Khazanah
Beranda » Berita » Kiat-Kiat Syukur ala Risālatul Mu‘āwanah: Seni Bahagia yang Irit Biaya

Kiat-Kiat Syukur ala Risālatul Mu‘āwanah: Seni Bahagia yang Irit Biaya

ilustrasi manusia bersyukur di rumah sederhana sebagai simbol seni bahagia yang irit biaya
Seorang laki-laki duduk di serambi rumah kayu sederhana, tersenyum menatap langit pagi, dikelilingi cahaya lembut. Gaya realistik, nyeni, dan filosofis.

Surau.co. Kita hidup di zaman di mana kebahagiaan sering kali dikemas dalam bentuk tag harga. Orang berlomba membeli barang baru, mengejar status sosial, atau menumpuk pencapaian demi satu rasa sederhana: bahagia. Padahal, Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama besar dari Hadhramaut yang menulis karya abadi Risālatul Mu‘āwanah, sudah jauh-jauh hari mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak lahir dari banyaknya harta, melainkan dari syukur yang hidup dalam hati.

Syukur, kata beliau, bukan sekadar ucapan “alhamdulillah” di bibir. Ia adalah cara pandang, cara hidup, dan cara menikmati dunia tanpa harus kehilangan arah menuju Allah. Itulah seni bahagia yang irit biaya — karena ia tak butuh tambahan materi, cukup kesadaran hati.

Makna Syukur: Menyadari, Mengakui, dan Menggunakan Nikmat

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad menulis:

“كُنْ شَاكِرًا لِنِعَمِ اللَّهِ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الشُّكْرَ سَبَبٌ لِدَوَامِهَا وَزِيَادَتِهَا.”
“Bersyukurlah atas nikmat Allah kepadamu, karena syukur adalah sebab langgeng dan bertambahnya nikmat.”

Syukur bukan hanya perasaan senang atas kebaikan yang diterima, melainkan kesadaran mendalam bahwa semua yang kita miliki — dari napas hingga rezeki — adalah anugerah dari Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.”
(QS. Ibrahim [14]: 7)

Makna ayat ini bukan hanya janji bertambahnya harta, tapi juga bertambahnya rasa cukup dan ketenangan. Karena orang yang bersyukur melihat dunia dengan lensa yang jernih. Ia tak butuh banyak untuk merasa cukup; cukup untuk merasa banyak.

Syukur Itu Skill: Bukan Sekadar Rasa

Bersyukur ternyata butuh keterampilan — keterampilan untuk menyadari, mengelola, dan mengarahkan nikmat. Habib al-Haddad menjelaskan bahwa hakikat syukur mencakup tiga dimensi utama: syukur hati, syukur lisan, dan syukur perbuatan. Ketiganya saling melengkapi dan melatih jiwa agar tidak tenggelam dalam keluh kesah.

  1. Syukur Hati: Menyadari Sumber Nikmat

Syukur hati adalah kesadaran batin bahwa segala kebaikan datang dari Allah. Orang yang bersyukur di dalam hati akan melihat kebaikan bahkan dalam hal yang tampak buruk. Ia tahu bahwa musibah bisa jadi teguran lembut, dan kehilangan bisa jadi bentuk kasih sayang Allah.

“مَنْ لَمْ يَعْرِفِ النِّعْمَةَ قَلَّ شُكْرُهُ، وَمَنْ عَرَفَهَا كَثُرَ شُكْرُهُ.”
“Barang siapa tidak mengenal nikmat, sedikitlah syukurnya; dan siapa yang mengenal nikmat, banyaklah syukurnya.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kesadaran inilah yang membuat seseorang mampu bahagia tanpa alasan besar. Ia bahagia karena tahu: bahkan oksigen pun nikmat yang tak ternilai.

  1. Syukur Lisan: Mengucapkan dan Menyebarkan Kebaikan

Syukur lisan bukan hanya ucapan “alhamdulillah”, tapi juga cara berbicara yang memuliakan nikmat. Ketika lidah terbiasa mengingat Allah dan mengucap kebaikan, hati akan ikut lembut.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ.”
“Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Syukur lisan berarti menghargai pemberian orang lain, memuji tanpa berlebihan, dan menghindari keluhan yang sia-sia. Lidah yang bersyukur adalah lidah yang membawa ketenangan, bukan keresahan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

  1. Syukur Perbuatan: Menggunakan Nikmat pada Jalannya

Syukur sejati harus tampak dalam tindakan. Mata yang bersyukur menjauh dari maksiat, tangan yang bersyukur memberi, dan waktu yang bersyukur digunakan untuk kebaikan. Habib al-Haddad mengingatkan:

“اِسْتَعْمِلِ النِّعْمَةَ فِي طَاعَةِ الْمُنْعِمِ، وَلَا تَسْتَعْمِلْهَا فِي مَعْصِيَتِهِ.”
“Gunakanlah nikmat itu untuk taat kepada Pemberinya, dan jangan gunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.”

Inilah esensi syukur yang sejati: tidak hanya merasa cukup, tapi juga bertanggung jawab atas apa yang dimiliki.

Syukur dan Bahagia: Dua Saudara Kembar

Syukur dan bahagia adalah dua saudara yang tak terpisahkan. Orang yang bersyukur pasti bahagia, dan orang yang bahagia pasti bersyukur. Bedanya, kebahagiaan sering datang setelah sesuatu diterima, sementara syukur mendatangkan kebahagiaan bahkan sebelum sesuatu diraih.

Dalam psikologi modern, konsep gratitude journaling — menulis hal-hal kecil yang disyukuri — terbukti meningkatkan kesejahteraan mental. Namun, Islam telah lebih dulu mengajarkan hal ini berabad-abad lalu. Habib al-Haddad mengajarkan murid-muridnya untuk mengingat nikmat setiap hari, karena dengan begitu hati akan tetap tenang dan jauh dari iri.

“الشُّكْرُ يُطَهِّرُ الْقَلْبَ مِنَ السُّخْطِ وَالْحَسَدِ.”
“Syukur membersihkan hati dari kebencian dan iri.”

Bahagia, ternyata, bukan hasil dari banyaknya nikmat, melainkan dari kemampuan untuk menikmatinya. Dan kemampuan itu bernama syukur.

Kiat-Kiat Syukur ala Risālatul Mu‘āwanah

Habib al-Haddad tidak hanya menjelaskan teori syukur, tetapi juga memberikan langkah praktis agar hati terlatih untuk bersyukur dalam kondisi apa pun. Berikut beberapa kiat yang beliau ajarkan dan sangat relevan untuk kita di zaman serba cepat ini.

  1. Biasakan Mengingat Nikmat Setiap Hari

Ambillah waktu beberapa menit setiap malam untuk mengingat tiga hal baik yang terjadi hari itu — sekecil apa pun. Saat mata terbiasa melihat kebaikan, hati akan berhenti mencari kekurangan.

“Barang siapa banyak mengingat nikmat, ia akan sedikit mengeluh.”

Kebiasaan ini sederhana tapi efektif. Ia mengubah pola pikir dari “aku kurang” menjadi “aku cukup.”

  1. Lihatlah Ke Bawah, Bukan Hanya ke Atas

Rasulullah ﷺ bersabda:

“انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ؛ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ.”
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu, dan jangan melihat kepada yang di atasmu, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah.”
(HR. Muslim)

Kebahagiaan sering luntur karena membandingkan diri. Habib al-Haddad mengajarkan agar kita lebih sering menunduk, bukan untuk rendah diri, tapi agar mata bisa melihat rahmat Allah di sekitar.

  1. Gunakan Nikmat untuk Kebaikan

Nikmat yang digunakan di jalan kebaikan tidak akan habis. Bahkan, Allah akan melipatgandakannya. Satu senyuman yang menenangkan, satu sedekah kecil, atau waktu luang yang diisi dengan menolong orang lain adalah bentuk syukur yang bernilai tinggi.

“الشُّكْرُ يُزِيدُ النِّعْمَةَ وَيَجْلِبُ الْبَرَكَةَ.”
“Syukur menambah nikmat dan mendatangkan keberkahan.”

Mengubah nikmat menjadi amal adalah cara paling indah untuk menjaga kebahagiaan tetap hidup.

Syukur dalam Ujian: Saat Sedih Pun Bisa Bahagia

Habib al-Haddad juga mengajarkan bentuk syukur yang lebih tinggi — bersyukur saat diuji. Ini bukan perkara mudah, tapi justru puncak dari kematangan spiritual.

“إِذَا أَصَابَتْكَ بَلِيَّةٌ فَاشْكُرِ اللَّهَ، فَلَعَلَّهَا تُكَفِّرُ ذُنُوبَكَ أَوْ تَرْفَعُ دَرَجَتَكَ.”
“Jika engkau ditimpa musibah, bersyukurlah kepada Allah, karena bisa jadi itu penghapus dosamu atau pengangkat derajatmu.”

Orang yang bisa bersyukur dalam ujian memiliki cara pandang yang sangat dewasa. Ia tahu bahwa sakit bisa jadi bentuk cinta, dan kehilangan bisa jadi undangan untuk lebih dekat dengan Allah.

Syukur semacam ini bukan denial terhadap kesedihan, tapi kemampuan untuk tetap melihat cahaya di tengah gelap. Inilah kebahagiaan yang tidak bisa dibeli: ketenangan yang lahir dari iman.

Seni Bahagia yang Irit Biaya

Syukur mengajarkan bahwa bahagia tidak butuh modal besar. Ia tumbuh dari hal-hal sederhana: udara pagi, senyum orang tua, teman yang tulus, atau tubuh yang masih bisa sujud.

Habib al-Haddad menulis:

“السَّعَادَةُ فِي الرِّضَا، وَالرِّضَا فِي الشُّكْرِ.”
“Kebahagiaan ada dalam ridha, dan ridha ada dalam syukur.”

Semakin seseorang ridha, semakin lapang hidupnya. Syukur membuat kita berhenti berperang dengan takdir dan mulai berdamai dengan realitas. Dari sanalah muncul ketenangan, bukan dari barang baru, tapi dari hati yang baru.

Penutup: Menemukan Surga di Dalam Hati

Syukur adalah seni menemukan surga bahkan di dunia. Ia tidak membuat hidup bebas dari masalah, tapi membuat kita mampu melihat makna di balik masalah. Habib al-Haddad mengajarkan bahwa hati yang bersyukur akan selalu bahagia, karena ia menemukan Allah dalam setiap keadaan.

“مَنْ شَكَرَ رَبَّهُ رَأَى كُلَّ شَيْءٍ جَمِيلًا.”
“Barang siapa bersyukur kepada Tuhannya, ia akan melihat segala sesuatu sebagai keindahan.”

Syukur bukan sekadar ibadah; ia adalah cara mencintai hidup dengan penuh kesadaran.
Dan sungguh, seni bahagia yang paling murah adalah ketika kita belajar berkata dari hati,

“Alhamdulillah… cukup ini saja, karena ini pun dari-Mu.”.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement