Khazanah
Beranda » Berita » Antara Thiqah dan Ḍa‘īf: Menafsirkan Penilaian Ibn Ḥajar terhadap Para Perawi

Antara Thiqah dan Ḍa‘īf: Menafsirkan Penilaian Ibn Ḥajar terhadap Para Perawi

ulama klasik meneliti hadis di bawah cahaya lampu minyak
Menggambarkan suasana keilmuan klasik, simbol keseimbangan dan kebijaksanaan Ibn Ḥajar dalam menilai sanad.

Surau.co. Dalam ilmu hadis, dua kata yang sarat makna kerap muncul berulang kali: thiqah dan ḍa‘īf — terpercaya dan lemah. Dua istilah ini tidak sekadar label, melainkan “cap moral” yang menempel pada ribuan nama dalam sejarah periwayatan hadis. Namun, pertanyaan penting muncul: apa yang sebenarnya dimaksud Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī ketika menilai seseorang dengan dua label itu dalam karyanya Taqrīb al-Tahdhīb? Apakah setiap perawi thiqah pasti tanpa cela, dan apakah setiap ḍa‘īf otomatis pembohong?

Melalui kitab ringkas namun monumental ini, Ibn Ḥajar menunjukkan keseimbangan ilmiah antara kejujuran dan kehati-hatian. Prinsip itu tidak hanya relevan bagi ulama, tetapi juga menjadi teladan bagi siapa pun yang bergelut dengan informasi — di dunia akademik, media, hingga kehidupan sehari-hari.

Menilai Manusia dengan Ilmu dan Keadilan

Dalam Taqrīb al-Tahdhīb, kredibilitas perawi hadis tidak ditentukan oleh prasangka, melainkan dibangun di atas data ilmiah yang disarikan dari ratusan ulama sebelumnya. Ibn Ḥajar menulis bukan berdasarkan perasaan, tetapi berdasarkan kajian mendalam terhadap karya besar seperti Tahdhīb al-Kamāl karya al-Mizzī dan Tahdhīb al-Tahdhīb yang ia susun sendiri.

Salah satu contohnya, beliau menulis:

“يحيى بن سعيد الأنصاري ثقة ثبت من كبار التابعين”
“Yahya bin Sa‘īd al-Anṣārī adalah perawi tepercaya, kuat hafalannya, dan termasuk tabi‘in senior.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kata thiqah di sini tidak hanya menegaskan kejujuran, tetapi juga kekokohan daya ingat dan ketepatan dalam meriwayatkan hadis. Seseorang baru dianggap thiqah jika integritas moralnya seimbang dengan kemampuan intelektualnya.

Sebaliknya, Ibn Ḥajar juga menulis dengan jujur ketika menemukan kelemahan:

“عبد الكريم بن أبي المخارق ضعيف الحديث”
“‘Abd al-Karīm bin Abī al-Mukhāriq lemah dalam periwayatan hadis.”

Menariknya, kata ḍa‘īf tidak dimaksudkan sebagai hinaan. Istilah ini menandai adanya kekurangan — mungkin dalam hafalan, sanad, atau kejelasan sumber. Dengan cara itu, penilaian Ibn Ḥajar tetap objektif dan proporsional.

Antara Thiqah dan Ḍa‘īf: Gradasi Nilai Kredibilitas

Bagi Ibn Ḥajar, manusia tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Ia memahami bahwa seseorang bisa jujur namun tetap keliru. Karena itu, ia menyusun sistem gradasi yang rinci — mulai dari yang paling kuat hingga yang paling lemah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Beberapa istilah yang ia gunakan antara lain:

  • ثقة ثبت (thiqah tsabt) – sangat tepercaya dan kokoh hafalannya.

  • ثقة (thiqah) – tepercaya, memiliki integritas tinggi.

  • صدوق (ṣadūq) – jujur, meski hafalannya kadang kurang kuat.

  • لين الحديث (layyin al-ḥadīth) – lemah, tetapi bukan pendusta.

    Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

  • متروك (matrūk) – ditinggalkan karena kelemahan fatal.

  • كذاب (kadhdhāb) – pendusta, riwayatnya tertolak sepenuhnya.

Sebagai contoh, ia menulis tentang ‘Ikrimah, bekas budak Ibnu ‘Abbās:

“عكرمة مولى ابن عباس صدوق له أوهام”
“‘Ikrimah jujur, namun memiliki kekeliruan.”

Dalam satu kalimat singkat, Ibn Ḥajar menyampaikan dua sisi manusia: kejujuran dan kekhilafan. Oleh karena itu, metode penilaiannya tidak ekstrem. Ia menimbang, bukan menghakimi.

Relevansi Nilai Thiqah dan Ḍa‘īf di Zaman Modern

Konsep thiqah dan ḍa‘īf ternyata tidak berhenti di dunia hadis. Ia juga menjadi pelajaran penting bagi generasi modern yang hidup di tengah arus informasi yang deras. Kini, ketika berita, opini, dan hoaks berseliweran di media sosial, kemampuan menilai sumber menjadi kebutuhan utama.

Prinsip Ibn Ḥajar sejatinya bersumber dari Al-Qur’an:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا”
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka telitilah kebenarannya.”
(QS. al-Ḥujurāt: 6)

Ayat ini bukan hanya seruan moral, tetapi juga metode ilmiah tertua di dunia: meneliti sebelum mempercayai. Ibn Ḥajar, lewat Taqrīb al-Tahdhīb, menerjemahkan pesan itu menjadi disiplin ilmiah — meneliti, menimbang, lalu menyimpulkan dengan hati-hati.

Kritik Ilmiah yang Bernuansa Adab

Keistimewaan Ibn Ḥajar bukan hanya pada keluasan ilmunya, tetapi juga pada adabnya. Ia menulis kritik dengan sopan, tanpa menjatuhkan. Dalam beberapa kasus, ia menambahkan penjelasan yang memberi ruang interpretasi:

“فلان مقبول إذا توبع وإلا فلين الحديث”
“Fulan diterima jika didukung oleh riwayat lain, namun lemah bila sendirian.”

Keterangan seperti ini memperlihatkan bahwa penilaian tidak bersifat absolut. Jika sebuah hadis didukung sanad lain, maka masih mungkin diterima. Pendekatan semacam ini menumbuhkan keadilan ilmiah dan menghindarkan fanatisme.

Dengan demikian, Ibn Ḥajar tampil bukan hanya sebagai kritikus, tetapi juga sebagai teladan moral yang menilai dengan kejernihan hati dan ketajaman nalar.

Spirit Keadilan dalam Penilaian

Apa yang dilakukan Ibn Ḥajar sejatinya adalah manifestasi keadilan intelektual. Ia menjalankan pesan Allah ﷻ:

“وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ”
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. al-Mā’idah: 8)

Ayat ini sejalan dengan seluruh semangat karya Ibn Ḥajar: menilai manusia berdasarkan data, bukan perasaan. Label thiqah atau ḍa‘īf adalah hasil observasi ilmiah, bukan hukuman sosial.

Pelajaran bagi Peneliti dan Pencari Kebenaran

Metode Ibn Ḥajar mengajarkan kita agar tidak mudah memberi cap. Baik dalam menilai orang, gagasan, maupun peristiwa, dibutuhkan ketelitian dan kesabaran. Ia menimbang seluruh sisi sebelum memutuskan.

Dalam konteks pendidikan modern, semangat ini sejalan dengan prinsip critical thinking — berpikir kritis berdasarkan bukti, bukan reaksi spontan. Oleh karena itu, siapa pun yang hidup di era digital seharusnya meneladani metode ini: teliti sebelum menyebarkan, dan adil sebelum menilai.

Penutup: Menjaga Adab dalam Menilai

Taqrīb al-Tahdhīb bukan sekadar ensiklopedia perawi, melainkan manifesto keadilan ilmiah. Melalui kitab ini, Ibn Ḥajar mengingatkan bahwa manusia selalu berada di antara dua sisi: jujur namun mungkin keliru, hafal namun bisa lupa.

Antara thiqah dan ḍa‘īf, tersimpan pesan besar bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh satu kesalahan, tetapi oleh keseimbangan antara niat, usaha, dan amanah.

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement