SURAU.CO – Pendahuluan: Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata Riba—baik ketika berbicara soal pinjaman, bunga bank, ataupun transaksi yang tampak “menambah” secara tidak adil. Namun, dalam perspektif syariah Islam, riba bukan sekadar masalah keuangan, melainkan sebuah masalah akidah, moral, sosial dan bahkan akhirat.
Dalam tulisan ini kita akan mengupas secara mendalam bahaya riba — dari dasar ajaran Islam, dampak pribadi dan sosial-ekonomi, hingga bagaimana kita bisa menjauhinya dan memilih jalan alternatif yang halal dan berkah.
Definisi dan Konteks Riba
Secara bahasa, riba berarti “tambahan” atau “kelebihan”. Sedangkan dalam istilah syariah, riba adalah tambahan yang diambil tanpa imbalan yang setara atau pertukaran yang adil dalam kontrak muamalah, khususnya pinjam-meminjam atau jual-beli.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat:
> “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah 278)
Larangan ini menunjukkan betapa seriusnya masalah riba dalam Islam.
Dasar Ajaran – Dalil dari Al-Qur’an dan Hadits
Beberapa ayat Al-Qur’an yang menegaskan larangan riba antara lain:
QS Al-Baqarah 275: “Orang-orang yang memakan riba tidak akan berdiri (di akhirat) kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan setan…”
QS Al-Baqarah 276: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…”
Hadits juga memperkuat:
> “Riba itu ada 73 pintu; pintu yang paling ringan seperti seorang laki-laki berzina dengan ibunya.” (HR Hakim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, yang memberinya, pencatatnya dan kedua saksinya—semua sama.” (HR Muslim)
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa riba bukan hanya “kurang baik” tetapi dikategorikan sebagai dosa besar (kabâir) dalam Islam.
Bahaya Riba bagi Individu
Ketika seseorang terlibat dalam riba, beberapa konsekuensi pribadi muncul:
Hilangnya keberkahan dalam harta. “Allah memusnahkan riba…” artinya keuntungan yang tampak bisa jadi tidak membawa berkah.
Utang yang berlipat tanpa akhir dan bisa menjebak seseorang dalam kondisi keuangan yang sulit.
Ancaman di akhirat: disebutkan bahwa pelaku riba “akan dibangkitkan dari kuburnya seperti orang yang gila” sebagai tanda kejatuhan moral dan spiritual.
Doa tidak dikabulkan: Karena harta berasal dari yang haram, maka kualitas spiritual bisa terpengaruh.
Dengan demikian, riba bukan hanya soal kerugian material tetapi juga kerusakan hubungan manusia-Allah dan manusia-manusia.
Bahaya Riba bagi Masyarakat & Ekonomi
Skala sosial dan ekonomi dari riba juga sangat signifikan:
Ketidakadilan & kesenjangan: Sistem ribawi cenderung menguntungkan pihak kuat dan menindas yang lemah.
Krisis ekonomi: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem bunga (riba) menjadi salah satu faktor munculnya krisis ekonomi.
Merusak kerjasama sosial: Ketika utang berbunga tinggi menjadi norma, semangat saling bantu menyusut dan muncul mental “uang menjadi alat eksploitasi”.
“Harta beredar hanya di kalangan kaya” — menghambat pemerataan dan keadilan ekonomi.
Dengan demikian, riba bukan sekadar persoalan individu tetapi juga persoalan struktural umat dan negara.
Ancaman dan Hukuman Riba
Larangan riba disertai dengan ancaman yang sangat tegas, baik di dunia maupun di akhirat:
“Jika kamu tidak melakukannya (meninggalkan riba), maka perang dari Allah dan Rasul-Nya.” (QS Al-Baqarah 279)
Pelaku riba disebut akan menjadi penghuni neraka kekal jika terus melakukan.
Hukuman di dunia: kehilangan keberkahan, gagal berdiri dengan baik di hari kiamat, reputasi sosial hancur.
Oleh karena itu, bahaya riba sangat nyata dan bukan sekadar figuratif—ini persoalan akidah dan konsekuensi akhirat.
Menghindari Riba & Menjalani Ekonomi Syariah
Sebagai umat Islam, kita harus aktif menjauhi praktik riba dan memilih alternatif yang halal dan berkah:
Pelajari dan pahami transaksi keuangan yang kita jalani: Apakah ada unsur tambahan tanpa imbalan atau eksploitasi?
Gunakan produk keuangan syariah yang sesuai prinsip muamalah: bagi hasil, jual-beli yang adil, pinjaman tanpa tambahan riba.
Hindari utang berbunga tinggi atau praktik yang mengandung riba tersembunyi: utang yang menjerat, bunga yang melonjak, pembebanan yang melebihi adil.
Perkuat kesadaran sosial: ajak keluarga dan masyarakat sekitar untuk memahami bahwa ekonomi Islam bukan sekadar “pilihan,” tetapi jalan menuju keadilan dan rahmat.
Perbaiki niat dan hati: Meski lintas bidang, tindakan keuangan yang riba akan memengaruhi spiritual kita — mulai hati yang bersih, harta yang berkah, hingga hubungan dengan Allah dan manusia.
Penutup
Riba adalah salah satu persoalan besar yang meliputi aspek individu, sosial, ekonomi, dan spiritual. Larangannya jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan ancamannya pun nyata — baik di dunia maupun akhirat.
Melalui pemahaman, kesadaran, dan tindakan nyata untuk menjauhi riba dan memilih ekonomi syariah yang adil, kita sebagai umat memiliki peluang untuk hidup tidak sekadar materi, tetapi berkah, berkeadilan, dan berorientasi akhirat.
Semoga tulisan ini memberi pencerahan dan menjadi pengingat bagi kita semua untuk memeriksa kondisi keuangan kita, mendekatkan diri kepada Allah, serta membangun masyarakat yang adil dan rahmat. (Oleh : Tengku Iskandar, M. Pd –
Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
