Khazanah
Beranda » Berita » Hadis yang Menyelisihi Mayoritas: Telaah Ibn al-Ṣalāḥ tentang Hadis Syādz dan Munkar

Hadis yang Menyelisihi Mayoritas: Telaah Ibn al-Ṣalāḥ tentang Hadis Syādz dan Munkar

Ulama meneliti dua manuskrip hadis berbeda sebagai simbol penelitian hadis syādz dan munkar.
Ulama hadis meneliti dua naskah yang tampak kontradiktif, menggambarkan proses verifikasi antara hadis syādz dan munkar.

Surau.co. Hadis syādz dan munkar menurut Ibn al-Ṣalāḥ — dua istilah yang kerap membuat bingung pembelajar hadis — menjadi perhatian mendalam dalam karya monumental Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ʿUlūm al-Ḥadīth. Dalam kitab tersebut, Ibn al-Ṣalāḥ menyingkap dimensi menarik dari hadis yang “menyelisihi mayoritas”, bukan untuk menolak begitu saja, melainkan untuk menimbang kebenarannya secara adil.

Sejak paragraf awal pembahasannya, beliau menegaskan bahwa syudzūdz (keanehan dalam riwayat) tidak selalu berarti kepalsuan. Sebab, terkadang yang minoritas bukan berarti salah — hanya butuh penelitian lebih dalam. Ibn al-Ṣalāḥ menulis:

“الشَّاذُّ هُوَ مَا يَرْوِيهِ الثِّقَةُ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ.”
“Hadis syādz ialah riwayat seorang perawi terpercaya yang menyelisihi riwayat perawi lain yang lebih terpercaya darinya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ḥadīth al-syādz)

Definisi ini menunjukkan kejelian luar biasa. Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, “aneh” bukan soal isi hadisnya semata, tapi soal posisi riwayat dalam keseimbangan otoritas sanad.

Fenomena “Minoritas Suara” dalam Dunia Hadis

Kita sering melihat fenomena serupa dalam kehidupan modern: ada pendapat ilmiah yang berbeda dari arus utama, lalu dianggap keliru hanya karena tidak populer. Padahal, tidak semua yang minoritas itu salah. Ibn al-Ṣalāḥ, dengan ketajaman metodologinya, memberi ruang bagi kemungkinan kebenaran yang tak berisik.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Namun, beliau juga memberi peringatan agar tidak terburu-buru membela yang berbeda hanya karena tampak unik. Diperlukan penelitian mendalam atas kualitas perawi dan validitas sanad. Dalam Muqaddimah, beliau menulis:

“فَإِنَّ الْمُخَالَفَةَ إِذَا وَقَعَتْ بَيْنَ الثِّقَاتِ، وُزِنَتْ بِالْمَرْجِحَاتِ، فَإِنْ تَبَيَّنَتِ الْمُخَالَفَةُ، فَالشَّاذُّ مَرْدُودٌ.”
“Apabila perbedaan terjadi di antara perawi terpercaya, maka harus ditimbang dengan faktor penguat. Jika jelas bahwa salah satunya menyelisihi yang lebih kuat, maka hadis syādz ditolak.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ḥadīth al-syādz)

Kata “mardūd” (ditolak) bukan berarti hadis itu palsu, melainkan tidak bisa dijadikan dasar hukum sampai ditemukan bukti pendukung.

Hadis Munkar: Ketika Kelemahan Tak Lagi Tersembunyi

Jika syādz muncul dari perawi yang kuat tapi menyelisihi yang lebih kuat, maka munkar adalah kebalikannya — datang dari perawi lemah yang menyelisihi perawi kuat. Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan dengan lugas:

“الْمُنْكَرُ مَا يُرْوِيهِ الضَّعِيفُ مُخَالِفًا لِلثِّقَاتِ.”
“Hadis munkar ialah riwayat seorang perawi lemah yang menyelisihi riwayat para perawi terpercaya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ḥadīth al-munkar)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam bahasa sederhana, munkar adalah “versi cacat” dari syādz. Ia bukan hanya berbeda, tapi juga datang dari sumber yang tidak cukup kuat untuk dipertanggungjawabkan.

Meski demikian, Ibn al-Ṣalāḥ tetap adil. Ia tidak serta-merta membuang hadis munkar ke tong sejarah. Sebagian hadis munkar bisa saja memiliki makna moral atau pelajaran spiritual, selama tidak digunakan sebagai dasar hukum.

Kebijakan ini menunjukkan keseimbangan klasik: ketegasan ilmiah berjalan berdampingan dengan kelembutan etika.

Antara Kebenaran dan Popularitas

Konsep syādz dan munkar mengandung refleksi mendalam tentang kebenaran dan popularitas. Dalam realitas sosial, kebenaran sering kali tidak ramai, bahkan kadang terpinggirkan oleh narasi yang lebih kuat secara politik atau emosional.

Dalam konteks hadis, Ibn al-Ṣalāḥ menegaskan bahwa “mayoritas” tidak otomatis benar. Ia harus diuji dengan data, sanad, dan konteks.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dalam Muqaddimah-nya, beliau mengingatkan:

“لَيْسَ كُلُّ مَا كَثُرَ نَقَلَتُهُ يَصِحُّ، وَلَا كُلُّ مَا قَلَّ نَقَلَتُهُ يُرَدُّ.”
“Tidak semua yang banyak perawinya pasti sahih, dan tidak semua yang sedikit perawinya otomatis ditolak.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ḥadīth al-mukhtalif)

Pernyataan ini seperti tamparan bagi mentalitas “ikut ramai”. Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan sikap kritis: kebenaran ilmiah berdiri di atas bukti, bukan keramaian suara.

Fenomena Hadis “Aneh” di Dunia Modern

Fenomena hadis syādz kini berulang dalam bentuk baru: potongan hadis viral di media sosial yang berbeda dengan pemahaman umum. Kadang benar, kadang tidak. Sebagian netizen langsung menolak karena “tidak pernah dengar”, padahal mungkin berasal dari sanad yang valid tapi jarang dikutip.

Pelajaran dari Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan pentingnya tabayyun (verifikasi). Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا﴾
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)

Ayat ini bukan hanya panduan sosial, tetapi juga prinsip ilmiah. Dalam ilmu hadis, tabayyun menjadi pondasi metode kritik sanad dan matan — dasar dari keilmuan yang menjaga keaslian sabda Nabi ﷺ.

Menemukan Hikmah di Balik Hadis yang “Berbeda”

Ibn al-Ṣalāḥ tidak menulis Muqaddimah-nya untuk membingungkan, tetapi untuk mendidik cara berpikir ilmiah. Ketika hadis tampak syādz atau munkar, tugas seorang peneliti bukan menghakimi, melainkan meneliti.

Ia menulis dengan bijak:

“وَمَنْ تَأَمَّلَ أَقْوَالَ الْأَئِمَّةِ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ، عَلِمَ أَنَّ الْعِلْمَ بِهَذَا الْبَابِ مِنْ أَشْرَفِ الْعُلُومِ.”
“Barang siapa memperhatikan ucapan para imam dalam jarh dan taʿdīl (kritik dan verifikasi perawi), ia akan tahu bahwa ilmu ini termasuk ilmu yang paling mulia.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab jarh wa taʿdīl)

Ilmu ini memang rumit, tetapi di situlah letak keindahannya. Setiap perawi, setiap sanad, setiap matan — semuanya diuji bukan hanya dengan logika, tapi juga dengan akhlak: jujur, hati-hati, dan tidak tergesa.

Penutup: Kebenaran yang Sunyi tapi Kokoh

Hadis syādz dan munkar menurut Ibn al-Ṣalāḥ bukan sekadar kategori ilmiah, tapi juga cermin moral. Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan bahwa kebenaran kadang berdiri sendiri, tidak populer, tapi tetap bernilai.

Dalam dunia yang bising oleh klaim dan pendapat, maka semangat Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan:

“Kejujuran ilmiah tidak diukur dari jumlah pengikut, tetapi dari ketulusan mencari yang sahih.”

Dan begitulah warisan beliau — bukan hanya untuk para muhaddits, tapi juga bagi siapa saja yang mencari kebenaran di tengah hiruk pikuk suara manusia.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement