Khazanah
Beranda » Berita » Nafsu Itu Nggak Hilang, Tapi Bisa Dijinakkan: Belajar dari Risālatul Mu‘āwanah

Nafsu Itu Nggak Hilang, Tapi Bisa Dijinakkan: Belajar dari Risālatul Mu‘āwanah

ilustrasi manusia menjinakkan kuda liar sebagai simbol pengendalian nafsu dalam Risalatul Muawanah
Seorang manusia berpakaian sederhana berdiri di padang luas dengan seekor kuda liar yang perlahan jinak di sampingnya. Sinar matahari senja memantulkan cahaya lembut di wajahnya. Nuansa realistik, nyeni, lembut, filosofis.

Surau.co. Banyak orang beranggapan bahwa menjadi pribadi yang saleh berarti harus “melenyapkan nafsu.” Padahal, nafsu tidak bisa hilang. Ia adalah bagian dari fitrah manusia, ciptaan Allah yang justru memberi kehidupan pada dorongan, cita-cita, dan rasa ingin tumbuh. Namun, jika tidak dikendalikan, nafsu bisa berubah menjadi sumber bencana batin.

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama besar dari Hadhramaut, dalam karya spiritualnya Risālatul Mu‘āwanah, menulis dengan lembut namun tegas tentang hal ini. Menurut beliau, tugas manusia bukan menghapus nafsu, melainkan menjinakkannya agar taat pada akal dan iman. Nafsu bukan musuh yang harus dimusnahkan, tapi kuda liar yang harus dikekang dan diarahkan ke jalan kebenaran.

Hakikat Nafsu dalam Diri Manusia

Dalam pandangan Islam, nafsu bukan hanya soal keinginan jasmani, tetapi juga seluruh dorongan dalam diri manusia—baik menuju kebaikan maupun kejahatan. Al-Qur’an menggambarkan berbagai jenis nafsu dengan sangat dalam. Allah berfirman:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
(QS. Yusuf [12]: 53)

Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya nafsu condong pada keburukan, tetapi rahmat Allah dapat mengubah kecenderungan itu menjadi kebaikan. Inilah titik kunci yang diuraikan Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah: bahwa rahmat Allah akan turun kepada mereka yang berjuang melawan dorongan buruknya, bukan kepada mereka yang menyerah pada hawa nafsu.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Habib al-Haddad menulis:

“اِعْلَمْ أَنَّ النَّفْسَ أَعْدَى أَعْدَائِكَ، فَإِنْ أَطَعْتَهَا هَلَكْتَ، وَإِنْ خَالَفْتَهَا نَجَوْتَ.”
“Ketahuilah, sesungguhnya nafsu adalah musuh terbesar bagimu. Jika engkau menaatinya, engkau binasa; namun jika engkau melawannya, engkau akan selamat.”

Beliau tidak menyuruh kita membunuh nafsu, melainkan melawannya dengan bijak. Karena tanpa nafsu, manusia tidak akan memiliki gairah untuk hidup, beribadah, atau mencintai.

Nafsu Tidak Dihapus, Tapi Dikendalikan

Habib al-Haddad memandang nafsu sebagai tenaga hidup yang netral. Ia bisa membawa seseorang pada surga, tetapi juga bisa menjerumuskannya ke neraka. Tergantung siapa yang memegang kendali: akal dan iman, atau keinginan yang liar.

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“جَاهِدْ نَفْسَكَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ، وَأَلْزِمْهَا بِأَدَاءِ الْفَرَائِضِ، وَتَرْكِ الْمَعَاصِي.”
“Berjihadlah melawan nafsumu agar taat kepada Allah, paksalah ia untuk menunaikan kewajiban dan menjauhi maksiat.”

Kata “paksalah” di sini tidak berarti menyiksa diri, tetapi mendidik diri. Sama seperti orang tua yang memaksa anaknya belajar bukan karena benci, melainkan karena sayang. Demikian pula seorang mukmin harus memaksa nafsunya untuk tunduk pada kebenaran, sampai akhirnya ia mencintai ketaatan itu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ.”
“Pejuang sejati adalah orang yang berjihad melawan nafsunya dalam ketaatan kepada Allah.”
(HR. Ahmad)

Dengan kata lain, jihad terbesar bukan melawan orang lain, tapi melawan diri sendiri.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Jenis-Jenis Nafsu Menurut Para Ulama

Para sufi dan ulama, termasuk Habib al-Haddad, menjelaskan bahwa nafsu manusia memiliki tingkatan. Dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, ada tiga jenis utama yang sering disebut:

  1. Nafsu Ammarah (Nafsu yang Memerintah pada Kejahatan)

Ini adalah jenis nafsu yang masih liar, dikuasai oleh keinginan duniawi dan ego. Orang yang dikuasai nafsu ammarah sulit menerima nasihat, mudah marah, dan cenderung menuruti kesenangan sesaat.
Habib al-Haddad menyebut jenis nafsu ini sebagai “musuh dalam diri” yang paling berbahaya karena bekerja secara halus, bahkan lewat ibadah yang tampak baik tapi penuh riya dan ujub.

  1. Nafsu Lawwamah (Nafsu yang Mencela Diri Sendiri)

Inilah tahap ketika seseorang mulai sadar akan kesalahannya. Ia masih berbuat dosa, tetapi hatinya menyesal dan gelisah. Nafsu lawwamah adalah tanda bahwa jiwa sedang berjuang menuju kesucian. Allah bahkan bersumpah dengan jenis nafsu ini dalam Al-Qur’an:

وَلَآ أُقْسِمُ بِٱلنَّفْسِ ٱللَّوَّامَةِ
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menyesali (dirinya).”
(QS. Al-Qiyamah [75]: 2)

Habib al-Haddad menegaskan bahwa rasa bersalah bukanlah kelemahan, tapi tanda hati yang masih hidup.

  1. Nafsu Muthmainnah (Nafsu yang Tenang)

Tahap tertinggi dari nafsu yang telah dijinakkan. Nafsu ini sudah tunduk kepada kehendak Allah dan tidak memberontak lagi. Allah memujinya:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai.”
(QS. Al-Fajr [89]: 27–28)

Namun, untuk mencapai tahap ini dibutuhkan latihan panjang, kesabaran, dan ketekunan dalam beribadah serta introspeksi diri.

Langkah Menjinakkan Nafsu ala Habib al-Haddad

Habib al-Haddad tidak sekadar menjelaskan teori, tapi memberikan langkah-langkah nyata agar seseorang mampu mengendalikan nafsunya. Tiga langkah utama berikut sering disebut dalam karya beliau:

  1. Mujahadah: Melawan Diri Sendiri

“جَاهِدْ نَفْسَكَ دَائِمًا، فَإِنَّهَا لَا تَزَالُ تَدْعُوكَ إِلَى الْهَوَى.”
“Perangilah nafsumu terus-menerus, karena ia tak henti-hentinya mengajakmu pada hawa nafsu.”

Mujahadah berarti konsistensi. Nafsu tidak hilang hanya dengan satu doa atau satu kali zikir. Ia perlu dilatih terus-menerus—seperti otot yang hanya akan kuat bila digunakan secara teratur.

Habib al-Haddad mengingatkan bahwa mujahadah bukan berarti mematikan kebutuhan jasmani, melainkan mengaturnya agar tidak mendominasi akal dan hati.

  1. Riyadhah: Latihan Spiritual

Riyadhah berarti menahan diri dari hal-hal yang berlebihan, baik dalam makan, tidur, maupun berbicara. Dengan membatasi hal-hal duniawi, hati menjadi lembut dan peka terhadap bisikan ilahi.

“مَنْ كَثُرَ طَعَامُهُ نَعَسَ قَلْبُهُ، وَمَنْ قَلَّ طَعَامُهُ صَفَا قَلْبُهُ.”
“Siapa yang banyak makan, hatinya mengantuk; siapa yang sedikit makan, hatinya jernih.”

Dalam konteks modern, riyadhah bisa berarti mengatur pola hidup sederhana, menghindari konsumsi berlebihan, dan menenangkan diri dari distraksi media yang membuat jiwa lelah.

  1. Dzikir dan Murāqabah: Menghadirkan Allah dalam Kesadaran

Habib al-Haddad menulis:

“أَكْثِرْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ الذِّكْرَ يَكْبَحُ جِمَاحَ النَّفْسِ وَيُقَرِّبُ الْقَلْبَ مِنَ الرَّبِّ.”
“Perbanyaklah mengingat Allah, karena dzikir menahan nafsu yang liar dan mendekatkan hati kepada Tuhan.”

Ketika hati sibuk dengan mengingat Allah, nafsu kehilangan kekuatannya. Ia tetap ada, tapi sudah tunduk, jinak, dan patuh.

Nafsu dalam Konteks Kehidupan Modern

Di era digital, nafsu tidak lagi sekadar soal makan, minum, atau syahwat. Ia bisa berwujud keinginan akan pengakuan, kecanduan media sosial, dorongan untuk terlihat lebih hebat, bahkan haus validasi dari orang lain.

Menjinakkan nafsu di zaman ini berarti mengenali mekanisme halus yang membuat hati kita tidak tenang. Nafsu yang belum dikendalikan membuat seseorang sulit bersyukur dan mudah merasa kurang. Sedangkan orang yang berhasil menaklukkannya, akan menikmati kebahagiaan sederhana dan kedamaian batin yang tak bisa dibeli.

Habib al-Haddad memberi nasihat:

“اِرْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ، تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ.”
“Ridhalah dengan apa yang telah Allah tetapkan bagimu, maka engkau akan menjadi orang terkaya.”

Buah dari Nafsu yang Jinak

Ketika nafsu sudah dijinakkan, bukan dihapus, maka manusia akan mencapai keseimbangan antara dunia dan akhirat. Ia bekerja dengan giat tanpa tamak, beribadah dengan khusyuk tanpa sombong, mencintai tanpa berlebihan, dan marah tanpa kebencian.

Nafsu yang jinak menjadikan seseorang hidup dengan kesadaran. Ia tidak lagi menjadi budak keinginan, tetapi pengendali dari dirinya sendiri. Di sinilah kebebasan sejati: bukan bebas melakukan apa pun, tapi bebas dari keharusan mengikuti semua keinginan.

Habib al-Haddad menulis dengan penuh hikmah:

“مَنْ مَلَكَ نَفْسَهُ مَلَكَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ.”
“Barang siapa mampu menguasai nafsunya, maka ia akan menguasai dunia dan akhirat.”

Penutup: Nafsu yang Jinak Adalah Teman Spiritual

Nafsu memang tidak bisa hilang, tapi ia bisa menjadi sahabat dalam perjalanan spiritual. Jika diarahkan dengan benar, ia menjadi energi yang menuntun seseorang menuju kebaikan.

Perjalanan menjinakkan nafsu bukan perkara sehari dua hari. Ia adalah latihan seumur hidup, seperti menunggang kuda liar yang perlahan tunduk setelah lama dilatih dengan kesabaran.

Pada akhirnya, sebagaimana diingatkan Habib al-Haddad:

“إِذَا أَطَعْتَ اللَّهَ، أَطَاعَتْكَ نَفْسُكَ، وَإِذَا عَصَيْتَهُ، عَصَتْكَ نَفْسُكَ.”
“Jika engkau taat kepada Allah, maka nafsumu akan taat kepadamu; tapi jika engkau durhaka, maka nafsumu akan durhaka pula.”

Menjinakkan nafsu berarti menundukkan diri kepada Allah. Di situlah letak kemenangan sejati—bukan menghapus keinginan, tapi mengarahkan seluruh keinginan untuk menjadi sarana mendekat kepada-Nya.

Dan ketika hati telah jinak, maka dunia tak lagi gaduh. Nafsu pun berbisik lembut: aku ikut engkau menuju Allah.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement