Surau.co. Di era digital seperti sekarang, manusia begitu mudah dilihat dan menampilkan diri. Setiap kebaikan bisa diabadikan, dibagikan, bahkan dinilai dengan angka—likes, views, atau komentar. Tidak salah ingin berbagi inspirasi, tapi terkadang tanpa sadar, niat yang awalnya tulus berubah menjadi haus pengakuan.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama besar dari Hadhramaut, melalui karyanya Risālatul Mu‘āwanah, mengingatkan bahwa amal yang sejati bukan yang paling ramai disorot, tapi yang paling bersih dari pamrih. Inilah hakikat ikhlas, sebuah seni spiritual yang sulit, tapi indah.
Ikhlas bukan berarti menyembunyikan semua amal, melainkan melatih hati agar tidak menjadikan manusia sebagai tujuan dari perbuatan baik kita. Ikhlas adalah saat hati hanya berharap pandangan Allah, bukan tepuk tangan manusia.
Makna Ikhlas dalam Pandangan Risālatul Mu‘āwanah
Habib al-Haddad berkata:
“أَخْلِصْ أَعْمَالَكَ لِلَّهِ، فَإِنَّهُ لَا يَقْبَلُ مِنْهَا إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا لِوَجْهِهِ.”
“Ikhlaskan amalmu hanya untuk Allah, karena Dia tidak menerima kecuali yang murni untuk wajah-Nya.”
Ikhlas dalam bahasa Arab berasal dari kata kh-l-sha yang berarti “bersih” atau “murni.” Dalam konteks spiritual, ikhlas berarti membersihkan niat dari segala bentuk kepentingan selain Allah.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan mereka tidak diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Ayat ini menjadi fondasi akhlak spiritual: semua amal, sekecil apa pun, kehilangan maknanya bila tidak didasari keikhlasan. Habib al-Haddad menyebut ikhlas sebagai “ruh dari setiap amal” — tanpa ruh, amal hanyalah jasad tanpa kehidupan.
Ikhlas Bukan Anti-Pengakuan
Banyak orang salah paham, mengira ikhlas berarti harus menolak semua bentuk apresiasi atau menolak terlihat berbuat baik. Padahal, Habib al-Haddad menekankan keseimbangan:
yang penting bukan dilihat atau tidaknya amal, melainkan niat yang menggerakkan amal itu.
Beliau menulis:
“مَنْ أَخْلَصَ نِيَّتَهُ لِلَّهِ، لَمْ يَضُرَّهُ مَدْحُ الْمَادِحِينَ، وَلَا ذَمُّ الذَّامِّينَ.”
“Barang siapa ikhlas niatnya karena Allah, maka pujian orang yang memuji atau celaan orang yang mencela tidak akan membahayakannya.”
Artinya, ikhlas bukan berarti menolak dikenal, tapi tidak bergantung pada penilaian.
Dalam dunia yang terobsesi dengan validasi sosial, orang yang ikhlas adalah jiwa yang merdeka—ia tidak mudah goyah oleh pujian atau kritik.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa nilai amal terletak di hati, bukan di tampilan. Maka, berbuat baik tanpa diketahui siapa pun tetap bernilai besar di sisi Allah, bahkan bisa jadi lebih murni karena tak ada ruang bagi riya’.
Tantangan Ikhlas di Era Modern
Zaman kini penuh sorotan. Orang bisa jadi dermawan bukan karena dorongan hati, tapi karena ingin terlihat peduli. Kebaikan kadang dijadikan konten. Amal dipoles agar indah di kamera, bukan di hadapan Tuhan.
Di sinilah Risālatul Mu‘āwanah menjadi panduan relevan bagi era modern.
Habib al-Haddad menegaskan bahwa penyakit riya’—pamer amal—adalah musuh utama keikhlasan.
“إِيَّاكَ وَالرِّيَاءَ، فَإِنَّهُ شِرْكٌ خَفِيٌّ.”
“Waspadalah terhadap riya’, karena ia adalah syirik yang tersembunyi.”
Riya’ tidak selalu berarti pamer secara langsung.
Kadang tersembunyi di balik rasa puas ketika dilihat orang lain berbuat baik, atau kecewa saat kebaikan kita tak dihargai. Hati yang masih ingin dikenal belum sepenuhnya bebas. Maka, melatih ikhlas berarti melatih hati untuk tidak mudah kecewa saat tak diakui, dan tidak terlalu gembira saat dipuji.
Langkah-Langkah Menumbuhkan Ikhlas Menurut Habib al-Haddad
Habib al-Haddad tidak hanya memberi nasihat, tetapi juga metode praktis agar hati terlatih dalam keikhlasan. Berikut tiga langkah penting yang beliau ajarkan:
- Meluruskan Niat di Awal Amal
Setiap amal, sekecil apa pun, awali dengan mengingat Allah.
Ucapkan dalam hati, “Ya Allah, ini semua untuk-Mu.”
Langkah sederhana ini menegaskan arah hati dan menjaga amal dari niat yang menyimpang.
- Menyembunyikan Amal Ketika Bisa
Tidak semua amal harus disembunyikan, tapi menyembunyikan sebagian amal saleh adalah latihan jiwa yang kuat. Misalnya, bersedekah tanpa orang tahu, membantu tanpa menyebut nama.
