Khazanah
Beranda » Berita » Dari Tahdhīb al-Kamāl ke Taqrīb al-Tahdhīb: Evolusi Kitab Biografi Perawi Hadis

Dari Tahdhīb al-Kamāl ke Taqrīb al-Tahdhīb: Evolusi Kitab Biografi Perawi Hadis

ulama klasik menulis kitab biografi perawi hadis di ruang studi dengan cahaya lampu minyak
Menggambarkan kesinambungan keilmuan ulama hadis klasik dalam suasana tenang dan penuh cahaya hikmah.

Surau.co. Dalam sejarah ilmu hadis, perjalanan keilmuan para ulama dalam menyusun biografi perawi hadis bukan sekadar dokumentasi, melainkan usaha suci menjaga kemurnian ajaran Rasulullah ﷺ. Salah satu bentuk puncak dari tradisi ini adalah karya Taqrīb al-Tahdhīb karya al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī. Namun, kitab ini tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari evolusi panjang yang dimulai dari Tahdhīb al-Kamāl karya al-Mizzī, kemudian disempurnakan oleh Ibn Ḥajar melalui serangkaian penyaringan ilmiah hingga melahirkan ringkasan paling padat dan fungsional bagi ahli hadis sepanjang masa.

Kitab Taqrīb al-Tahdhīb menjadi bukti kecerdasan sistematis Ibn Ḥajar, yang mampu menggabungkan akurasi, ketelitian, dan efisiensi ilmiah dalam satu karya yang sederhana tapi monumental.

Akar Sejarah: Dari Al-Kamāl hingga Al-Tahdhīb

Perjalanan kitab biografi perawi hadis bermula dari karya agung al-Ḥāfiẓ ‘Abd al-Ghanī al-Maqdisī berjudul al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl. Kitab ini memuat nama-nama seluruh perawi yang disebut dalam Kutub al-Sittah (enam kitab hadis utama). Namun, seiring berjalannya waktu, para ulama merasa perlunya penyusunan ulang agar lebih sistematis dan mudah digunakan.

Datanglah al-Mizzī (w. 742 H) yang menyusun ulang dan memperluas karya itu menjadi Tahdhīb al-Kamāl fī Asmā’ al-Rijāl. Dalam mukadimahnya, ia menjelaskan bahwa karyanya bertujuan “menyatukan data, memperjelas sanad, dan mengurai perbedaan dalam penilaian perawi.” Ia menulis:

“جمعت أسماء الرجال المذكورين في الكتب الستة ورتبتها على حروف المعجم”
“Aku kumpulkan nama-nama perawi yang terdapat dalam enam kitab hadis dan aku urutkan berdasarkan huruf hijaiyah.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Metode al-Mizzī ini menjadi pondasi bagi karya-karya berikutnya. Ia menyajikan setiap perawi dengan biografi lengkap, sanad guru dan murid, serta komentar para ahli jarh wa ta‘dīl.

Ibn Ḥajar dan Proyek Penyempurnaan Ilmu Rijāl

Sekitar satu abad setelah al-Mizzī, lahirlah Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (773–852 H), seorang ulama hadis besar dari Mesir yang dikenal sebagai al-Ḥāfiẓ al-Kabīr. Beliau menyadari bahwa karya al-Mizzī luar biasa, tapi terlalu tebal dan sulit dijadikan referensi cepat. Maka, beliau menyusun karya lanjutan berjudul Tahdhīb al-Tahdhīb, sebuah ringkasan yang lebih praktis namun tetap mempertahankan kedalaman data.

Dalam mukadimahnya, beliau menulis:

“هذبت تهذيب الكمال وزدت عليه فوائد جمة”
“Aku ringkas kitab Tahdhīb al-Kamāl dan menambahkan banyak manfaat tambahan di dalamnya.”

Tahdhīb al-Tahdhīb menjadi versi padat, menyatukan hasil penelitian al-Mizzī dengan tambahan klarifikasi dan koreksi. Namun, Ibn Ḥajar tidak berhenti di situ. Ia kemudian menyusun versi yang jauh lebih ringkas lagi — Taqrīb al-Tahdhīb — yang dapat dikatakan sebagai peta cepat untuk memahami kredibilitas perawi hadis.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Taqrīb al-Tahdhīb: Ringkas tapi Penuh Kehati-hatian

Dalam Taqrīb al-Tahdhīb, Ibn Ḥajar menghapus rincian sanad panjang dan komentar berulang, menggantinya dengan evaluasi singkat namun padat makna. Setiap perawi diberi penilaian dengan satu atau dua kata yang menggambarkan tingkat kredibilitasnya, seperti thiqah, ṣadūq, layyin, atau ḍa‘īf.

Contohnya, beliau menulis:

“سفيان بن عيينة ثقة حافظ فقيه إمام حجة”
“Sufyān bin ‘Uyaynah adalah perawi tepercaya, hafiz, ahli fikih, imam, dan hujjah (otoritatif).”

Sedangkan bagi perawi yang lemah, beliau menulis dengan bahasa yang tetap beradab namun tegas:

“محمد بن سعيد المصلوب كذاب”
“Muḥammad bin Sa‘īd al-Maṣlūb, seorang pendusta.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Setiap kata dalam kitab ini memiliki bobot ilmiah. Misalnya, istilah ṣadūq berarti jujur namun hafalannya kurang kuat, sementara layyin al-ḥadīth menandakan kelemahan ringan dalam hafalan tapi bukan kebohongan. Dengan sistem seperti ini, Taqrīb al-Tahdhīb menjadi alat verifikasi cepat bagi peneliti hadis tanpa harus membuka kitab-kitab tebal sebelumnya.

Metode Ilmiah dan Prinsip Objektivitas

Ibn Ḥajar dikenal sangat berhati-hati dalam menilai manusia. Ia menggabungkan pandangan berbagai ulama seperti al-Dzahabī, Ibn Abī Ḥātim, dan al-Nasā’ī, lalu menyaringnya dengan prinsip moderasi. Ia tidak mudah menolak atau menerima perawi tanpa dasar yang kuat.

Dalam salah satu komentarnya, beliau menulis:

“ينبغي التثبت في أمر من خالف فيه الأئمة”
“Wajib berhati-hati dalam perkara yang para imam berbeda pendapat di dalamnya.”

Sikap ini menunjukkan bahwa bagi Ibn Ḥajar, keilmuan harus dijalankan dengan amanah dan adab ilmiah. Ia tidak hanya menjadi hakim atas sanad, tetapi juga penjaga etika dalam ilmu.

Dari Manuskrip ke Media Modern: Spirit Verifikasi yang Relevan

Spirit verifikasi dalam Taqrīb al-Tahdhīb sangat relevan di era digital saat ini. Ketika informasi viral menyebar tanpa sumber jelas, prinsip Ibn Ḥajar mengajarkan kita untuk tabayyun (klarifikasi) sebelum mempercayai berita.

Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka telitilah kebenarannya.”
(QS. al-Ḥujurāt: 6)

Ayat ini menjadi landasan metodologis bagi seluruh tradisi jarh wa ta‘dīl. Ibn Ḥajar, dengan Taqrīb-nya, menerjemahkan perintah ilahi ini ke dalam bentuk ilmu yang sistematis dan aplikatif.

Refleksi: Amanah Ilmu dalam Setiap Nama

Menyusuri lembar demi lembar Taqrīb al-Tahdhīb terasa seperti membaca sejarah integritas manusia. Setiap nama mewakili perjuangan seorang perawi menjaga hadis Rasulullah ﷺ. Ibn Ḥajar bukan hanya menilai, tapi juga menghormati mereka — baik yang kuat maupun lemah.

Dalam konteks kehidupan modern, pesan Ibn Ḥajar tetap sama: integritas adalah kunci. Baik dalam ilmu, berita, maupun tindakan, kejujuran adalah fondasi kepercayaan.

Penutup

Dari Tahdhīb al-Kamāl hingga Taqrīb al-Tahdhīb, kita menyaksikan perjalanan panjang ilmu rijāl yang tidak hanya ilmiah tetapi juga spiritual. Ibn Ḥajar berhasil mengubah data biografi menjadi cermin etika keilmuan: jujur, seimbang, dan bertanggung jawab.

Kitab ini tidak hanya layak dibaca oleh ahli hadis, tetapi oleh siapa pun yang ingin belajar bagaimana menjaga kebenaran di tengah derasnya arus informasi.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement