SURAU.CO – Bagi para santri di Indonesia, kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah tentu sudah tidak asing lagi. Kitab ini menjadi panduan dasar dalam mempelajari ilmu sharaf. Banyak pesantren di Tanah Air yang menggunakannya sebagai kurikulum wajib. Namun, tidak semua orang mengenal sosok pengarangnya, yaitu KH. Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi. Beliau merupakan seorang ulama besar yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan balaghah.
Ma’shum bin Ali memiliki nama lengkap Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi al-Maskumambangi. Ia lahir pada tahun 1877 di Desa Maskumambang, Gresik. Darah ulama mengalir dalam dirinya, karena ia adalah cucu dari Kiai Abdul Jabbar, pendiri Pondok Pesantren Maskumambang. Perjalanan hidupnya menunjukkan dedikasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan. KH. Ma’shum bin Ali wafat pada tanggal 8 Januari 1933 atau bertepatan dengan 24 Ramadhan 1351 H.
Jejak Intelektual dari Gresik ke Tebuireng
Pendidikan agama KH. Ma’shum pertama kali mulai di lingkungan keluarganya sendiri. Ia belajar langsung kepada sang ayah, Kiai Ali, serta pamannya, Kiai Faqih Maskumambang. Dari pamannya pula ia mulai mengenal dasar-dasar ilmu falak atau astronomi. Lingkungan pesantren sejak kecil telah membentuk karakter keilmuannya yang kuat.
Setelah merasa cukup dengan bekal ilmu dasar, KH. Ma’shum melanjutkan perjalanannya untuk menuntut ilmu. Ia berangkat ke Pondok Pesantren Tebuireng untuk berguru kepada ulama besar, KH. Hasyim Asy’ari. Di sana, ia tercatat sebagai salah satu santri generasi pertama. Ketekunannya dalam belajar membuatnya menonjol di antara para santri lainnya. Ia tidak hanya mendalami nahwu dan sharaf, tetapi juga fiqh, hadits, tafsir, hingga balaghah. Selama di Tebuireng, ia terkenal sangat gigih dalam memperdalam ilmu hadits, yang menjadikannya salah satu santri kepercayaan sang kiai.
Perjalanan ke Makkah dan Pernikahan Strategis
Ketekunan dan kecerdasan KH. Ma’shum membuat KH. Hasyim Asy’ari menaruh perhatian khusus padanya. Akhirnya, sang guru mengangkatnya menjadi menantu. Ia dinikahkan dengan putri KH. Hasyim Asy’ari yang bernama Nyai Khairiyah. Ikatan ini semakin memperkuat posisinya dalam lingkar keilmuan Tebuireng. Tak lama setelah menikah, KH. Ma’shum mendapat perintah dari mertuanya untuk melanjutkan studi ke Makkah.
Perintah ini menunjukkan tradisi ulama terdahulu yang selalu merasa haus akan ilmu. Meskipun sudah diakui kealimannya, mereka tetap rendah hati untuk terus belajar. Makkah pada saat itu merupakan pusat peradaban ilmu Islam dunia. Di sanalah KH. Ma’shum bin Ali berguru kepada para ulama terkemuka. Beberapa di antaranya adalah Syekh Umar bin Shaleh as-Samarani, Syekh Baqir al-Jukjawi, Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi, dan Syekh Mahfudz at-Tarmasi, seorang ulama besar asal Nusantara yang mendunia.
Mendirikan Pesantren Seblak dan Keahlian Ilmu Falak
Sekembalinya dari Tanah Suci, KH. Ma’shum tidak langsung kembali ke Gresik. Ia justru mendirikan sebuah pondok pesantren di Jombang yang bernama Pondok Pesantren Seblak Diwek pada tahun 1913. Inilah sebabnya ia lebih dikenal sebagai ulama dari Jombang, bukan Gresik. Bahkan, kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah karyanya sering disebut sebagai “Tasrifan Jombang” oleh para santri.
Awalnya, ia mendirikan sebuah bangunan kecil untuk menyiarkan Islam di Dusun Seblak. Seiring berjalannya waktu, bangunan itu berkembang menjadi sebuah pondok pesantren dan masjid. Meskipun sudah memiliki pesantren sendiri, KH. Ma’shum tetap mengabdi dan mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng. Berkat penguasaannya dalam berbagai bidang ilmu, ia menjadi rujukan penting bagi para santri Tebuireng selain KH. Hasyim Asy’ari sendiri.
Selain ahli dalam ilmu tata bahasa Arab, KH. Ma’shum bin Ali juga terkenal sebagai pakar ilmu falak. Keahliannya ini ia tuangkan dalam beberapa karya tulis. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Badiah al-Mitsal fi Hisabi al-Sinin wa al-Hilal. Kitab ini menjelaskan konsep penentuan awal bulan dalam kalender Hijriah. Kitab falak lainnya yang ia karang adalah Al-Darusu al-Falakiyyah. Karya-karya ini menjadi bukti keluasan ilmu, menantu pendiri Nahdlatul Ulama tersebut. ( Tri/dari berbagi sumber)
Referensi Buku :
Warisan Ulama Nusantara: Biografi dan Karya Intelektual Mereka karya Ainun Lathifah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