Habib al-Haddad men:
“أَخْفِ عَمَلَكَ كَمَا تُخْفِي ذُنُوبَكَ.”
“Sembunyikan amalmu sebagaimana engkau menyembunyikan dosamu.”
- Berdoa agar Dijaga dari Riya’
Ikhlas bukan sifat bawaan, tapi karunia Allah.
Maka, mintalah keikhlasan dalam setiap doa. Rasulullah ﷺ sendiri sering berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu dengan sesuatu yang aku ketahui, dan aku memohon ampunan atas apa yang tidak aku ketahui.”
(HR. Ahmad)
Jika Rasul saja berdoa agar terhindar dari riya’, apalagi kita yang lemah dan mudah silau oleh perhatian dunia.
Ikhlas dan Ketenangan Jiwa
Habib al-Haddad menyebut bahwa buah dari keikhlasan adalah ketenangan batin. Orang yang ikhlas tidak terbebani oleh hasil, karena ia tahu tugasnya hanyalah beramal, bukan menentukan hasilnya.
“الْمُخْلِصُ فِي رَاحَةٍ دَائِمَةٍ، لِأَنَّهُ يَتَّكِلُ عَلَى اللَّهِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ.”
“Orang yang ikhlas selalu dalam ketenangan, karena ia bersandar kepada Allah dan tidak bergantung kepada manusia.”
Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, keikhlasan justru menjadi sumber kebahagiaan yang langka.
Ia membebaskan kita dari kecemasan sosial, dari keinginan untuk selalu diakui, dan dari luka karena tidak dianggap.
Ikhlas adalah terapi jiwa, bukan hanya ajaran moral.
Ia mengajarkan kita untuk berbuat baik tanpa pamrih, mencintai tanpa mengikat, memberi tanpa menuntut balas.
Ikhlas, Amal, dan Pahala yang Hakiki
Sering kali manusia mengukur pahala dari besar kecilnya amal. Padahal, dalam pandangan Allah, besarnya pahala tergantung pada kadar keikhlasan. Satu amal kecil tapi ikhlas bisa lebih berat di timbangan amal daripada seribu amal besar yang penuh pamrih.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا لَهُ وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang ikhlas karena-Nya dan dimaksudkan untuk mencari wajah-Nya.”
(HR. Nasa’i)
Artinya, keikhlasan adalah ukuran kualitas, bukan kuantitas. Maka, jangan pernah remehkan amal kecil yang dilakukan dalam kesunyian, sebab bisa jadi itulah yang paling dicintai Allah.
Ikhlas dalam Bekerja dan Berkarya
Ikhlas tidak hanya urusan ibadah ritual. Habib al-Haddad mengajarkan bahwa semua aktivitas duniawi bisa menjadi ibadah jika diniatkan karena Allah. Bekerja mencari nafkah, belajar menuntut ilmu, bahkan menulis atau mengajar—semua bisa bernilai ibadah bila dilakukan dengan hati yang murni. Bekerja ikhlas berarti tidak curang, tidak mengeluh, dan tidak hanya bersemangat ketika dilihat atasan.
Ikhlas dalam belajar berarti menuntut ilmu bukan hanya demi nilai atau prestise, tapi demi mendekatkan diri kepada kebenaran. Dengan cara ini, kehidupan sehari-hari berubah menjadi ladang pahala. Tidak perlu menunggu kesempatan besar untuk berbuat baik—cukup luruskan niat dalam setiap langkah kecil.
Latihan Harian Menuju Keikhlasan
Habib al-Haddad memberi beberapa latihan hati sederhana:
- Periksa niat sebelum dan sesudah amal. Kadang niat di awal ikhlas, tapi di tengah jalan berubah. Periksa ulang dengan jujur.
- Kurangi perhatian terhadap pujian. Semakin sedikit bergantung pada komentar manusia, semakin mudah hati berfokus pada Allah.
- Perbanyak amal rahasia. Semakin banyak amal yang hanya diketahui Allah, semakin kuat benteng keikhlasan kita.
- Syukuri amal, bukan pamer amal. Ucapkan “Alhamdulillah, Engkau beri aku kesempatan berbuat baik,” bukan “Lihatlah apa yang telah aku lakukan.”
Penutup: Keikhlasan, Jalan Sunyi yang Indah
Ikhlas adalah perjalanan panjang yang sunyi. Ia tidak selalu mendapat tepuk tangan, tapi selalu mendapat pandangan kasih dari Allah. Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad melalui Risālatul Mu‘āwanah menuntun kita untuk mencintai jalan ini—jalan yang tidak ramai, tapi tenang; jalan yang tidak populer, tapi diterangi cahaya Ilahi.
Di dunia yang riuh oleh pengakuan, jadilah jiwa yang diam tapi bernilai, berbuat tapi tak menuntut balas, memberi tapi tak menagih terima kasih. Sebab pada akhirnya, yang kita cari bukan sorotan manusia, tapi senyum Allah.
“Cukuplah Allah yang tahu, karena sebaik-baik saksi adalah Dia yang Maha Mengetahui isi hati.”
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
