Khazanah
Beranda » Berita » Metode Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dalam Menyimpulkan Kredibilitas Perawi

Metode Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dalam Menyimpulkan Kredibilitas Perawi

ulama menulis kitab hadis di ruang klasik dengan cahaya lampu minyak
Menggambarkan dedikasi seorang ulama klasik dalam menulis dan menimbang kredibilitas perawi hadis dengan kejujuran ilmiah.

Surau.co. Dalam dunia ilmu hadis, kredibilitas perawi hadis menjadi inti dari seluruh bangunan keilmuan. Keabsahan suatu hadis tidak hanya ditentukan oleh teks (matn)-nya, tetapi juga oleh siapa yang meriwayatkannya. Di antara ulama besar yang mewariskan metodologi cemerlang dalam menilai kredibilitas perawi adalah al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī melalui karya monumentalnya, Taqrīb al-Tahdhīb.

Kitab ini bukan sekadar daftar nama, melainkan peta ilmiah tentang kejujuran dan keandalan manusia dalam menyampaikan sabda Rasulullah ﷺ. Melalui karya ringkas namun tajam itu, Ibn Ḥajar memperlihatkan kecermatan berpikir, ketelitian ilmiah, dan keadilan moral dalam menilai ribuan perawi.

Seni Menyimpulkan Kredibilitas: Antara Data dan Hikmah

Metode Ibn Ḥajar dalam menilai perawi tidak bersandar pada emosi, tetapi pada analisis ilmiah terhadap data para ulama sebelumnya. Ia menelusuri komentar dari para ahli jarḥ wa ta‘dīl seperti Yahyā ibn Ma‘īn, al-Nasā’ī, al-‘Uqailī, dan al-Dzahabī, lalu mensintesiskannya menjadi satu kesimpulan yang seimbang.

Dalam mukadimah Taqrīb al-Tahdhīb, Ibn Ḥajar menjelaskan niatnya dengan penuh kerendahan hati:

“قصدت إلى اختصار التهذيب تقريبًا لتيسير الانتفاع به”
“Aku bermaksud meringkas kitab Tahdhīb al-Tahdhīb agar lebih mudah dimanfaatkan.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Tujuannya bukan untuk menyaingi karya pendahulu, tetapi memudahkan generasi setelahnya dalam memahami status seorang perawi tanpa harus membaca ribuan halaman karya sebelumnya.

Metode Analitis: Ringkas tapi Menyeluruh

Ibn Ḥajar menggunakan sistem klasifikasi dengan istilah evaluatif (ṣighāt al-ta‘dīl wa al-jarḥ) yang memiliki tingkatan makna tertentu. Setiap kata yang ia pilih memiliki bobot yang cermat dan konsisten.

Sebagai contoh, ia menulis:

“عبد الله بن المبارك ثقة حافظ فقيه جواد من كبار الأئمة”
“‘Abdullāh ibn al-Mubārak, tepercaya, hafalannya kuat, ahli fikih, dermawan, dan termasuk imam besar.”

Kalimat singkat ini mencakup lima dimensi penilaian: kejujuran, kekuatan hafalan, kapasitas keilmuan, akhlak pribadi, dan kedudukan sosial. Ringkas, tapi sarat makna.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Sementara bagi perawi yang dianggap lemah, ia menulis dengan bahasa beradab namun jelas:

“محمد بن سعيد المصلوب كذاب”
“Muḥammad bin Sa‘īd al-Maṣlūb adalah pendusta.”

Ungkapan kadhdhāb (pendusta) adalah bentuk jarḥ (kritik) tertinggi — menandakan bahwa riwayatnya tidak dapat dijadikan dasar hukum. Dalam hal ini, Ibn Ḥajar tetap menjaga objektivitas tanpa meninggalkan adab.

Tingkatan Kredibilitas: Dari “Thiqah” hingga “Majhūl”

Dalam Taqrīb al-Tahdhīb, Ibn Ḥajar membagi perawi menjadi beberapa tingkatan, mencerminkan gradasi keandalan manusia yang sangat manusiawi.

  1. Tingkatan Ta‘dīl (Kredibel)

ثقة ثبت (thiqah tsabt) → sangat kuat dan terpercaya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

ثقة (thiqah) → terpercaya dan konsisten.

صدوق (ṣadūq) → jujur, namun hafalannya kadang kurang.

Contoh penilaiannya terhadap seorang tabi‘in:

“عكرمة مولى ابن عباس صدوق له أوهام”
“‘Ikrimah, bekas budak Ibnu ‘Abbās, jujur namun memiliki kekeliruan.”

Ungkapan ini menunjukkan keadilan ilmiah Ibn Ḥajar: seseorang bisa jujur tetapi tidak sempurna, sebagaimana manusia pada umumnya.

  1. Tingkatan Jarḥ (Lemah atau Ditolak)

ضعيف (ḍa‘īf) → lemah tapi masih mungkin dipertimbangkan dengan sanad lain.

متروك (matrūk) → ditinggalkan karena kesalahan fatal.

كذاب (kadhdhāb) → pendusta, riwayatnya tidak sah.

Contohnya:

“عبد الكريم بن أبي المخارق ضعيف الحديث”
“‘Abd al-Karīm ibn Abī al-Mukhāriq lemah dalam periwayatan hadis.”

Dengan sistem seperti ini, Taqrīb al-Tahdhīb berfungsi seperti kompas kredibilitas bagi para peneliti hadis.

Antara Ilmu dan Akhlak: Menilai Tanpa Menghakimi

Ibn Ḥajar tidak sekadar menulis dengan pena ilmiah, tapi juga dengan hati seorang pendidik. Ia menilai perawi bukan hanya berdasarkan hafalan, tapi juga niat, kesungguhan, dan moralitasnya.

Dalam salah satu entri, ia menulis:

“فلان مقبول إذا توبع وإلا فلين الحديث”
“Fulan diterima jika didukung oleh sanad lain, namun lemah jika sendirian.”

Ungkapan ini mencerminkan nilai keseimbangan (wasatiyyah) yang luar biasa: perawi tidak langsung ditolak, melainkan diberi ruang keadilan ilmiah. Prinsip ini menunjukkan bahwa Ibn Ḥajar mengedepankan tabayyun (klarifikasi) daripada penilaian sepihak.

Sebagaimana firman Allah ﷻ:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka telitilah kebenarannya.”
(QS. al-Ḥujurāt: 6)

Ayat ini menjadi landasan moral bagi seluruh tradisi jarḥ wa ta‘dīl, termasuk metodologi Ibn Ḥajar.

Keilmuan yang Lahir dari Kedisiplinan Spiritual

Ketelitian Ibn Ḥajar tidak lahir dari ambisi akademik semata. Ia memandang menulis kitab biografi perawi sebagai ibadah menjaga amanah ilmu. Dalam catatan ulama kontemporer, Ibn Ḥajar disebut sebagai sosok yang tidak hanya hafal ribuan sanad, tetapi juga menjaga adab dalam setiap penilaiannya.

Dalam konteks modern, metode Ibn Ḥajar menjadi pelajaran besar tentang verifikasi dan etika akademik. Di era media sosial, prinsip tabayyun ini sangat relevan: jangan sebarkan berita sebelum memverifikasi sumbernya.

Dampak dan Warisan Intelektual

Kitab Taqrīb al-Tahdhīb menjadi rujukan wajib dalam studi hadis di pesantren, universitas Islam, hingga penelitian akademik modern. Ia bukan hanya alat ilmiah, tapi juga warisan moral: bahwa kebenaran tidak boleh dipisahkan dari keadilan.

Ibn Ḥajar mengajarkan bahwa dalam menilai manusia, diperlukan keseimbangan antara nalar dan hati. Sebuah pelajaran abadi yang melampaui batas waktu dan bidang.

Penutup

Metode Ibn Ḥajar dalam menyimpulkan kredibilitas perawi adalah perpaduan antara keilmuan yang presisi dan spiritualitas yang dalam. Ia menilai dengan ilmu, menulis dengan adab, dan menyimpulkan dengan rasa tanggung jawab.

Bagi dunia modern yang haus akan validasi cepat, karya ini mengingatkan bahwa kebenaran tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari ketelitian dan kejujuran.

 

* Reza AS
PEngasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement