Surau.co. Hadis musalsal adalah salah satu keindahan tersembunyi dalam ilmu hadis. Tidak seperti hadis pada umumnya, musalsal tidak hanya meriwayatkan isi ucapan Nabi ﷺ, tetapi juga meniru cara penyampaiannya. Ibn al-Ṣalāḥ dalam Muqaddimah-nya menjelaskan bahwa hadis ini adalah wujud kesetiaan ulama terhadap detail — bahkan terhadap gaya, gerak tubuh, dan ekspresi yang digunakan saat hadis disampaikan.
Beliau mendefinisikan:
“الْمُسَلْسَلُ مَا تَتَتَابَعَ رُوَاتُهُ عَلَى صِفَةٍ أَوْ حَالٍ أَوْ قَوْلٍ.”
“Hadis musalsal ialah hadis yang para perawinya meriwayatkan secara berurutan dengan mengikuti satu sifat, keadaan, atau ucapan tertentu.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ḥadīth al-musalsal)
Bayangkan, sanad yang tidak hanya menyebut siapa meriwayatkan dari siapa, tetapi juga bagaimana setiap perawi meniru perawi sebelumnya — dari gaya duduk hingga ekspresi wajah. Sebuah rantai peniruan yang tidak hanya ilmiah, tapi juga emosional.
Keindahan Tradisi yang Menular
Di banyak pesantren, hadis musalsal sering menjadi momen penuh senyum. Santri yang belajar hadis Musalsal bi al-Mahabbah (hadis musalsal dengan cinta) biasanya akan menerima hadis itu dari gurunya sambil berjabat tangan. Sang guru pun berkata dengan lembut:
“Aku meriwayatkan hadis ini darimu, sebagaimana guruku meraihnya dariku — dengan cinta.”
Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan bahwa bentuk seperti ini menunjukkan hubungan batin antara guru dan murid, bukan sekadar transmisi teks.
Beliau menulis:
“فِي الْمُسَلْسَلِ دَلَالَةٌ عَلَى اتِّصَالِ الْقَلْبِ كَمَا هُوَ اتِّصَالُ السَّنَدِ.”
“Dalam hadis musalsal terdapat petunjuk tentang keterhubungan hati, sebagaimana keterhubungan sanad.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-musalsal)
Kalimat ini terasa indah: sanad bukan hanya rantai ilmu, tapi juga rantai hati.
Jenis-jenis Musalsal: Antara Aksi dan Ucapan
Hadis musalsal tidak hanya satu jenis. Ibn al-Ṣalāḥ menyebutkan bahwa ia bisa berupa tindakan, cara penyampaian, maupun bentuk ucapan yang khas. Misalnya:
- Musalsal bi al-Qawl (berpola ucapan): setiap perawi mengulang kalimat yang sama seperti gurunya.
-
Musalsal bi al-Fiʿl (berpola tindakan): setiap perawi meniru gerakan atau cara guru sebelumnya.
-
Musalsal bi al-Waqt (berpola waktu): hadis yang selalu diriwayatkan pada waktu tertentu, seperti setiap hari Jumat atau pada bulan Ramadan.
Beliau menjelaskan dengan rinci:
“وَمِنَ الْمُسَلْسَلِ مَا يَكُونُ بِالْقَوْلِ أَوْ الْفِعْلِ أَوْ الزَّمَانِ، كَمَا يَكُونُ بِالْحَالِ.”
“Hadis musalsal bisa berupa pola ucapan, tindakan, waktu, atau keadaan tertentu.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-musalsal)
Dari sini kita bisa melihat betapa luasnya cara para ulama menjaga tradisi ilmiah. Tidak hanya teks yang diingat, tetapi juga cara dan suasana dalam menyampaikan ilmu.
Cinta dan Kejujuran dalam Sanad
Salah satu hadis musalsal yang terkenal adalah Musalsal bi al-Mahabbah, yang berisi sabda Nabi ﷺ:
«الْمُتَحَابُّونَ فِي اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ»
“Orang-orang yang saling mencintai karena Allah akan berada di mimbar-mimbar dari cahaya.”
(HR. al-Tirmidzi)
Hadis ini sering disampaikan sambil berjabat tangan, menandakan ikatan kasih antara guru dan murid. Ibn al-Ṣalāḥ memandangnya sebagai bukti bahwa sanad tidak hanya mekanis, tapi juga spiritual.
Ia menulis:
“الْمُسَلْسَلُ دَلِيلٌ عَلَى عِنَايَةِ الْمُحَدِّثِينَ بِالنَّقْلِ الْمَحْضِ وَالْمَعْنَى الْمُشَاهَدِ.”
“Hadis musalsal menjadi bukti perhatian besar para ahli hadis terhadap periwayatan tekstual sekaligus makna yang disaksikan.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-musalsal)
Melalui penjelasan ini, kita belajar bahwa kejujuran ilmiah tidak kaku, tetapi penuh kehangatan. Ilmu dan cinta bisa berjalan beriringan.
Fenomena Modern: Ketika Pola Menular Lebih Cepat dari Makna
Di era media sosial, kita juga mengenal pola penyebaran yang “musalsal” — dari unggahan satu orang, ditiru oleh yang lain, hingga menjadi tren. Sayangnya, tidak semua yang menular membawa nilai kebenaran. Berbeda dengan hadis musalsal yang lahir dari amanah ilmiah, tren digital sering kali kosong dari makna.
Pelajaran dari Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan: yang terpenting bukan seberapa cepat sesuatu menyebar, tetapi seberapa sahih dan bermakna isinya.
Allah ﷻ berfirman:
﴿إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا﴾
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati — semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isrā’ [17]: 36)
Ayat ini seolah memperkuat semangat ilmu hadis: setiap mata rantai tanggung jawab harus dijaga dengan amanah.
Senyum Santri dan Semangat Keilmuan
Mengapa santri tersenyum ketika mendengar hadis musalsal? Karena di dalamnya ada harmoni antara keseriusan ilmu dan kelembutan akhlak. Tidak ada ketegangan dogmatis di sana; yang ada adalah keindahan tradisi yang hidup.
Ketika guru meriwayatkan hadis musalsal dengan jabat tangan atau senyum, itu bukan sekadar simbol, melainkan warisan spiritual. Ia menandakan bahwa ilmu adalah cahaya yang diwariskan melalui kasih sayang, bukan sekadar hafalan.
Ibn al-Ṣalāḥ, dalam gayanya yang khas, menutup pembahasan ini dengan pesan lembut:
“مَنْ رَوَى الْمُسَلْسَلَ عَلَى وَجْهِهِ، فَقَدْ أَدَّى الْأَمَانَةَ وَأَحْيَا السُّنَّةَ.”
“Barang siapa meriwayatkan hadis musalsal sebagaimana mestinya, maka ia telah menunaikan amanah dan menghidupkan sunnah.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, penutup bab al-musalsal)
Penutup: Musalsal sebagai Simbol Keindahan dan Ketelitian
Hadis musalsal adalah harmoni antara keilmuan dan kemanusiaan. Ia menunjukkan bahwa dalam Islam, kebenaran tidak hanya dijaga dengan nalar, tetapi juga dengan kasih.
Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, musalsal bukan sekadar kategori teknis dalam hadis, melainkan potret spiritual tentang bagaimana ilmu diwariskan — dengan senyum, sentuhan, dan kejujuran.
Dan mungkin, itulah sebabnya para santri tersenyum ketika mempelajarinya: sebab mereka sedang menyambung bukan hanya sanad ilmu, tetapi juga sanad cinta.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
