Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Dendam Menjadi Hidayah: Kisah Keislaman Shafwan ibn Umayyah

Ketika Dendam Menjadi Hidayah: Kisah Keislaman Shafwan ibn Umayyah

Ilustrasi dialog dua sahabat.
Ilustrasi dialog dua sahabat.

SURAU.COShafwan ibn Umayyah ibn Khalaf adalah sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Jumah. Setelah Perang Badar usai, pasukan musyrik Quraisy pulang ke negeri mereka dengan kepala tertunduk malu. Mereka merasa kesal karena kekuatan mereka yang jauh lebih besar dikalahkan oleh para pengikut Muhammad. Di antara yang tewas adalah Umayyah ibn Khalaf (ayah Shafwan), Abu Jahal, Utbah, dan Syaibah.

Sebelum mati terbunuh, Umayyah ibn Khalaf dan putranya tertawan oleh Abdurrahman ibn Auf. Namun, ketika Abdurrahman menggiring mereka, tiba-tiba Bilal ibn Rabah muncul dan langsung berteriak, “Aku tidak akan selamat jika mereka berdua selamat. Hai kaum Anshar! Umayyah ibn Khalaf adalah biang kekafiran. Aku tidak akan selamat jika ia selamat!”

Meskipun Abdurrahman berkata, “Hai Bilal, mereka tawananku!”, Bilal kembali berteriak. Maka, tanpa seorang pun bisa mencegah, pedang-pedang orang Anshar menyabet dan menusuk tubuh Umayyah dan putranya.

Shafwan ibn Umayyah mengalami duka yang mendalam. Ia dirundung kepedihan, sehingga pikirannya penuh dengan gagasan untuk membalas dendam kepada Muhammad yang dianggapnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Suatu hari, ia berjumpa dengan Umair ibn Wahhab, seorang tokoh Quraisy yang putranya tertawan dalam Perang Badar. Mereka merasakan duka dan hasrat yang sama.

Kesepakatan Pembunuhan dan Keislaman Umair

Umair mengatakan kepada Shafwan bahwa ia ingin membalas dendam kepada Muhammad, tetapi tak bisa melakukannya karena dua halangan: ia memiliki banyak utang, dan tidak ada lagi orang yang akan melindungi keluarganya.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Mendengar keluhan Umair, tebersit gagasan cemerlang dalam benak Shafwan. Ia langsung berujar kepada Umair, “Jangan pikirkan utang-utangmu. Biar aku yang melunasi semua utangmu. Lalu tentang keluargamu, biarlah mereka menjadi tanggunganku.” Umair senang mendengar janji itu dan bertekad segera berangkat ke Madinah untuk membunuh Muhammad. Ia meminta Shafwan merahasiakan pembicaraan mereka.

Ketika Umair tiba di dekat masjid Rasulullah Saw, Umar ra. mencurigainya dan langsung meringkusnya, kemudian menggiringnya ke hadapan Rasulullah.

Nabi menanyakan maksud kedatangan Umair. Meskipun Umair berkelit bahwa ia datang untuk menebus putranya, Rasulullah bersabda dengan lembut, “Bicaralah dengan jujur! Bukankah sebelum ini kau duduk dan berbincang-bincang dengan Shafwan ibn Umayyah di dekat Hijir?…”

Umair terkesiap mendengar penuturan Rasulullah. Lantas, dengan penuh kesadaran ia berkata,

“Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah… Demi Allah, hanya diriku dan Shafwan yang mengetahui masalah tersebut. Aku sadar, pasti engkau mendapatkan kabar tersebut dari Allah.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Rasulullah bersabda kepada para sahabat,

“Ajarkan saudara kalian ini tentang agama, lalu bacakan kepadanya Al-Qur’an, dan bebaskan putranya.”

Setelah itu, Umair meminta izin pulang ke Makkah untuk mengajak orang Makkah memeluk Islam.

Kekecewaan Shafwan dan Perlindungan Nabi

Sementara itu, di Makkah, Shafwan terus menantikan kabar dari Umair. Ia telah sesumbar kepada kaum Quraisy bahwa sebentar lagi mereka akan mendengar kabar gembira. Namun, rencana Allah berjalan menyalahi keinginannya. Seseorang datang menemuinya dan berkata, “Hai Shafwan, tahukah kamu bahwa Umair ibn Wahab telah memeluk agama Muhammad?” Kabar itu sangat mengejutkan Shafwan, sehingga ia jatuh pingsan. Setelah sadar, ia bersumpah tidak akan mau berbicara dengan Umair.

Peristiwa Fathu Makkah membuat Shafwan tidak berkutik sehingga ia berniat pindah ke Jeddah. Ketika mengetahui keinginan Shafwan, Umair ibn Wahab merasa prihatin. Ia segera menghadap Rasulullah  dan meminta perlindungan bagi Shafwan. Beliau menerima permohonannya dan memberikan selendang sebagai tanda perlindungan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Umair menemui Shafwan yang telah siap-siap bertolak ke Jeddah. Ia meyakinkan Shafwan dan memperlihatkan bukti berupa selendang dari beliau. Setelah meyakinkan Shafwan, keduanya segera menghadap Rasulullah.

Rasulullah  menjawab permohonannya, “Tinggallah, dan kau punya waktu selama empat bulan.” Mendengar jawaban Rasulullah, barulah Shafwan yakin dan bersedia tinggal bersama Umair.

Keislaman Shafwan

Saat bersiap-siap menuju Hunain, Rasulullah Saw. mendengar kabar bahwa Shafwan punya banyak baju perang dan persenjataan. Beliau mengutus seseorang untuk memintanya menghadap, “Wahai Abu Umayyah, pinjamilah kami persenjataanmu untuk menghadapi musuh.”

Shafwan bertanya, “Apakah ini rampasan?”

“Ini pinjaman. Kami berjanji akan mengembalikannya kepadamu.”

Shafwan memberikan seratus baju perang. Ia ikut serta dalam Perang Hunain meskipun belum memeluk Islam.

Pada Perang Hunain, Shafwan melihat betapa banyaknya pemberian Rasulullah Saw. Ia berkata,

“Demi Allah, perilaku ini hanya dimiliki oleh seorang nabi.”

Setelah itu, Shafwan memeluk Islam.

Kemudian, ia pulang ke Makkah dan menetap di sana sampai wafatnya setelah peristiwa pembunuhan Utsman ibn Affan.(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement