introspeksi. Padahal, para pendahulu kita tidak baper saat dijajah. Mereka tidak menyerah saat ditindas. Mereka justru bangkit dan berperan dengan menulis, berdiskusi, bergerak, dan bersatu dalam semangat juang.
Musuh Baru Pemuda: Penjajahan Mental
Perbedaan zaman memang tidak dapat disangkal. Namun, nilai-nilai perjuangan seharusnya tetap relevan. Jika dulu musuh pemuda adalah penjajahan fisik, maka kini musuhnya adalah penjajahan mental. Kemalasan berpikir, keterikatan berlebihan pada dunia maya, dan ketidakpedulian terhadap sesama menjadi tantangan baru. Banyak yang terjebak dalam “zona nyaman digital.” Mereka sibuk mengomentari tanpa mau terlibat bahkan mudah memviralkan, tapi enggan berkontribusi nyata.
Padahal, bangsa ini sangat membutuhkan jiwa-jiwa muda yang berani berpikir kritis dan berbuat nyata. Dunia pendidikan membutuhkan pemuda yang menginspirasi, bukan sekadar meniru. Dunia sosial membutuhkan pemuda yang memelihara empati, bukan hanya mengeluh dan dunia politik membutuhkan pemuda yang berintegritas, bukan yang mudah tergoda sensasi.
Membangkitkan Semangat Sumpah Pemuda
Maka, memperingati Sumpah Pemuda bukan hanya mengenang masa lalu. Ini adalah momentum untuk menghidupkan kembali semangat persatuan dan tanggung jawab kebangsaan. Pemuda hari ini harus mampu menjadi “penggerak perubahan” di tengah kompleksitas zaman. Bukan hanya mahir membuat konten, tetapi juga mampu membangun konteks. Bagaimana teknologi dapat digunakan untuk kemaslahatan umat, bukan sekadar kesenangan semata.
Kita membutuhkan pemuda yang peka terhadap realitas sosial. Mereka yang mau turun ke lapangan, mendengar keluhan masyarakat kecil, dan berupaya mencari solusi. Kita membutuhkan pemuda yang tidak takut berbeda pendapat, tapi tetap santun dalam berdialog dan kita juga membutuhkan pemuda yang berani mencintai negerinya tanpa pamrih bukan sekadar memamerkan nasionalisme di media sosial.
Saatnya Pemuda Berperan Bukan Baperan
Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari keberanian untuk bersatu. Para pemuda 1928 tidak menunggu situasi ideal untuk bergerak tetapi mereka justru menciptakan kondisi itu sendiri. Begitu pula hari ini: perubahan tidak akan datang jika pemuda hanya menjadi penonton pasif.
Saatnya berhenti baper dan mulai berperan. Bangsa ini tidak akan maju hanya dengan generasi yang sensitif terhadap komentar. Bangsa ini membutuhkan generasi yang sensitif terhadap penderitaan bangsanya. Seperti kata Bung Karno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Maka kini, mari bertanya pada diri sendiri: apakah kita termasuk di antara sepuluh pemuda itu?
Pemuda sejati tidak hanya bangga mengenang sejarah tetapi berani menulis sejarah baru dengan tindakan nyata dan keteladanan.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
