Surau.co. Dalam hidup yang serba cepat ini, tidak ada manusia yang luput dari ujian. Kadang rencana berantakan, karier tertunda, atau orang yang kita cintai pergi begitu saja. Di tengah derasnya notifikasi dan tekanan sosial, hati manusia mudah lelah. Kita sering bertanya, “Kenapa harus aku yang mengalami ini?” Namun di titik rapuh itu, Risālatul Mu‘āwanah karya Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad mengajarkan satu sikap yang sederhana tapi dalam: husnudzan — berprasangka baik kepada Allah, bahkan dalam hal-hal yang tampak menyakitkan.
Habib Abdullah mengajarkan bahwa berbaik sangka bukanlah bentuk penyangkalan terhadap kenyataan, melainkan cara menyelamatkan hati dari tenggelam dalam keluh kesah. Sebab, orang yang mampu melihat setiap ujian sebagai bagian dari rencana kasih sayang Allah, akan merasakan kedamaian yang tidak bisa dibeli oleh apa pun di dunia.
Ketika Hidup Nggak Berjalan Sesuai Rencana
Setiap manusia punya rencana, tapi tidak semua berjalan mulus. Ada yang kehilangan pekerjaan padahal sudah berjuang keras. Ada yang gagal menikah padahal sudah yakin itu “jodohnya”. Bahkan ada yang kehilangan orang tua tanpa sempat berpamitan. Hidup tidak selalu sesuai ekspektasi, dan di situlah keimanan diuji.
Allah berfirman:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini bukan sekadar nasihat sabar, tapi peringatan lembut bahwa pandangan manusia terbatas. Di balik hal-hal yang kita benci, Allah mungkin sedang menyiapkan jalan baru yang lebih baik. Maka, husnudzan menjadi kunci untuk melihat makna di balik luka.
Makna Husnudzan menurut Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad
Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib Abdullah al-Hadad berpesan:
«فَحَسِّنِ الظَّنَّ بِرَبِّكَ فِي جَمِيعِ الْأُمُورِ»
“Berbaik sangkalah kepada Tuhanmu dalam segala urusan.”
Kalimat ini tampak singkat, tapi mencakup seluruh dimensi kehidupan. Husnudzan bukan hanya saat kita diberi rezeki, tapi juga saat rezeki tertahan. Bukan hanya ketika sehat, tapi juga saat sakit. Habib Abdullah mengingatkan bahwa prasangka baik bukan tanda ketidaktahuan, melainkan cermin dari keyakinan bahwa Allah selalu lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Beliau juga berkata:
«مَنْ حَسُنَ ظَنُّهُ بِاللَّهِ حَسُنَ عَمَلُهُ وَصَفَا قَلْبُهُ»
“Siapa yang baik sangkanya kepada Allah, maka baik pula amalnya dan bersih hatinya.”
Artinya, husnudzan tidak berhenti pada pikiran positif, tapi melahirkan amal saleh dan ketenangan batin. Orang yang hatinya bersih tidak mudah iri, tidak cepat putus asa, dan tidak suka menyalahkan takdir.
Latihan Husnudzan dalam Realitas Modern
Namun, bagaimana cara mempraktikkan husnudzan di era modern ketika dunia terasa begitu keras? Ketika berita buruk datang setiap jam, dan media sosial penuh perbandingan yang membuat kita merasa kurang?
Habib Abdullah mengajarkan tiga langkah sederhana dalam Risālatul Mu‘āwanah: muhasabah, dzikir, dan tawakal.
- muhasabah — menilai diri sendiri sebelum menilai takdir. Ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, tanyakan: “Apakah aku sudah berusaha sebaik mungkin?” Jika sudah, lepaskan hasilnya kepada Allah.
- dzikir — menjaga hati agar tidak tenggelam dalam kebisingan dunia. Dengan mengingat Allah, pikiran menjadi jernih dan hati tenang.
- tawakal — menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah tanpa kehilangan semangat untuk berbuat.
Dalam kehidupan sehari-hari, husnudzan juga berarti berhenti menunda bahagia. Bahagia bukan karena semua berjalan mulus, tapi karena kita yakin setiap kejadian mengandung hikmah yang belum kita pahami. Seperti kata Habib Abdullah, “Allah tidak akan menutup satu pintu kecuali telah menyiapkan pintu lain yang lebih luas.”
Dzikir Sebagai Terapi Hati
Husnudzan tidak bisa tumbuh tanpa dzikir. Dzikir adalah “jangkar hati” yang menenangkan ketika dunia bergolak. Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ»
“Jadikanlah lidahmu selalu basah dengan mengingat Allah.”
(HR. Tirmidzi)
Dzikir bukan hanya gerakan lisan, tapi latihan jiwa untuk menghadirkan Allah dalam setiap napas. Saat hati sibuk mengingat Allah, pikiran negatif akan perlahan surut. Kita belajar untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap ujian, melainkan meresponsnya dengan ketenangan.
Habib Abdullah menyebut dzikir sebagai “penyubur hati”. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:
«إِذَا ذَكَرْتَ اللَّهَ، نَزَلَتِ السَّكِينَةُ وَاطْمَأَنَّ الْقَلْبُ»
“Ketika engkau mengingat Allah, maka ketenangan turun dan hati menjadi tenteram.”
Maka, orang yang berdzikir bukan berarti melarikan diri dari masalah, tapi sedang membangun kekuatan batin untuk menghadapi hidup dengan senyum yang lebih dalam.
Melihat Cobaan Sebagai Surat Cinta dari Allah
Tidak ada ujian yang datang tanpa izin Allah, dan tidak ada kesulitan yang dibiarkan tanpa jalan keluar. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib Abdullah menggambarkan ujian sebagai cara Allah mengasah cinta dan keimanan hamba-Nya.
Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
Bagi orang yang husnudzan, ayat ini bukan ancaman, melainkan pelukan. Cobaan adalah bukti bahwa Allah masih memperhatikan kita. Sebab, tidak mungkin seorang guru menguji murid yang sudah ia lupakan.
Habib Abdullah mengajarkan bahwa dalam setiap ujian ada “rahmat tersembunyi”. Kadang Allah menunda keinginan kita agar hati tidak terpaut pada dunia. Kadang Allah menguji dengan kehilangan agar kita belajar mencintai dengan cara yang benar — bukan dengan memiliki, tapi dengan merelakan.
Husnudzan: Jalan Ketenangan yang Tidak Mahal
Di era modern ini, orang berlomba mencari ketenangan dengan cara mahal: liburan jauh, meditasi berbayar, atau terapi jiwa. Namun, Habib Abdullah mengajarkan bahwa ketenangan sejati justru lahir dari prasangka baik kepada Allah. Tidak ada biaya untuk husnudzan, hanya butuh latihan keikhlasan dan waktu untuk menata hati.
Seseorang yang berhusnudzan hidupnya lebih ringan. Ia tidak lagi memikul beban masa lalu, tidak mengeluh berlebihan atas masa kini, dan tidak cemas berlebihan terhadap masa depan. Ia percaya bahwa segala sesuatu sudah diatur dengan bijak. Ia berjalan dengan hati lapang, bukan karena tidak punya masalah, tapi karena percaya Allah memegang kendali penuh atas segalanya.
Husnudzan juga membentuk hubungan sosial yang lebih sehat. Orang yang terbiasa berprasangka baik kepada Allah, akan lebih mudah berprasangka baik kepada sesama. Ia tidak gampang curiga, tidak cepat menuduh, dan lebih mudah memaafkan. Dengan begitu, ketenangan batin meluas menjadi ketenangan sosial.
Penutup: Melihat Dunia dengan Kacamata Cahaya
Hidup ini tidak selalu terang, tapi dengan husnudzan, bahkan kegelapan pun bisa memantulkan cahaya. Dalam setiap kehilangan, Allah sedang memberi ruang bagi hal yang baru. Dalam setiap kegagalan, Allah sedang mengajari kita arti sabar yang sebenarnya.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berpesan:
«إِذَا نَزَلَتْ بِكَ الْمِحْنَةُ، فَاذْكُرِ النِّعْمَةَ، تَتَحَوَّلِ الْمِحْنَةُ نِعْمَةً»
“Jika engkau ditimpa musibah, ingatlah nikmat Allah, maka musibah itu akan berubah menjadi nikmat.”
Begitulah seni melihat dunia dengan kacamata cahaya. Husnudzan bukan sekadar teori kesabaran, tapi latihan mencintai Allah dengan cara yang tenang. Sebab, orang yang berbaik sangka pada Allah tidak pernah kehilangan arah, meski langkahnya tertatih.
Dan pada akhirnya, ketenangan tidak datang karena semua masalah selesai, tapi karena hati belajar percaya bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari kasih sayang-Nya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
