Khazanah
Beranda » Berita » Ikhlas ala Risalatul Mu‘awanah: Beramal Tanpa Tanda Tangan

Ikhlas ala Risalatul Mu‘awanah: Beramal Tanpa Tanda Tangan

ilustrasi ikhlas ala Risalatul Mu‘awanah, cahaya hati yang murni
Seorang manusia duduk dalam ketenangan, dikelilingi cahaya lembut yang muncul dari dadanya, simbol hati yang tulus dan bersih. Nuansa realistik, lembut, dan kontemplatif.

keSurau.co. Dalam kehidupan modern, banyak orang mengejar pengakuan. Kita suka menandatangani hasil kerja, memberi watermark pada karya, bahkan berharap “tanda tangan digital” berupa like dan komentar di setiap kebaikan yang kita bagikan. Padahal, dalam spiritualitas Islam, amal terbaik justru yang tanpa tanda tangan — yang hanya diketahui oleh Allah.

Inilah yang disebut ikhlas — inti dari segala ibadah, sekaligus ruh dari semua amal saleh. Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya Risālatul Mu‘āwanah menekankan bahwa ikhlas adalah pondasi agama dan kunci diterimanya amal. Tanpa ikhlas, ibadah sebesar apa pun hanya menjadi gerak tubuh tanpa makna.

Habib al-Haddad menulis:

“وَأَخْلِصِ النِّيَّةَ فِي كُلِّ عَمَلٍ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعِبَادِ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا لِوَجْهِهِ.”
“Sucikanlah niat dalam setiap amal, sebab Allah tidak menerima amal hamba kecuali yang dilakukan dengan ikhlas karena wajah-Nya.”

keIkhlas bukan berarti menolak pujian manusia, melainkan tidak menjadikan pujian itu tujuan utama. Ia adalah kebersihan hati dari motif tersembunyi yang mencemari niat ibadah.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Makna Ikhlas: Beningnya Hati di Balik Setiap Amal

Kata ikhlas berasal dari akar kata “خَلُصَ” yang berarti “murni” atau “bebas dari campuran”. Maka, beramal dengan ikhlas berarti memurnikan tujuan hanya untuk Allah — tidak demi status, gengsi, atau penghargaan sosial.

Habib al-Haddad menjelaskan bahwa ikhlas adalah pekerjaan hati yang paling berat karena ia menuntut pengawasan terus-menerus terhadap niat. Beliau berkata:

“الإخلاص عمل قلبيٍّ لا يَطَّلِعُ عليه إلا الله، وهو أصل القبول في الأعمال كلها.”
“Ikhlas adalah amalan hati yang hanya Allah yang mengetahuinya, dan ia merupakan dasar diterimanya semua amal.”

Niat yang salah arah bisa mengubah ibadah menjadi kesia-siaan. Seseorang bisa salat sepanjang malam, tapi bila niatnya agar dipuji “alim”, maka pahalanya hilang. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ikhlas bukan berarti tidak boleh terlihat orang, tetapi ketika terlihat, hatinya tetap tenang karena yang ia cari hanyalah ridha Allah. Ia seperti matahari: menyinari tanpa mengharap tepuk tangan.

Ikhlas Bukan Tentang Sembunyi, Tapi Tentang Hati yang Tak Tergoda

Banyak orang mengira bahwa amal yang tersembunyi otomatis ikhlas, padahal tidak selalu demikian. Seseorang bisa sembunyi-sembunyi memberi sedekah, tapi tetap merasa bangga dalam hati.

Ikhlas adalah soal motivasi batin, bukan soal tampilan luar. Habib al-Haddad mengingatkan:

“مَنْ رَأَى نَفْسَهُ فِي الْعَمَلِ فَقَدْ أَشْرَكَ بِهَا، وَمَنْ نَسِيَ نَفْسَهُ فِيهِ فَقَدْ أَخْلَصَ.”
“Barang siapa masih melihat dirinya dalam amalnya, ia telah berbuat syirik kecil. Namun barang siapa lupa pada dirinya dalam amal, dialah yang benar-benar ikhlas.”

Kalimat ini sangat dalam: ikhlas sejati terjadi ketika seseorang tak lagi menyadari bahwa ia sedang “beramal”. Ia hanya melakukannya karena cinta dan rindu kepada Allah. Tidak ada motif tersembunyi, tidak ada rasa “aku berbuat baik”, hanya perasaan “aku sedang kembali kepada-Mu, ya Allah”.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Riya dan Sum‘ah: Dua Musuh Halus Keikhlasan

Riya (ingin dilihat) dan sum‘ah (ingin didengar) adalah dua racun batin yang menggerogoti keikhlasan. Keduanya sangat halus, bahkan bisa menyusup dalam ibadah yang tampak paling suci.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.”
(HR. Ahmad)

Habib al-Haddad menulis bahwa orang yang riya sebenarnya telah menukar surga dengan pandangan manusia. Amal yang seharusnya menjadi persembahan suci kepada Allah berubah menjadi pertunjukan sosial.

Riya bisa muncul halus: merasa kecewa saat tak dipuji, merasa lebih baik dari yang lain, atau merasa rugi saat kebaikan tidak diketahui orang.

Menghindari riya bukan dengan berhenti berbuat baik, tapi dengan terus memperbarui niat. Bahkan jika niat kita tergelincir, segera perbaiki. Karena, menurut Habib al-Haddad, “ikhlas adalah perjuangan seumur hidup”.

Cara Melatih Ikhlas: Kiat-kiat Praktis dari Risalatul Mu‘awanah

Ikhlas tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh melalui latihan dan kejujuran hati. Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah memberi beberapa panduan praktis agar hati terbiasa beramal karena Allah semata:

  1. Perbanyak Dzikir dan Muraqabah

Habib al-Haddad menulis:

“الذِّكْرُ يُنَقِّي النِّيَّةَ، وَيُذَكِّرُ الْقَلْبَ بِمَنْ يُرِيدُ بِالْعَمَلِ.”
“Dzikir menyucikan niat dan mengingatkan hati kepada siapa ia beramal.”

Orang yang sering berdzikir akan sadar bahwa setiap amal hanyalah persembahan kepada Sang Pencipta. Ia akan malu beramal demi manusia, karena hatinya selalu berada di hadapan Allah.

  1. Jangan Mencari Pengakuan

Habib al-Haddad menasihati:

“اِسْتَتِرْ بِعَمَلِكَ كَمَا تَسْتَتِرُ بِذُنُوبِكَ.”
“Sembunyikan amal baikmu sebagaimana engkau menyembunyikan dosamu.”

Artinya, jangan merasa perlu mengumumkan setiap kebaikan. Biarkan amal menjadi rahasia manis antara engkau dan Tuhanmu.

  1. Lupakan Diri dalam Amal

Latihan paling tinggi dalam keikhlasan adalah melupakan diri sendiri. Jangan terlalu sering bertanya: “Apakah aku sudah ikhlas?” Karena jika terlalu sibuk memeriksa “aku”, berarti “aku” masih menjadi pusatnya.

Cukup katakan dalam hati: “Ya Allah, aku ingin Engkau ridha, walau aku belum tahu apakah aku ikhlas.”

Ikhlas di Era Digital: Saat Amal Menjadi Konten

Zaman media sosial membuat keikhlasan diuji lebih berat. Amal saleh mudah berubah jadi “konten”. Sedekah difoto, ibadah dibagikan, bahkan doa pun dipublikasikan.

Bukan berarti semua itu salah. Terkadang berbagi inspirasi bisa menulari kebaikan. Namun yang perlu kita perhatikan adalah niat di balik layar.

Apakah benar ingin mengajak orang berbuat baik, atau sekadar ingin tampak saleh? Habib al-Haddad mungkin akan mengingatkan, sebagaimana ia tulis:

“اِعْمَلْ لِلَّهِ، وَلَا تَنْتَظِرْ مِنْ خَلْقِهِ شُكْرًا، فَمَنْ شَكَرَكَ فَهُوَ مِنَ اللَّهِ، وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْكَ فَهُوَ اخْتِبَارٌ مِنَ اللَّهِ.”
“Beramallah karena Allah, jangan menunggu terima kasih dari makhluk. Siapa pun yang bersyukur kepadamu, itu dari Allah; dan siapa yang tidak, itu adalah ujian dari-Nya.”

Buah dari Ikhlas: Kedamaian yang Tidak Bisa Dibeli

Keikhlasan membawa buah yang tak ternilai: ketenangan hati. Orang yang ikhlas tak mudah kecewa, tak merasa rugi, dan tak butuh validasi. Ia bahagia karena tahu Allah melihatnya, meski dunia tidak.

Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Habib al-Haddad menulis:

“مَنْ أَخْلَصَ لِلَّهِ فِي الْقَلِيلِ، رَزَقَهُ اللَّهُ الْبَرَكَةَ فِي الْكَثِيرِ.”
“Barang siapa ikhlas kepada Allah dalam hal kecil, Allah akan memberinya keberkahan dalam hal besar.”

Ia seperti garam dalam makanan: tak terlihat, tapi menentukan rasa. Tanpa ikhlas, amal terasa hambar; dengan ikhlas, hidup menjadi manis.

Penutup: Amal yang Tak Bertanda Tangan

Ikhlas adalah seni beramal tanpa tanda tangan. Ia mengajarkan kita untuk melupakan diri saat berbuat baik, dan hanya mengingat Allah di setiap gerak.

Habib al-Haddad menutup nasihat tentang ikhlas dalam Risālatul Mu‘āwanah dengan kalimat yang indah:

“طُوبَى لِمَنْ خَلَصَتْ نِيَّتُهُ فِي كُلِّ حَالٍ، فَإِنَّهُ فِي أَمَانِ اللَّهِ دَائِمًا.”
“Beruntunglah orang yang ikhlas niatnya dalam setiap keadaan, karena ia selalu berada dalam perlindungan Allah.”

Maka, mari teruslah beramal — tapi jangan buru-buru menandainya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement