Khazanah
Beranda » Berita » Tadlīs: Seni Tersembunyi dalam Sanad dan Mengapa Ibn al-Ṣalāḥ Waspada Terhadapnya

Tadlīs: Seni Tersembunyi dalam Sanad dan Mengapa Ibn al-Ṣalāḥ Waspada Terhadapnya

Ulama memeriksa naskah hadis dengan kaca pembesar sebagai simbol kehati-hatian terhadap tadlīs.
Ulama sedang meneliti manuskrip hadis di ruang temaram, dikelilingi kitab tua, simbol kejujuran dan ketelitian ilmiah.

Surau.co. Tadlis dalam hadis menurut Ibn al-Ṣalāḥ – Dalam dunia hadis, kejujuran bukan hanya soal isi, tapi juga tentang siapa yang menyampaikan. Tadlīs — praktik menyembunyikan celah dalam sanad — adalah salah satu bentuk manipulasi halus yang pernah mengguncang dunia ilmu hadis. Ibn al-Ṣalāḥ dalam karya monumentalnya Muqaddimah fī ʿUlūm al-Ḥadīth menjelaskan bahwa tadlīs ibarat kabut tipis yang menutupi pandangan kebenaran: samar, sulit dideteksi, tapi berpotensi menyesatkan.

Beliau menulis tegas:

“التَّدْلِيسُ هُوَ أَنْ يُخْفِيَ الرَّاوِي شَيْئًا مِنْ شُيُوخِهِ أَوْ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْهُ، فَيُوهِمُ أَنَّهُ سَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ.”
“Tadlīs adalah ketika seorang perawi menyembunyikan sesuatu dari gurunya atau orang yang ia dengar darinya, lalu menimbulkan kesan bahwa ia mendengar hadis tersebut secara langsung padahal tidak.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-tadlīs wa ḥukm al-mudallis)

Fenomena tadlīs tidak selalu muncul karena niat jahat. Ada yang melakukannya karena ingin memperpendek sanad, atau karena rasa segan menyebut guru yang dianggap kurang populer. Namun, bagi Ibn al-Ṣalāḥ, sekecil apa pun penyembunyian dalam ilmu hadis adalah pengkhianatan terhadap kejujuran ilmiah.

Keindahan yang Menipu: Tadlīs sebagai “Seni” dalam Riwayat

Menariknya, Ibn al-Ṣalāḥ menggunakan gaya bahasa yang elegan dalam menjelaskan tadlīs. Ia tidak langsung mengutuk para pelaku, tetapi menggambarkan fenomena ini sebagai “keindahan yang menipu”. Tadlīs bisa tampak rapi, seolah-olah riwayatnya sempurna, padahal di dalamnya ada rantai yang hilang.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Beliau menjelaskan lebih lanjut:

“وَالتَّدْلِيسُ فِي الْإِسْنَادِ مِنْ أَخْبَثِ الْعُيُوبِ، لِأَنَّهُ يُفْسِدُ الثِّقَةَ وَيُضَيِّعُ الْأَمَانَةَ.”
“Tadlīs dalam sanad termasuk cacat paling buruk, karena ia merusak kepercayaan dan menghancurkan amanah.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-tadlīs)

Kata “yufsid al-thiqah” (merusak kepercayaan) menjadi kunci di sini. Dalam sistem keilmuan Islam, sanad adalah jaringan kepercayaan. Sekali rantai itu dimanipulasi, seluruh struktur keilmuan bisa runtuh.

Kita dapat membayangkan tadlīs seperti menulis sumber palsu dalam karya ilmiah masa kini — mengutip buku yang tidak pernah dibaca, atau menisbatkan ide yang bukan milik sendiri. Tampak ilmiah, tapi sejatinya mengaburkan kebenaran.

Dua Jenis Tadlīs: Antara Sanad dan Matan

Ibn al-Ṣalāḥ membagi tadlīs menjadi dua bentuk utama: tadlīs al-isnād dan tadlīs al-shuyūkh.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

  1. Tadlīs al-isnād terjadi ketika perawi menyebut guru yang tidak pernah ia dengar hadis darinya, sehingga tampak seolah sanadnya bersambung.

  2. Tadlīs al-shuyūkh adalah ketika seorang perawi menyembunyikan identitas gurunya dengan menyebut nama atau gelar lain agar tak diketahui.

Beliau menjelaskan:

“التَّدْلِيسُ نَوْعَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يُسْقِطَ مَنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ شَيْخِهِ، وَالثَّانِي أَنْ يُسَمِّيَ شَيْخَهُ بِمَا لَا يُعْرَفُ بِهِ.”
“Tadlīs ada dua macam: pertama, menjatuhkan nama perawi antara dirinya dan gurunya; kedua, menyebut gurunya dengan nama yang tidak dikenal.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-tadlīs wa anwāʿuh)

Kedua jenis ini sama-sama berbahaya, meski dengan motif yang berbeda. Yang pertama menipu sistem, yang kedua menipu manusia. Ibn al-Ṣalāḥ menekankan bahwa keduanya adalah bentuk ketidakjujuran yang harus diwaspadai oleh peneliti hadis.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Mengapa Ulama Waspada tapi Tidak Gegabah

Meski sangat tegas terhadap tadlīs, Ibn al-Ṣalāḥ tetap adil. Ia tidak serta-merta menolak semua hadis yang diriwayatkan oleh mudallis (pelaku tadlīs). Ia memberi catatan penting: jika seorang mudallis secara eksplisit menyebut “aku mendengar” (samiʿtu), maka hadisnya bisa diterima. Namun, bila ia hanya mengatakan “diriwayatkan dari” (ʿan), maka hadis itu perlu diteliti lebih dalam.

Ia menulis:

“حَدِيثُ الْمُدَلِّسِ لَا يُقْبَلُ إِلَّا إِذَا صَرَّحَ بِالسَّمَاعِ.”
“Hadis dari seorang mudallis tidak diterima kecuali jika ia secara jelas menyebut bahwa ia mendengar langsung.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-tadlīs)

Pendekatan ini menunjukkan keseimbangan antara ketegasan dan keilmiahan. Ibn al-Ṣalāḥ tidak terjebak dalam penghakiman, tapi juga tidak menoleransi kecurangan. Ia menilai berdasarkan bukti, bukan prasangka.

Tadlīs di Era Modern: Dari Sanad ke Dunia Informasi

Fenomena tadlīs ternyata tidak berhenti di abad pertengahan. Dalam dunia digital, tadlīs hadir dalam bentuk baru: penyebaran informasi tanpa menyebut sumber asli. Kita sering membaca kutipan yang viral di media sosial — diklaim sebagai sabda Nabi ﷺ, padahal tidak pernah tercantum di kitab mana pun.

Semangat Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan kita pentingnya verifikasi. Dalam konteks modern, sanad bisa berarti “jejak digital” — siapa sumber pertama, dari mana berita itu muncul, dan apakah dapat dipercaya.

Firman Allah ﷻ menegaskan prinsip ini:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا﴾
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)

Ayat ini seolah menjadi prinsip dasar kritik sanad modern: jangan percaya sebelum tabayyun.

Menjaga Amanah Ilmu: Pesan Ibn al-Ṣalāḥ untuk Generasi Pencari Kebenaran

Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, tadlīs bukan sekadar masalah teknis hadis, melainkan ujian moral. Dalam ilmu, kejujuran adalah fondasi; tanpa itu, semua data kehilangan makna.

Beliau menutup pembahasannya dengan kalimat yang sarat makna:

“مَنْ تَسَاهَلَ فِي نَقْلِ الْعِلْمِ، فَقَدْ خَانَ أَمَانَةَ النَّبِيِّ ﷺ.”
“Barang siapa meremehkan dalam menyampaikan ilmu, sungguh ia telah mengkhianati amanah Nabi ﷺ.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, penutup bab al-tadlīs)

Kata-kata ini terasa mengguncang hati siapa pun yang mencintai ilmu. Ia bukan sekadar nasihat untuk para ulama klasik, tapi juga untuk kita semua yang hidup di tengah arus informasi. Di era ketika kebohongan bisa viral dalam hitungan detik, kejujuran adalah jihad paling senyap namun paling mulia.

Penutup: Tadlīs dan Tantangan Kejujuran di Zaman Tanpa Sanad

Tadlis dalam hadis menurut Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan kita bahwa ilmu tidak hanya membutuhkan kecerdasan, tapi juga integritas. Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan bahwa menjaga sanad sama artinya dengan menjaga jiwa keilmuan itu sendiri.

Jika dulu para ulama berhati-hati agar tidak salah menyebut guru, kini kita harus berhati-hati agar tidak salah menyebar kabar. Keduanya berasal dari akar yang sama — cinta kepada kebenaran.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement