Khazanah
Beranda » Berita » Istilah Jarh wa Ta‘dīl dalam Taqrīb al-Tahdhīb: Makna, Tingkatan, dan Contoh

Istilah Jarh wa Ta‘dīl dalam Taqrīb al-Tahdhīb: Makna, Tingkatan, dan Contoh

dua ulama berdiskusi tentang jarh wa ta‘dīl di ruang perpustakaan klasik
Dua ulama hadis klasik berdialog dengan khusyuk, melambangkan kebijaksanaan dalam menilai kebenaran.

Surau.co. Dalam ilmu hadis, istilah jarh wa ta‘dīl memegang peranan krusial. Melalui istilah inilah para ulama menentukan apakah suatu riwayat bisa diterima atau ditolak. Salah satu karya paling monumental dalam bidang ini adalah Taqrīb al-Tahdhīb karya al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī. Buku ini menjadi referensi utama dalam mengenal siapa saja perawi hadis, bagaimana reputasi mereka, serta seberapa kuat kepercayaan terhadap riwayat yang mereka sampaikan.

Ibn Ḥajar, dengan gaya ringkas tapi padat, merangkum ribuan nama perawi dari kitab-kitab sebelumnya seperti Tahdhīb al-Kamāl karya al-Mizzī dan Tahdhīb al-Tahdhīb miliknya sendiri. Namun yang membuat Taqrīb al-Tahdhīb istimewa adalah sistem terminologi penilaian perawi — sebuah bahasa ilmiah yang jernih dan tetap mudah dipahami lintas generasi.

Menimbang Kredibilitas: Antara Jarh dan Ta‘dīl

Dalam dunia hadis, jarh berarti kritik atau penilaian negatif terhadap seorang perawi, sedangkan ta‘dīl bermakna pujian atau penilaian positif atas kredibilitasnya. Ibn Ḥajar mengembangkan sistem penilaian yang tidak hanya dua arah (baik–buruk), tapi juga bertingkat.

Beliau menggunakan ungkapan singkat untuk menjelaskan status seorang perawi. Misalnya, pada salah satu entri beliau menulis:

“فلان ثقة حافظ”
“Fulan tepercaya dan hafalannya kuat.”

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Ungkapan thiqah ḥāfiẓ menunjukkan puncak keandalan seorang perawi: ia jujur, memiliki daya ingat yang kuat, dan tidak dikenal pernah melakukan kesalahan fatal dalam meriwayatkan hadis.

Sebaliknya, untuk perawi yang memiliki kekurangan, Ibn Ḥajar menulis dengan penuh kehati-hatian, seperti:

“فلان صدوق يخطئ”
“Fulan jujur, namun sering keliru.”

Kata ṣadūq (jujur) menunjukkan integritas moralnya, sedangkan frasa yakhta’ (sering keliru) mengindikasikan kelemahan teknis dalam hafalan.

Membedah Tingkatan dalam Jarh wa Ta‘dīl

Ibn Ḥajar tidak menilai dengan sistem biner. Ia menyusun lapisan-lapisan kredibilitas yang mencerminkan kompleksitas manusia. Dalam Taqrīb al-Tahdhīb, istilah-istilah yang ia gunakan bisa dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan besar:

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

  1. Tingkatan Perawi Kuat (Ta‘dīl)

ثقة ثبت — sangat kuat dan kokoh.

ثقة — terpercaya.

صدوق — jujur, bisa diterima.

Contohnya, beliau menulis:

“مالك بن أنس ثقة فقيه إمام”
“Mālik bin Anas, tepercaya, ahli fikih, dan imam (panutan).”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Nama ini menggambarkan standar tertinggi dari integritas ilmiah dan spiritual.

  1. Tingkatan Perawi Lemah (Jarh)

ضعيف — lemah, tapi tidak palsu.

متروك — ditinggalkan, karena kesalahan fatal.

كذاب — pendusta, hadisnya tidak dapat diterima.

Misalnya, Ibn Ḥajar menulis:

“محمد بن سعيد المصلوب كذاب”
“Muḥammad bin Sa‘īd al-Maṣlūb, seorang pendusta.”

Penilaian ini menegaskan ketegasan Ibn Ḥajar dalam menjaga kemurnian sanad.

  1. Tingkatan Pertengahan (Antara Jarh dan Ta‘dīl)

لين الحديث — lemah hafalannya tapi tidak tertuduh berdusta.

مقبول — diterima jika didukung oleh sanad lain.

لا بأس به — tidak mengapa, bisa diterima dalam batas tertentu.

Salah satu contohnya:

“فلان لا بأس به”
“Fulan tidak mengapa (riwayatnya bisa diterima dengan syarat).”

Istilah semacam ini menunjukkan keseimbangan dan ketelitian Ibn Ḥajar. Ia tidak mudah memvonis, tetapi menilai berdasarkan proporsi.

Ketelitian Sebagai Warisan Intelektual

Salah satu keindahan Taqrīb al-Tahdhīb adalah bagaimana Ibn Ḥajar memadukan ketelitian ilmiah dengan kejujuran spiritual. Ia tidak hanya menyalin penilaian ulama sebelumnya, tapi juga melakukan sintesis cerdas terhadap pendapat-pendapat mereka.

Dalam mukadimahnya beliau menulis:

“هذبت ما في التهذيب تقريبا للانتفاع به”
“Aku ringkas apa yang ada dalam Tahdhīb agar lebih mudah dimanfaatkan.”

Ringkas bukan berarti dangkal. Justru, dalam ringkasan itu tersimpan kedalaman pengalaman dan keluasan pengetahuan. Setiap kata dalam Taqrīb adalah hasil pertimbangan panjang dan cermat, seolah Ibn Ḥajar menulis dengan hati, bukan hanya pena.

Nilai Humanistik dalam Ilmu Jarh wa Ta‘dīl

Meski kitab ini tampak teknis, ia mengandung pesan moral yang sangat manusiawi: setiap manusia berpotensi salah, tapi kejujuran tetap utama. Ibn Ḥajar mengajarkan bahwa seorang perawi bisa salah, namun tidak berarti ia tidak layak dipercaya selama tidak ada unsur kebohongan.

Fenomena ini relevan dengan kehidupan modern, terutama di tengah derasnya arus informasi. Kita sering memberi “jarh” — menilai buruk orang lain — tanpa menimbang konteks. Dari Ibn Ḥajar, kita belajar bagaimana menilai dengan adil dan ilmiah, bukan dengan prasangka.

Sebagaimana Allah ﷻ berfirman:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. al-Mā’idah: 8)

Ayat ini menjadi prinsip dasar bagi setiap ulama hadis: menilai seseorang bukan karena suka atau benci, tapi karena fakta dan integritas.

Refleksi: Dari Sanad ke Dunia Modern

Ilmu jarh wa ta‘dīl bukan sekadar warisan akademik, melainkan cermin etika sosial. Di era media sosial, setiap orang adalah “perawi” informasi. Maka, mempelajari karya Ibn Ḥajar berarti belajar untuk tidak mudah mempercayai dan tidak mudah menghakimi.

Ketika seseorang menyampaikan berita, tugas kita bukan menilai siapa yang paling keras bersuara, melainkan siapa yang paling jujur dan berilmu. Itulah esensi ta‘dīl — menegakkan keadilan dalam informasi.

Penutup

Taqrīb al-Tahdhīb bukan hanya ensiklopedia biografi perawi, tetapi juga panduan etika berpikir dan berbicara. Ibn Ḥajar mengajarkan bahwa setiap kata adalah amanah, setiap nama adalah tanggung jawab, dan setiap penilaian harus berlandaskan ilmu.

Dari istilah jarh wa ta‘dīl, kita belajar bahwa kebenaran bukan hanya tentang hafalan, tapi juga tentang hati yang jujur.

 

* Sugianto al-Jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement