Khazanah
Beranda » Berita » Perawi Wanita dalam Taqrīb al-Tahdhīb: Jejak Ulama Perempuan dalam Ilmu Hadis

Perawi Wanita dalam Taqrīb al-Tahdhīb: Jejak Ulama Perempuan dalam Ilmu Hadis

Perempuan Muslim membaca kitab hadis klasik karya Ibn Hajar al-‘Asqalānī.
Seorang perempuan berhijab membaca kitab hadis klasik di bawah cahaya lembut, dengan latar ruang belajar tradisional bernuansa cokelat keemasan.

Surau.co. Dalam sejarah keilmuan Islam, frasa “perawi wanita dalam Taqrīb al-Tahdhīb” membuka jendela pada warisan intelektual yang sering terlupakan. Karya monumental al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Taqrīb al-Tahdhīb, bukan hanya menjadi rujukan utama dalam kajian ilmu hadis, tetapi juga mencatat dengan teliti keberadaan para perawi perempuan yang ikut menjaga autentisitas sabda Nabi ﷺ.

Meski dunia periwayatan hadis kerap diasosiasikan dengan nama-nama laki-laki seperti al-Bukhārī, Muslim, atau Abū Dāwūd, Ibn Ḥajar tidak menutup mata terhadap kontribusi ilmiah perempuan. Dalam kitab ini, terdapat puluhan nama perawi wanita yang diakui kredibilitas dan ketelitian mereka. Fenomena ini sekaligus menegaskan bahwa ulama perempuan bukan pengecualian, melainkan bagian integral dari rantai sanad ilmu Islam.

Perempuan dalam Rantai Sanad: Menghapus Stereotip Lama

Bayangkan seorang perempuan yang duduk bersila di majelis hadis pada abad ketiga Hijriah, dengan tinta di ujung qalam dan lembaran kertas di hadapan. Ia mencatat, mendengarkan, dan meneliti setiap redaksi hadis yang diucapkan oleh guru-gurunya. Pemandangan ini bukan fiksi. Ibn Ḥajar dalam Taqrīb al-Tahdhīb mencatat banyak nama perempuan yang aktif meriwayatkan hadis dengan penuh ketelitian.

Salah satunya adalah Karīmah bint Aḥmad al-Marwaziyyah, perawi terkenal dari Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Ibn Ḥajar menulis:

«كَرِيمَةُ بِنْتُ أَحْمَدَ الْمَرْوَزِيَّةُ، صَدُوقَةٌ، لَهَا سَمَاعٌ مِنَ الأَئِمَّةِ»
“Karīmah bint Aḥmad al-Marwaziyyah adalah perawi yang terpercaya, ia mendengar hadis langsung dari para imam.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Karīmah menjadi bukti bahwa otoritas keilmuan dalam Islam tidak ditentukan oleh gender, tetapi oleh integritas sanad dan keilmuan. Murid-murid laki-laki datang dari jauh untuk belajar kepadanya, termasuk ulama besar seperti al-Khaṭīb al-Baghdādī.

Kesetaraan Ilmiah dalam Tradisi Islam

Dalam dunia modern yang sering mempertanyakan peran perempuan dalam pendidikan Islam, catatan Ibn Ḥajar menjadi argumen historis yang kuat. Ia tidak hanya menyebut nama, tetapi juga memberikan evaluasi jarḥ wa ta‘dīl (penilaian kredibilitas perawi).

Salah satu contohnya adalah Umm al-Dardā’ al-Ṣughrā, ulama besar dari Damaskus. Ibn Ḥajar menulis:

«أُمُّ الدَّرْدَاءِ الصُّغْرَى، فَقِيهَةٌ، عَالِمَةٌ، ثِقَةٌ»
“Umm al-Dardā’ al-Ṣughrā adalah seorang ahli fikih, berilmu, dan terpercaya.”

Dari catatan ini, tampak jelas bahwa perempuan bukan hanya menjadi penyampai hadis, tetapi juga penafsir dan pengajar. Mereka memiliki ruang independen dalam dunia ilmu, bahkan mengajar di masjid-masjid besar Damaskus dan Kufah.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ayat Al-Qur’an juga mengafirmasi posisi ini:

﴿يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ﴾
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Ayat ini bersifat universal—tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ilmu menjadi standar kemuliaan tertinggi.

Kredibilitas dan Keberanian: Kisah Perawi yang Menginspirasi

Salah satu hal menarik dalam Taqrīb al-Tahdhīb adalah cara Ibn Ḥajar menempatkan perawi wanita dengan objektif, tanpa bias gender. Misalnya, ʿĀ’ishah bint Ṭalḥah, keponakan Sayyidah ʿĀ’ishah r.a., digambarkan sebagai perempuan yang berilmu dan fasih. Ibn Ḥajar menulis:

«عَائِشَةُ بِنْتُ طَلْحَةَ، ثِقَةٌ، جَلِيلَةٌ، كَثِيرَةُ الْحَدِيثِ»
“ʿĀ’ishah bint Ṭalḥah adalah perawi yang terpercaya, terhormat, dan banyak meriwayatkan hadis.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kata “jalīlah” (terhormat) menunjukkan posisi sosial dan intelektualnya yang tinggi. Ia menjadi figur publik yang disegani, dikenal karena keluasan ilmu dan ketegasannya.

Demikian pula dengan ʿĀtikah bint Zayd, yang dikenal tidak hanya karena keindahan akhlaknya, tetapi juga kecerdasannya dalam menghafal hadis. Ibn Ḥajar menulis:

«عَاتِكَةُ بِنْتُ زَيْدٍ، صَدُوقَةٌ، لَهَا مَكَانَةٌ فِي الْعِلْمِ وَالْعِبَادَةِ»
“ʿĀtikah bint Zayd adalah perawi yang jujur, memiliki kedudukan dalam ilmu dan ibadah.”

Figur-figur ini membuktikan bahwa peran perempuan dalam periwayatan hadis bukan pengecualian, melainkan keniscayaan dalam sejarah Islam.

Refleksi: Belajar dari Warisan Keilmuan Perempuan

Kita hidup di era ketika akses ilmu terbuka luas, tetapi kadang lupa bahwa jalan panjang ilmu Islam telah lebih dulu dilalui oleh perempuan-perempuan yang berani dan cerdas. Dari Karīmah al-Marwaziyyah hingga Umm al-Dardā’, mereka menegakkan tradisi sanad yang kini menjadi fondasi keilmuan Islam.

Hadis Nabi ﷺ menjadi cermin dari semangat kesetaraan ini:

«طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ»
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan.” (HR. Ibn Mājah)

Maka, pembacaan atas Taqrīb al-Tahdhīb tidak sekadar mengenang nama-nama, melainkan meneguhkan kembali visi Islam tentang ilmu dan keadilan.

Dalam konteks hari ini, ketika ruang keilmuan kadang terpolarisasi, sosok-sosok perempuan dalam karya Ibn Ḥajar mengajarkan satu hal penting: ilmu bukan milik gender tertentu, tetapi milik siapa pun yang mencintainya dengan keikhlasan.

Penutup: Jejak yang Tak Terhapus

Taqrīb al-Tahdhīb adalah peta keilmuan yang meneguhkan bahwa kontribusi perempuan dalam Islam bukan sekadar simbolik, tetapi substansial. Ibn Ḥajar tidak menulis dengan romantisme, melainkan dengan fakta ilmiah yang teliti.

Jejak perawi wanita dalam kitab ini adalah bukti bahwa Islam sejak awal menghargai ilmu, adab, dan kejujuran—tanpa membedakan siapa yang menyuarakannya. Dalam setiap riwayat yang mereka sampaikan, tersimpan keberanian untuk menjaga kebenaran, yang terus hidup hingga kini.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement