Khazanah
Beranda » Berita » Ikhtiar dan Tawakal ala Risalatul Mu‘awanah: Bekerja Keras Tanpa Panik pada Hasil

Ikhtiar dan Tawakal ala Risalatul Mu‘awanah: Bekerja Keras Tanpa Panik pada Hasil

ilustrasi ikhtiar dan tawakal ala Risalatul Mu‘awanah, manusia berjalan dengan cahaya petunju
Seorang manusia berjalan di jalan panjang dengan tangan berdoa, di langit tampak cahaya lembut turun ke arahnya. Nuansa realistik, lembut, dan filosofis.

Surau.co. Kita hidup di zaman di mana kecepatan sering disalahartikan sebagai kesuksesan. Segala hal harus cepat: karier, cinta, konten, bahkan spiritualitas. Namun, di balik hiruk-pikuk ambisi itu, banyak hati justru gelisah. Manusia bekerja keras, tapi mudah panik ketika hasil tak sesuai harapan.

Di sinilah ajaran Risālatul Mu‘āwanah karya Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad terasa menyejukkan. Dalam kitab kecilnya yang sarat hikmah itu, Habib al-Haddad mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal — dua sayap bagi seorang mukmin dalam menjalani hidup.

Ikhtiar berarti berusaha sepenuh tenaga, sedangkan tawakal berarti menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah. Keduanya bukan lawan, tetapi pasangan yang saling melengkapi. Tanpa ikhtiar, tawakal hanyalah kemalasan; tanpa tawakal, ikhtiar berubah menjadi kecemasan.

Habib al-Haddad menulis dengan lembut tapi tegas:

“اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوتُ غَدًا.”
“Beramallah untuk duniamu seolah engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seolah engkau mati esok.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Artinya, Islam tidak menolak usaha duniawi. Justru, Habib al-Haddad mengajarkan bahwa dunia adalah ladang akhirat. Namun, ia mengingatkan: jangan sampai hasil dunia membuat kita buta terhadap Pemberi hasil.

Makna Ikhtiar: Tangan yang Bergerak Karena Hati yang Yakin

Ikhtiar berarti menggunakan potensi terbaik yang Allah anugerahkan untuk mencapai tujuan yang baik. Dalam Islam, bekerja, belajar, dan berjuang adalah bagian dari ibadah.

Al-Qur’an menegaskan:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An-Najm [53]: 39)

Habib al-Haddad menjelaskan bahwa ikhtiar adalah bentuk ketaatan. Ia bukan sekadar usaha duniawi, tapi pengamalan rasa syukur atas nikmat tenaga, akal, dan waktu yang Allah berikan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:

“اِجْتَهِدْ فِي طَلَبِ مَعَاشِكَ مَعَ حِفْظِ قَلْبِكَ مِنَ الِالْتِفَاتِ إِلَيْهِ.”
“Berusahalah mencari penghidupanmu, namun jagalah hatimu agar tidak terpaut padanya.”

Artinya, bekerja keraslah, tapi jangan biarkan kerja itu mencuri ketenangan hatimu. Tangan boleh sibuk di bumi, tapi hati harus tetap menggantung di langit.

Tawakal: Melepas Setelah Mengikat

Sering kali, tawakal disalahartikan sebagai pasrah tanpa usaha. Padahal, Rasulullah ﷺ mengajarkan tawakal sejati lewat sabda yang indah:

اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah terlebih dahulu untamu, lalu bertawakallah.”
(HR. Tirmidzi)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Hadits ini sederhana namun sangat dalam. Islam menolak dua ekstrem: mereka yang hanya berdoa tanpa berusaha, dan mereka yang berusaha tanpa berdoa. Tawakal bukan berarti menunggu keajaiban turun dari langit, tapi menjalani usaha dengan keyakinan bahwa hasil ada di tangan Allah.

Habib al-Haddad menggambarkan tawakal dengan metafora lembut:

“التَّوَكُّلُ سُكُونُ الْقَلْبِ عِنْدَ تَحَرُّكِ الْجَوَارِحِ.”
“Tawakal adalah ketenangan hati ketika anggota tubuh sedang berusaha.”

Artinya, tubuh boleh bekerja keras, tapi hati harus tenang, tidak panik, tidak takut rugi, karena percaya pada pengaturan Allah.

Ikhtiar Tanpa Tawakal: Kelelahan yang Tak Pernah Selesai

Banyak orang bekerja tanpa henti, mengejar cita-cita dengan ambisi, tapi hatinya selalu lelah. Ia takut gagal, cemas kehilangan, dan mudah kecewa. Itu karena ia lupa bahwa hasil bukan miliknya.

Habib al-Haddad mengingatkan:

“مَنْ تَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ كَفَاهُ، وَمَنْ رَكَنَ إِلَى نَفْسِهِ أَتْعَبَهُ اللَّهُ.”
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah cukupkan baginya; dan siapa yang bersandar pada dirinya sendiri, niscaya Allah akan membuatnya lelah.”

Kelelahan terbesar dalam hidup bukan dari kerja keras, tapi dari kurang percaya kepada Allah. Orang yang ikhlas dan bertawakal bisa bekerja keras tanpa terbakar stres, karena hatinya tahu bahwa Allah tidak pernah tidur.

Tawakal Tanpa Ikhtiar: Doa yang Tak Bernyawa

Sebaliknya, ada orang yang terlalu pasrah hingga malas bergerak. Ia berkata “aku bertawakal”, tapi tak melakukan apa pun. Ini bukan tawakal, tapi menyerah.

Habib al-Haddad menulis tegas:

“مَنْ ظَنَّ أَنَّ التَّوَكُّلَ تَرْكُ الأَسْبَابِ فَقَدْ جَهِلَ السُّنَنَ وَأَهْمَلَ الأَمْرَ.”
“Barang siapa mengira tawakal berarti meninggalkan sebab, maka ia telah bodoh terhadap sunnatullah dan mengabaikan perintah-Nya.”

Tawakal tanpa usaha adalah doa yang kehilangan ruh. Seorang petani yang bertawakal tapi tak menanam, sama seperti orang yang ingin panen tanpa bibit. Allah tidak menghendaki kemalasan, tapi menghendaki keikhlasan dalam usaha.

Kiat Praktis ala Risalatul Mu‘awanah: Menyeimbangkan Usaha dan Pasrah

Habib al-Haddad memberikan beberapa pedoman agar seorang mukmin bisa menyeimbangkan ikhtiar dan tawakal secara indah dan realistis.

  1. Awali dengan Niat yang Benar

Setiap pekerjaan harus dimulai dengan niat lillāh. Dengan niat yang lurus, pekerjaan dunia pun berubah menjadi amal akhirat. Habib al-Haddad berkata:

“نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ.”
“Niat orang beriman lebih baik dari amalnya.”

Artinya, jika niatnya benar, bahkan pekerjaan biasa seperti mencari nafkah, menulis, atau mengajar, bisa bernilai ibadah.

  1. Lakukan yang Terbaik, Tapi Jangan Mengatur Allah

Lakukan usaha dengan sepenuh hati, tapi jangan memaksa Allah harus memberi hasil sesuai keinginan kita. Habib al-Haddad menulis:

“إِذَا رَضِيتَ بِتَدْبِيرِ اللَّهِ لَكَ، اسْتَرَحْتَ مِنْ تَدْبِيرِ نَفْسِكَ.”
“Jika engkau ridha dengan pengaturan Allah untukmu, engkau akan istirahat dari mengatur diri sendiri.”

Kerelaan terhadap takdir adalah obat paling mujarab bagi hati yang gelisah.

  1. Bersyukur atas Hasil, Bersabar atas Ujian

Tawakal bukan berarti tidak merasakan pahitnya kegagalan, tapi tetap percaya di tengah pahit itu. Orang yang bertawakal tahu bahwa hasil buruk sekalipun adalah bagian dari rencana baik Allah.

Allah berfirman:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.”
(QS. At-Talaq [65]: 3)

Ayat ini bukan sekadar janji, tapi juga pelukan bagi hati yang kecewa.

Ikhtiar dan Tawakal di Era Modern: Kerja dengan Hati Tenang

Di zaman sekarang, bekerja sering diiringi tekanan mental. Target, algoritma, kompetisi — semua membuat manusia lupa bernafas. Namun, ajaran Habib al-Haddad relevan untuk kita yang hidup di tengah kecepatan digital ini.

Ikhtiar di era modern berarti profesional, produktif, dan berinovasi. Tapi tawakal berarti tetap sadar bahwa semua rezeki datang dari Allah, bukan dari sistem atau jabatan.

Habib al-Haddad mengajarkan keseimbangan:

“لَا تَكُنْ فِي طَلَبِ الدُّنْيَا غَافِلًا، وَلَا تَكُنْ فِيهَا عَبْدًا.”
“Janganlah engkau lalai dalam mencari dunia, tapi jangan pula menjadi hambanya.”

Kita boleh mengejar karier, tapi jangan kehilangan arah. Kita boleh mengejar target, tapi jangan kehilangan tenang.

Buah dari Ikhtiar dan Tawakal: Hidup yang Lega

Ketika ikhtiar dan tawakal berjalan seimbang, hidup menjadi ringan. Kita tetap bekerja keras, tapi tidak stres; kita tetap berencana, tapi tidak takut gagal. Karena, hati yang bertawakal tahu bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hamba-Nya.

Habib al-Haddad menulis kalimat penutup yang begitu menenangkan:

“مَنْ عَلِمَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّازِقُ، اسْتَرَاحَ قَلْبُهُ مِنَ الْهَمِّ.”
“Barang siapa yakin bahwa Allah-lah Sang Pemberi rezeki, niscaya hatinya akan bebas dari kegelisahan.”

Ketenangan itu mahal, tapi Allah memberikannya gratis bagi mereka yang mau mempercayai-Nya sepenuhnya.

Penutup: Seimbang di Antara Langkah dan Doa

Ikhtiar dan tawakal adalah dua kaki yang menuntun kita di jalan kehidupan. Satu melangkah di bumi, satu berpijak di langit. Tanpa salah satu, langkah kita pincang.

Habib al-Haddad melalui Risālatul Mu‘āwanah mengingatkan bahwa keseimbangan ini bukan hanya teori, tapi seni hidup. Bekerjalah seolah dunia bergantung padamu, tapi berdoalah seolah kamu tak bisa tanpa Allah.

Karena sejatinya, tawakal bukan berarti berhenti berusaha, melainkan berhenti cemas atas hasilnya. Hanya hati yang demikianlah yang bisa benar-benar damai — di tengah dunia yang semakin cepat berputar.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement