Khazanah
Beranda » Berita » Bagaimana Ulama Menyusun Sanad Paling Pendek? Konsep Sanad ‘Ālī dan Nāzil ala Ibn al-Ṣalāḥ

Bagaimana Ulama Menyusun Sanad Paling Pendek? Konsep Sanad ‘Ālī dan Nāzil ala Ibn al-Ṣalāḥ

Ilustrasi ulama klasik dengan kitab dan rantai emas yang melambangkan sanad ali dan nazil dalam ilmu hadis.
Ulama duduk dengan kitab terbuka dan rantai emas bercahaya menjulang ke atas, simbol keterhubungan ilmu dan kejujuran sanad.

Surau.co. Sanad ‘ālī dan nāzil adalah dua istilah yang sering muncul dalam studi hadis klasik. Dalam Muqaddimah fī ʿUlūm al-Ḥadīth, Ibn al-Ṣalāḥ menyebut bahwa keduanya menggambarkan tingkat “jarak” antara seorang perawi dengan Rasulullah ﷺ dalam rantai periwayatan.

Ia menulis:

“الْإِسْنَادُ الْعَالِي هُوَ مَا قَلَّ عَدَدُ رُوَاتِهِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، وَالنَّازِلُ مَا كَثُرَ فِيهِ الْوَاسِطَةُ.”
“Sanad ‘ālī adalah sanad yang jumlah perawinya sedikit hingga sampai kepada Nabi ﷺ, sedangkan sanad nāzil adalah yang memiliki banyak perantara.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ʿālī wa al-nāzil)

Dalam dunia hadis, semakin sedikit perantara antara seorang perawi dan Nabi ﷺ, semakin tinggi pula nilai sanad tersebut. Ibarat surat penting, makin sedikit tangan yang menyentuh, makin asli pesannya.

Namun, Ibn al-Ṣalāḥ menekankan bahwa “tinggi” tidak selalu berarti “lebih sahih”. Kualitas sanad tidak diukur dari jaraknya saja, tapi juga dari kejujuran dan kredibilitas setiap perawinya.

Pentingnya Akhlak Mulia

Sanad Sebagai Jembatan Sejarah yang Hidup

Sanad bukan sekadar daftar nama. Ia adalah rantai kehidupan yang menghubungkan generasi ke generasi. Para ulama menyebutnya sebagai “rantai emas” ilmu. Karena itu, memiliki sanad ‘ālī dianggap kehormatan tersendiri.

Bagi para ahli hadis, sanad ‘ālī seolah memberi kedekatan spiritual dengan Nabi ﷺ. Ibn al-Ṣalāḥ mengungkapkan:

“وَكُلَّمَا قَلَّتِ الْوَاسِطَةُ كَانَ أَقْرَبَ إِلَى الْمَصْدَرِ وَأَشْرَفَ.”
“Semakin sedikit perantara, maka semakin dekat dengan sumber (yakni Nabi ﷺ) dan semakin mulia kedudukannya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ʿālī wa al-nāzil)

Bayangkan, jika seseorang meriwayatkan hadis hanya melalui tiga atau empat guru sebelum sampai ke Nabi ﷺ — artinya ia berada sangat dekat dengan generasi sahabat dan tabiʿīn. Tidak heran jika para ulama dahulu rela menempuh perjalanan ribuan kilometer hanya untuk mendapatkan satu sanad yang lebih pendek.

Semangat Perjalanan Menuntut Sanad

Dalam sejarah, para ulama hadis dikenal sangat tekun mengejar sanad ‘ālī. Mereka melakukan riḥlah fī ṭalab al-ḥadīth — perjalanan ilmiah lintas kota bahkan lintas benua hanya untuk mendengar satu hadis dari sumber yang lebih dekat.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Ibn al-Ṣalāḥ mencatat fenomena ini dengan kagum:

“كَانَ الْمُحَدِّثُونَ يَرْحَلُونَ لِلْعَالِي كَمَا يَرْحَلُونَ لِلصَّحِيحِ.”
“Para ahli hadis melakukan perjalanan untuk mendapatkan sanad tinggi sebagaimana mereka bepergian untuk mendapatkan hadis sahih.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-riḥlah wa al-ʿālī)

Mereka bukan sekadar mengumpulkan teks, tapi menjaga kesinambungan keilmuan dengan cara yang penuh adab. Setiap perjalanan menjadi ibadah, dan setiap pertemuan dengan guru menjadi jembatan menuju sumber wahyu.

Kisah ini mengingatkan kita pada fenomena hari ini: ketika banyak orang rela mengikuti pelatihan atau kuliah jarak jauh demi “dekat” dengan sumber ilmu. Hanya saja, ulama klasik melakukannya dengan niat yang jauh lebih tulus — bukan demi gelar, tapi demi sanad yang bersambung kepada Nabi.

Ketika “Sanad Rendah” Tidak Selalu Buruk

Meski para ulama memuliakan sanad ‘ālī, Ibn al-Ṣalāḥ tidak menafikan keutamaan sanad nāzil. Ia menulis dengan adil:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“وَإِنَّ الْإِسْنَادَ النَّازِلَ قَدْ يَكُونُ أَصَحَّ مِنَ الْعَالِي إِذَا كَانَ رُوَاتُهُ أَثْبَتَ.”
“Sanad yang rendah bisa jadi lebih sahih daripada sanad tinggi jika para perawinya lebih kuat (dalam hafalan dan kejujuran).”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ʿālī wa al-nāzil)

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ibn al-Ṣalāḥ bukan hanya seorang ahli sanad, tetapi juga pemikir yang objektif. Ia memahami bahwa kualitas tidak selalu ditentukan oleh kuantitas atau jarak, melainkan oleh integritas.

Dalam konteks kehidupan modern, prinsip ini sangat relevan: terkadang, orang yang “dekat” secara fisik belum tentu lebih jujur daripada yang “jauh” namun memiliki hati yang tulus.

Fenomena Modern: “Sanad” di Era Digital

Jika dulu ulama mengejar sanad melalui perjalanan fisik, kini sanad modern hadir dalam bentuk berbeda — jaringan keilmuan digital. Kita belajar dari dosen melalui layar, membaca kitab melalui aplikasi, dan menerima pengetahuan tanpa tatap muka.

Namun, semangat sanad tetap hidup: mencari sumber yang terpercaya, menyebut guru dengan hormat, dan menjaga kebenaran pesan. Inilah warisan etika yang harus dijaga oleh generasi digital.

Firman Allah ﷻ menegaskan pentingnya tabayyun (verifikasi):

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا﴾
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)

Ayat ini menjadi semangat abadi ilmu hadis: jangan ambil informasi tanpa sanad, tanpa sumber, tanpa kejelasan.

Sanad dan Cinta: Keduanya Menyambung, Tak Pernah Putus

Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, sanad bukan sekadar urutan nama, tetapi juga simbol cinta antara murid dan guru, antara ilmu dan amanah. Dalam dunia hadis, setiap nama dalam sanad adalah bukti kasih sayang terhadap kebenaran.

Beliau menulis penuh hikmah:

“الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَالْعِلْمُ بِلَا إِسْنَادٍ كَبِرٍّ بِلَا أَبٍ.”
“Sanad adalah bagian dari agama. Ilmu tanpa sanad bagaikan anak tanpa ayah.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab faḍl al-isnād)

Ungkapan ini menggambarkan keindahan epistemologi Islam. Ilmu bukan milik individu, tapi hasil perjalanan panjang yang diwariskan dengan cinta dan kejujuran.

Penutup: Menjaga Sanad, Menjaga Martabat Ilmu

Konsep sanad ‘ālī dan nāzil bukan hanya perdebatan teknis di kalangan ahli hadis, tapi juga simbol cara berpikir yang sistematis, teliti, dan beradab.

Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya tentang “berapa cepat kita tahu”, tapi “seberapa benar dan dari siapa kita tahu.”

Di era media sosial yang penuh informasi tanpa sumber, prinsip sanad kembali relevan: kita perlu guru, referensi, dan verifikasi. Karena tanpa itu, ilmu berubah jadi opini, dan kebenaran kehilangan akar.

Maka, seperti para ulama dulu yang berjalan berbulan-bulan demi satu sanad, kita pun harus berjalan — bukan dengan kaki, tapi dengan hati yang ikhlas menjaga rantai kebenaran agar tak terputus.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement