Surau.co. Dalam dunia hadis, satu kata tambahan bisa mengubah pemahaman seluruh riwayat. Itulah sebabnya Ibn al-Ṣalāḥ, dalam kitab monumentalnya Muqaddimah fī ʿUlūm al-Ḥadīth, memberikan perhatian khusus pada bab Ziyādāt al-Thiqāt — pembahasan tentang tambahan hadis yang diriwayatkan oleh perawi terpercaya.
Di mata beliau, tidak semua tambahan harus diterima, namun tidak semua pula harus ditolak. Kuncinya adalah menimbang dengan adil: apakah tambahan itu lahir dari perawi yang terpercaya, atau dari kelemahan ingatan yang tidak disadari?
Beliau menulis:
“زِيَادَةُ الثِّقَاتِ مَقْبُولَةٌ إِذَا لَمْ تُخَالِفْ مَنْ هُوَ أَوْثَقُ.”
“Tambahan dari perawi yang terpercaya dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih kuat.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ziyādāt al-Thiqāt)
Prinsip sederhana ini adalah fondasi besar dalam kritik sanad: keseimbangan antara kepercayaan dan kehati-hatian.
Fenomena “Tambahan” dalam Kehidupan Sehari-hari
Jika kita pikirkan, fenomena ziyādāt ini sering terjadi di kehidupan kita. Bayangkan ada dua orang yang menyaksikan kejadian yang sama. Keduanya menceritakan hal serupa, tapi yang satu menambahkan detail kecil — “dia tersenyum sebelum berbicara.”
Apakah tambahan itu salah? Tidak. Bisa jadi memang benar, hanya saja saksi pertama lupa menyebutnya. Begitu juga dalam hadis: perawi yang kuat bisa menambahkan detail tanpa bertentangan dengan riwayat lain.
Namun, jika tambahan itu mengubah makna utama, misalnya dari “tidak wajib” menjadi “wajib”, maka ulama harus meneliti lebih dalam.
Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan lebih lanjut:
“فَإِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ تُنَافِي مَا رَوَاهُ الْأَوْثَقُ، فَهِيَ شَاذَّةٌ لَا يُعْتَمَدُ عَلَيْهَا.”
“Jika tambahan tersebut bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, maka ia termasuk hadis syādz (ganjil) dan tidak dapat dijadikan pegangan.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ziyādāt al-Thiqāt)
Ini menunjukkan bahwa dalam ilmu hadis, tidak ada ruang untuk fanatisme buta terhadap satu riwayat. Yang dijaga bukan hanya teks, tapi juga keseimbangan makna.
Tambahan yang Menguatkan: Ketika Perawi Menjadi Saksi Kedua
Dalam sebagian kasus, ziyādāt justru memperkaya hadis. Seorang perawi terpercaya bisa saja menyebut detail yang tidak diingat oleh yang lain, dan itu membuat pemahaman hadis lebih utuh.
Ibn al-Ṣalāḥ menguraikan bahwa tambahan seperti ini diterima bahkan jika hanya satu perawi yang menyebutkannya, selama ia terpercaya dan tidak menyalahi makna dasar hadis.
“وَإِذَا كَانَتِ الزِّيَادَةُ مِنْ ثِقَةٍ ضَابِطٍ، وَلَمْ تُنَافِ مَا رَوَاهُ غَيْرُهُ، فَتُقْبَلُ وَلَا مَانِعَ مِنْهَا.”
“Jika tambahan datang dari perawi yang terpercaya dan teliti, serta tidak bertentangan dengan riwayat lain, maka ia diterima tanpa halangan.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ziyādāt al-Thiqāt)
Dalam istilah modern, ini seperti adanya “versi lengkap” dari laporan berita — bukan karena versi sebelumnya salah, tapi karena ada wartawan lain yang memperhatikan detail tambahan.
Menghindari Kesalahan Persepsi
Namun, Ibn al-Ṣalāḥ juga memberi peringatan agar tambahan tidak disalahpahami sebagai “hadis baru”. Ia menegaskan pentingnya memahami konteks sanad dan matan.
Banyak hadis yang tampak berbeda hanya karena satu kata tambahan, padahal maksudnya sama. Di sinilah pentingnya ilmu jamʿ wa al-taṭbīq — mengompromikan riwayat yang tampak berbeda agar tidak salah tafsir.
Beliau menulis:
“وَإِذَا كَانَتِ الزِّيَادَةُ مَعَ التَّوْفِيقِ مُمْكِنَةً، وَجَبَ الْجَمْعُ بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ.”
“Apabila tambahan dapat dikompromikan dengan riwayat lain tanpa kontradiksi, maka wajib menggabungkan keduanya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab Ziyādāt al-Thiqāt)
Dengan prinsip ini, Ibn al-Ṣalāḥ tidak hanya mengajarkan metode ilmiah, tapi juga etika berpikir: hindari tergesa menolak perbedaan, karena bisa jadi keduanya benar dari sisi yang berbeda.
Nilai Moral di Balik Kritisnya Ilmu Sanad
Menariknya, pembahasan ziyādāt al-thiqāt bukan hanya teknis, tetapi sarat nilai moral. Ia mengajarkan keadilan, keseimbangan, dan sikap tidak tergesa-gesa menilai. Dalam kehidupan sosial, ini mirip dengan bagaimana kita mendengar berita — siapa yang menyampaikan, apa konteksnya, dan apakah ada bukti pendukung.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
«كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ»
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala hal yang ia dengar.”
(HR. Muslim)
Hadis ini sejalan dengan prinsip Ibn al-Ṣalāḥ: kejujuran bukan hanya soal tidak berbohong, tetapi juga soal kehati-hatian dalam menyampaikan sesuatu.
Relevansi Ziyādāt di Era Informasi
Di zaman digital, fenomena ziyādāt hadir dalam bentuk yang lebih kompleks. Kadang kita menerima “tambahan informasi” dari sumber yang belum tentu terpercaya. Sama seperti ulama hadis, kita perlu memeriksa: apakah tambahan itu memperjelas, atau justru mengubah makna?
Media sosial penuh dengan “tambahan” — potongan video, teks yang diperluas, atau kutipan yang dimodifikasi. Pelajaran dari Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan bahwa verifikasi adalah bentuk ibadah intelektual.
Penutup: Menimbang dengan Adil, Menyampaikan dengan Amanah
Bab Ziyādāt al-Thiqāt dalam Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ bukan sekadar panduan teknis hadis, tapi juga filosofi kehidupan. Ia mengajarkan agar kita berhati-hati terhadap tambahan informasi, baik dalam ilmu maupun dalam interaksi sosial.
Tambahan bisa jadi kebenaran baru, tapi juga bisa menjadi celah kesalahan. Maka, sebagaimana perawi menimbang tambahan sanad, manusia modern pun harus menimbang setiap tambahan narasi yang datang kepadanya.
Kejujuran, seperti yang diajarkan Ibn al-Ṣalāḥ, bukan hanya milik ulama hadis — ia adalah milik setiap pencinta kebenaran.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
