Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Dzikir Bertemu Pasar: Bisnis Kaum Sufi di Tanah Jawa

Ketika Dzikir Bertemu Pasar: Bisnis Kaum Sufi di Tanah Jawa

SURAU.CO. Di tengah hiruk-pikuk pasar tradisional Pekalongan, suara tasbih kadang terdengar. Di balik kain batik yang indah, ada hati yang berdzikir. Bibir menyebut nama Allah Swt di antara hitungan laba dan rugi. Bagi kaum sufi, bisnis bukan sekadar mencari keuntungan, melainkan jalan pengabdian.

Setiap transaksi adalah zikir tersembunyi, setiap laba ujian syukur, dan setiap rugi latihan sabar. Bagi mereka, pasar bukan sekadar tempat jual beli, tetapi medan mujahadah untuk menegakkan kejujuran, amanah, dan keberkahan dalam napas kehidupan sehari-hari.

Sufi: Pejalan Spiritual dan Pekerja Keras

Dalam sejarah Islam, kaum sufi dikenal sebagai pejalan spiritual yang hatinya selalu mencari Allah Swt. Mereka berdzikir dan berkhalwat, namun tak menjauh dari dunia. Banyak di antara mereka adalah pedagang, petani, pengrajin, dan pemimpin yang jujur. Dunia bagi mereka adalah ladang amal, bukan tempat pelarian. Karena itu, mereka berkata, “Kami tidak meninggalkan dunia, kami hanya menempatkannya di tangan, bukan di hati.”

Bagi kaum sufi, ibadah tidak berhenti di tikar sajadah. Ibadah sejati adalah setiap kerja yang disertai kesadaran akan Allah Swt. Saat menimbang barang, melayani pelanggan, atau menganyam kain batik, semua dilakukan dengan niat ibadah. Tangan yang bekerja tulus sama mulianya dengan tangan yang menengadah dalam doa.

Mitos Kemiskinan Sufi dan Realitas Kekayaan

Sebagian orang sering salah paham tentang kaum sufi. Mereka dianggap miskin, berpakaian lusuh, dan menjauh dari dunia. Padahal, banyak sufi hidup berkecukupan bahkan kaya raya tanpa kehilangan kesederhanaan hati.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Imam Abu al-Hasan asy-Syadzili, pendiri Tarekat Syadziliyah, adalah contohnya. Beliau dikenal kaya, namun tetap zuhud. Kekayaan tak membuatnya cinta dunia. Ia bahkan menolak murid yang berpakaian compang-camping hanya demi terlihat saleh. “Zuhud bukan meninggalkan harta,” katanya, “tetapi tidak dikuasai oleh harta.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri Tarekat Qadiriyah, dikenal mengelola aset wakaf besar sambil membina ribuan murid dengan penuh kasih. Jalaluddin Rumi, guru tarekat Maulawiyah, lahir dari keluarga terpelajar dan cukup berada; dari kelimpahan hidup itulah lahir karya-karya yang menggetarkan jiwa. Banyak pula murid tarekat Syadziliyah, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah yang sukses dalam perdagangan dan pertanian, namun tetap menjaga hati mereka dalam naungan dzikir.

Sufi dan Ekonomi Lokal di Nusantara

Pandangan sufistik ini tumbuh subur di bumi Nusantara. Di Jawa, tarekat bukan hanya jalan spiritual, tetapi juga fondasi sosial dan ekonomi. Di Pekalongan—kota santri dan batik—banyak pengamal tarekat menjadi pengusaha sukses yang mengelola batik, perdagangan kain, dan industri rumahan dengan penuh integritas.

Meski hidup berkecukupan, mereka tetap sederhana, tekun berzikir, dan setia hadir dalam majelis tarekat. Fenomena serupa terlihat di Kudus, Tasikmalaya, Madura, dan Banjarmasin: para salik menjadi pelaku ekonomi yang makmur, tetapi hatinya tetap tertambat pada Allah Swt.

Kekayaan Sejati: Jalan Tengah Kaum Sufi

Bagi kaum sufi, kekayaan sejati bukan pada banyaknya harta, melainkan pada lapangnya hati. Dunia dan perdagangan hanyalah sarana pengabdian, bukan tujuan hidup. Seorang pedagang sufi tidak melihat pelanggan sebagai pembeli, tetapi sebagai amanah dari Tuhan. Ia menimbang dengan jujur, menepati janji, dan menebar kebaikan. Keuntungan yang dicari bukan sekadar laba, melainkan ridha Allah Swt.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, pandangan sufistik ini menjadi cermin yang menyejukkan. Banyak orang terjebak dalam dua kutub ekstrem—ada yang terlalu duniawi hingga kehilangan ruh, ada pula yang terlalu ritualistik hingga menolak dunia. Kaum sufi menawarkan jalan tengah: mereka bekerja dengan niat ibadah, berzikir di tengah kesibukan, dan hidup di dunia tanpa tenggelam di dalamnya. Inilah keseimbangan yang menjadikan hidup mereka lapang, tenteram, dan penuh makna—sebuah kekayaan batin yang tak ternilai, jauh melebihi emas dan permata.

Bekerja adalah Ibadah, Berdagang adalah Dzikir

Bagi mereka, bekerja adalah ibadah, berdagang adalah dzikir, dan berbisnis adalah bentuk tawakal. Dengan ilmu mereka memahami hukum-hukum Allah Swt. Dengan doa mereka menjaga keikhlasan hati dan dengan kerja, mereka membuktikan penghambaan sejati. Sebagaimana pesan Imam asy-Syadzili, “Peganglah dunia di tanganmu, tapi jangan masukkan ia ke dalam hatimu.”

Bagi kaum sufi, bisnis bukan sekadar mencari rezeki. Bisnis adalah berdagang dengan Allah. Mereka menukar lelah dengan pahala dan menukar waktu dengan berkah. Mereka menukar keuntungan dunia dengan ketenangan jiwa. Mukjizat sejati bukan ketika harta bertambah tetapi ketika hati semakin dekat kepada Sang Maha Kaya.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement