SURAU.CO. Kehidupan modern hari ini bergerak secepat kedipan layar. Segala hal, mulai dari bekerja, belajar, hingga beribadah telah berpindah ke ruang digital. Manusia bisa menuntaskan transaksi, menghadiri rapat, atau menunaikan sedekah hanya dengan beberapa sentuhan jari. Dunia terasa lebih praktis, efisien, bahkan nyaris tanpa batas. Dunia digital menjanjikan kemudahan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, di balik segala kepraktisan itu, ada sesuatu yang perlahan menghilang yaitu ketenangan batin.
Setiap hari, hidup kita diserbu notifikasi, pesan, dan kabar terbaru. Grup WhatsApp seolah tak pernah tidur, media sosial menampilkan arus tanpa akhir dari opini, foto, dan berita. Manusia modern pun seperti berlari tanpa tujuan, takut tertinggal dan merasa harus selalu hadir. Seakan-akan dunia berputar lebih cepat dari kemampuan kita untuk bernapas.
Akibatnya, hati pun menjadi letih, pikiran bising, dan jiwa kehilangan ruang untuk diam. Banyak orang kini merasa cemas tanpa sebab, seolah ada kekosongan di tengah segala konektivitas yang mereka miliki. Dunia digital, meski menghubungkan manusia, sering kali justru menjauhkan mereka dari diri sendiri.
Yang sebenarnya kita rindukan mungkin bukan sekadar kecepatan informasi, tetapi keheningan. Bukan hanya ruang yang penuh suara, tetapi ruang yang memberi napas bagi jiwa.
Kedamaian dari Dalam, Bukan Dunia Luar
Dalam Islam, kedamaian sejati bukanlah ketiadaan masalah, melainkan ketenangan hati yang lahir dari kedekatan dengan Allah. Al-Qur’an menyebutnya sebagai sakinah, rasa tenteram yang Allah turunkan kepada hati orang-orang beriman. Konsep sakinah menggambarkan keadaan batin yang tenang, meskipun badai kehidupan terus bergemuruh di luar diri.
Allah berfirman, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Fath: 4)
Ayat ini menegaskan bahwa kedamaian bukan hadiah dari dunia luar, melainkan anugerah bagi hati yang beriman. Ia tumbuh dari keikhlasan, kepercayaan, dan rasa cukup terhadap ketentuan Allah. Orang yang dekat dengan Allah akan tetap damai, bahkan di tengah badai masalah dan hiruk-pikuk dunia.
Sayangnya, di era digital ini, banyak dari kita kehilangan waktu untuk berdiam diri dan merenung. Dulu, waktu senggang mungkin diisi dengan membaca Al-Qur’an, berdzikir, atau sekadar menatap langit sambil bersyukur. Kini, detik hening itu digantikan dengan notifikasi dan deretan feed media sosial.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini seolah menjadi panduan spiritual di tengah derasnya arus digital. Tidak semua yang muncul di layar harus kita komentari, tidak semua informasi perlu kita ketahui. Menjaga kedamaian hati sering kali berarti memilih untuk tidak terlibat dalam kebisingan yang tidak membawa manfaat.
Menjaga Kedamaian di Tengah Teknologi
Mendapatkan ketenangan bukan berarti menolak teknologi. Islam tidak pernah menentang kemajuan, justru mendorong umatnya untuk mengelola dunia dengan bijak. Tantangannya bukan pada alat, tetapi pada cara kita menggunakannya.
Ada beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara dunia digital dan spiritual. Pertama, bijak menggunakan waktu. Waktu adalah anugerah yang berharga, maka kita harus bijak dalam menggunakannya. Salah satunya dengan membatasi penggunaan media sosial agar tidak menelan waktu yang berharga. Kita dapat mencoba puasa digital. Misalkan, sejam tanpa gawai atau sehari tanpa media sosial. Cara ini dapat dilakukan agar pikiran mendapat kesempatan bernapas.
Kedua, selektif terhadap informasi. Ketika menggunakan media sosial, kita dapat memilih konten yang memberi nilai dan inspirasi. Bukan yang menebar kemarahan atau menurunkan semangat.
Allah berfirman: “Maka hendaklah manusia memperhatikan apa yang dimakannya.” (QS. Abasa: 24). Ayat ini dapat dimaknai luas, tidak hanya tentang makanan jasmani, tetapi juga “makanan rohani” berupa informasi yang kita konsumsi setiap hari.
Ketiga, latih diri untuk menahan reaksi. Dunia digital sering menggoda kita untuk segera berkomentar atau menyebarkan kabar tanpa verifikasi. Padahal, diam kadang lebih bernilai daripada berbicara. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan, “Jika kata adalah perak, maka diam adalah emas.”
Keempat, isi waktu dengan keheningan yang bermakna. Jadikan dzikir, membaca Al-Qur’an, menulis jurnal, atau berjalan di alam terbuka sebagai cara untuk menenangkan hati. Keheningan semacam ini bukan bentuk kemalasan, melainkan latihan untuk kembali mendengar suara hati yang kerap tenggelam di antara notifikasi.
Belajar Tenang di Tengah Kegaduhan
Kita hidup di zaman di mana semua orang ingin berbicara, tetapi sedikit yang mau mendengarkan. Setiap hari muncul isu baru, perdebatan baru, hingga drama baru. Dunia maya tidak akan pernah berhenti berisik. Namun, kita bisa memilih untuk tidak ikut menambah kebisingan itu.
Kedamaian tidak datang dari dunia yang tenang, melainkan dari jiwa yang mampu tetap damai di tengah badai. Kita mungkin tidak bisa mengubah algoritma media sosial, tetapi kita bisa mengubah cara menyikapinya. Tidak terburu-buru, tidak terpancing, dan tidak menyebarkan kebencian adalah bentuk jihad kecil dalam menjaga kejernihan hati.
Rasulullah ﷺ pernah mengajarkan, “Hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat.” Ketika ditanya bagaimana cara membersihkannya, beliau menjawab, “Dengan memperbanyak mengingat kematian dan membaca Al-Qur’an.” Dalam konteks modern, zikir dan refleksi adalah cara untuk mengembalikan fokus dan kesadaran, agar kita tidak tenggelam dalam dunia virtual yang tak bertepi.
Menemukan kedamaian di era digital bukan berarti menutup diri dari kemajuan, melainkan menemukan keseimbangan di antara keduanya. Dunia maya bisa menjadi sarana kebaikan jika kita menggunakannya dengan niat dan kesadaran yang benar.
Barangkali, kedamaian itu hadir justru ketika kita menatap layar lalu memutuskan untuk menutupnya sejenak. Saat itu, kita sadar bahwa hidup jauh lebih luas dari apa yang tampak di ponsel. Di luar sana ada langit yang meneduhkan, keluarga yang menunggu, dan hati yang ingin kembali pulang pada Sang Pencipta.
Dalam keheningan itulah, jiwa menemukan rumahnya, tempat di mana kedamaian sejati bersemayam, bukan karena dunia menjadi sepi, tetapi karena hati akhirnya kembali mengenal makna tenang bersama Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
