Khazanah
Beranda » Berita » Hadis Mawḍūʿ: Cara Ibn al-Ṣalāḥ Membedakan Hadis Asli dan Palsu

Hadis Mawḍūʿ: Cara Ibn al-Ṣalāḥ Membedakan Hadis Asli dan Palsu

Ulama meneliti manuskrip hadis untuk membedakan hadis asli dan mawduʿ (palsu).
Seorang ulama dengan kaca pembesar memeriksa teks Arab di atas manuskrip tua, dikelilingi kitab dan lampu minyak yang temaram.

Surau.co. Hadis mawḍūʿ — hadis palsu — adalah luka yang menganga dalam sejarah keilmuan Islam. Ia bukan sekadar kesalahan, melainkan pengkhianatan terhadap kebenaran. Dalam Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ʿUlūm al-Ḥadīth, Ibn al-Ṣalāḥ menempatkan pembahasan hadis palsu sebagai bagian paling penting dari ilmu hadis, sebab di sanalah kejujuran para perawi benar-benar diuji.

Beliau menulis dengan nada tegas:

“الموضوعُ هو المختلَقُ المصنوعُ الذي لا أصلَ له.”
“Hadis mawḍūʿ adalah riwayat yang dibuat-buat, disusun dengan sengaja, dan tidak memiliki asal-usul.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-mawḍūʿ)

Kalimat itu sederhana, tetapi sangat dalam. Hadis palsu tidak hanya memuat informasi keliru, melainkan merupakan hasil rekayasa yang mencemari kemurnian sabda Nabi ﷺ. Ia sering lahir dari politik, fanatisme mazhab, atau niat baik yang tersesat. Karena itu, para ulama terdahulu menegakkan ketelitian yang luar biasa agar api kebenaran tidak padam di tengah kabut kebohongan.

Fitnah Ilmu: Ketika Kebohongan Menyamar Sebagai Kebenaran

Dalam sejarah Islam, hadis palsu sering muncul bukan dari orang awam, melainkan dari mereka yang berilmu namun kehilangan arah. Ada yang ingin memperkuat pendapatnya, ada pula yang berusaha “memotivasi umat” dengan dalil palsu. Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan keras bahwa niat baik tidak pernah dapat membenarkan kebohongan.

Pentingnya Akhlak Mulia

“لا يَحِلُّ رِوَايَةُ الْمَوْضُوعِ إِلَّا مَعَ بَيَانِ كَوْنِهِ مَوْضُوعًا.”
“Tidak halal meriwayatkan hadis palsu kecuali dengan menjelaskan bahwa ia memang palsu.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab hukum riwayat al-mawḍūʿ)

Karena itu, siapa pun yang mengutip hadis palsu tanpa klarifikasi berarti ikut menanggung dosa kebohongan. Dalam konteks sekarang, pesan tersebut sejajar dengan peringatan agar kita tidak menyebarkan berita agama tanpa memverifikasi sumbernya.

Rasulullah ﷺ telah bersabda:

«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi pagar utama dalam seluruh kajian kritik hadis. Ia menegaskan bahwa menjaga kemurnian sabda Nabi ﷺ bukan sekadar tugas ilmiah, tetapi juga amanah iman.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Metode Ibn al-Ṣalāḥ: Menyelidiki dengan Ilmu, Bukan Menuduh

Ibn al-Ṣalāḥ dikenal berhati-hati dalam menilai hadis mawḍūʿ. Ia tidak menuduh sebelum meneliti dan tidak menolak tanpa alasan. Dalam Muqaddimah-nya, beliau menyusun empat kriteria ilmiah untuk mengenali hadis palsu.

  1. Kelemahan sanad — ketika rantai periwayatan memuat orang yang dikenal pendusta, pelupa berat, atau tidak dikenal sama sekali.

  2. Keanehan matan — apabila isi hadis bertentangan dengan Al-Qur’an, akal sehat, atau prinsip syariat.

  3. Pengakuan pembuat — jika seseorang mengakui bahwa ia pernah memalsukan hadis.

  4. Gaya bahasa asing dari Nabi — matan yang berlebihan, hiperbolik, atau terlalu puitis biasanya menjadi tanda kepalsuan.

    Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Beliau menegaskan:

“يُعْرَفُ الْمَوْضُوعُ بِأَمَارَاتٍ، مِنْهَا: رِوَايَةُ الْمُتَّهَمِ بِالْكَذِبِ، أَوْ مُخَالَفَةُ الْعَقْلِ وَالنَّقْلِ.”
“Hadis palsu dikenali dari tanda-tanda, seperti diriwayatkan oleh orang yang dituduh berdusta, atau bertentangan dengan akal dan nash syar‘i.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-mawḍūʿ)

Dengan demikian, metode Ibn al-Ṣalāḥ memperlihatkan kedalaman berpikir yang rasional sekaligus spiritual. Ia menilai bukan berdasarkan selera, tetapi berdasarkan bukti ilmiah yang dapat diuji.

Fenomena Zaman Digital: “Hadis” yang Tak Pernah Diriwayatkan

Kini, bentuk baru hadis palsu muncul di dunia digital. Jika dahulu ia disebarkan lewat lisan, sekarang ia menyebar melalui layar ponsel. Setiap hari, ratusan pesan viral membawa “hadis” tanpa sumber jelas, sering kali ditutup dengan kalimat, “HR. siapa pun yang percaya.” Padahal, sebagian besar tidak pernah tercatat dalam kitab mana pun.

Semangat Ibn al-Ṣalāḥ sangat relevan di era ini. Ia bukan hanya ulama abad ke-7 Hijriyah, melainkan teladan bagi para pencari kebenaran digital. Setiap kali kita menemukan hadis yang “terlalu indah untuk benar”, seolah Ibn al-Ṣalāḥ berbisik dari Damaskus: “Periksa sanadnya dulu.”

Ia pun menulis dengan nada perintah moral:

“وَإِذَا ظَهَرَتِ الْعَلامَاتُ الدَّالَّةُ عَلَى الْوَضْعِ، وَجَبَ التَّحْذِيرُ مِنْهُ.”
“Jika tanda-tanda kepalsuan telah jelas, wajib memperingatkan orang lain darinya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-mawḍūʿ)

Karena itu, tugas pencinta ilmu hari ini bukan sekadar menyebarkan pengetahuan, tetapi juga menjaga agar cahaya kebenaran tidak redup oleh kebohongan yang viral.

Antara Niat Baik dan Kebohongan yang Terbungkus

Banyak hadis palsu muncul karena niat “memotivasi umat.” Sebagian orang menciptakan hadis tentang pahala ibadah tertentu agar masyarakat rajin berzikir. Namun, niat baik tidak bisa menutupi kebohongan. Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan:

“مَنْ وَضَعَ الْحَدِيثَ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ، فَقَدْ كَذَبَ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ.”
“Barang siapa membuat hadis tentang pahala dan ancaman untuk memotivasi manusia, maka ia telah berdusta atas nama Nabi ﷺ.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-mawḍūʿ)

Dengan kata lain, inspirasi sejati tidak perlu dibangun di atas kebohongan. Kejujuran jauh lebih menggerakkan hati dibanding kalimat palsu yang berapi-api.

Kebenaran Itu Cahaya, Bukan Cerita

Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, ilmu hadis bukan hanya soal sanad dan matan. Lebih dari itu, ia adalah latihan moral untuk menjaga nur kebenaran. Dalam setiap baris Muqaddimah-nya, terasa bahwa ilmu merupakan bentuk cinta — cinta yang menjaga agar sabda Nabi ﷺ tetap murni dari noda dusta.

Seseorang mungkin menyampaikan hadis palsu tanpa sadar. Namun, di sinilah pentingnya ilmu: agar cinta kepada Nabi ﷺ tidak berubah menjadi kesalahan yang diwariskan. Kebenaran tidak selalu viral, tapi seperti pelita di ruang gelap, ia terus menyala — lembut, sabar, dan menuntun langkah menuju cahaya.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement