Sanad: Jantung Keilmuan yang Menyambung Nur Nabi ﷺ
Surau.co. Hadis muttasil, mursal, dan munqathiʿ merupakan bagian dari sistem paling rumit dalam sejarah keilmuan Islam, yakni ilmu sanad. Dalam Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ʿUlūm al-Ḥadīth, Ibn al-Ṣalāḥ menegaskan bahwa sanad adalah jantung kehidupan hadis. Tanpa sanad, setiap kata yang disandarkan kepada Nabi ﷺ kehilangan legitimasi dan arah.
Ia menulis:
“الْإِسْنَادُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ، وَبِهِ يُمَيَّزُ الصَّحِيحُ مِنَ السَّقِيمِ.”
Sanad adalah senjata orang beriman; dengannya dibedakan antara hadis sahih dan hadis rusak.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-isnād)
Ungkapan ini menggambarkan bahwa sanad bukan sekadar data sejarah, tetapi tameng keilmuan. Setiap nama dalam rantai perawi menjadi saksi kejujuran—seolah setiap generasi ikut menjaga lidah Nabi ﷺ dengan kehati-hatian yang suci.
Di masa kini, prinsip sanad tetap relevan. Bila ulama klasik menelusuri “siapa meriwayatkan dari siapa”, maka kita pun perlu menelusuri “siapa menulis, dari sumber mana, dan dengan bukti apa”. Dengan demikian, semangat sanad bukan hanya milik para muhaddits, tetapi juga pedoman etika dalam menghadapi arus informasi modern.
Hadis Muttasil: Sanad yang Menyatu Tanpa Celah
Ibn al-Ṣalāḥ mendefinisikan hadis muttasil—hadis yang tersambung sepenuhnya—dengan kalimat padat:
“المُتَّصِلُ هُوَ مَا اتَّصَلَ إِسْنَادُهُ مِنْ أَوَّلِهِ إِلَى آخِرِهِ.”
Hadis muttasil adalah hadis yang sanadnya bersambung dari awal hingga akhir.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, jenis ke-6)
Artinya, setiap perawi dalam rantai benar-benar bertemu dan menerima hadis langsung dari gurunya. Tidak boleh ada jeda waktu atau generasi yang terlewat. Sebagai contoh, jika seorang tābiʿī mendengar hadis dari sahabat, dan sahabat itu mendengar langsung dari Nabi ﷺ, maka hadis tersebut tergolong muttasil.
Lebih dari sekadar lengkap, hadis muttasil memancarkan kedekatan spiritual. Ia seperti pohon dengan akar yang menembus tanah hingga ke sumber air—kuat, hidup, dan tak terputus. Oleh karena itu, hadis muttasil menjadi fondasi paling kokoh dalam bangunan ilmu hadis.
Hadis Mursal: Ketika Satu Rantai Hilang, tapi Niatnya Tulus
Berbeda dari muttasil, hadis mursal memiliki satu mata rantai yang hilang. Biasanya, seorang tābiʿī meriwayatkan hadis langsung dari Nabi ﷺ tanpa menyebut sahabat di antaranya.
Ibn al-Ṣalāḥ menuliskan definisinya dengan jelas:
“الْمُرْسَلُ هُوَ مَا رَوَاهُ التَّابِعِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ الصَّحَابِيِّ.”
Hadis mursal ialah hadis yang diriwayatkan oleh tabiʿī dari Nabi ﷺ tanpa menyebut sahabat.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, jenis ke-10)
Dalam pandangan Ibn al-Ṣalāḥ, hadis mursal menempati posisi menengah. Ia memang tidak sekuat muttasil, tetapi juga tidak bisa langsung ditolak. Mengapa demikian? Karena para tābiʿīn merupakan murid sahabat yang terkenal amanah serta berhati-hati dalam meriwayatkan.
Meski begitu, hilangnya satu rantai tetap membuka celah kemungkinan. Karena itu, Ibn al-Ṣalāḥ menasihati agar hadis mursal tidak digunakan secara gegabah sebagai dasar hukum. Dalam kehidupan modern, prinsip ini sejalan dengan sikap kritis terhadap kabar yang kehilangan konteks sumber. Sebuah berita bisa berniat baik, namun tetap perlu diverifikasi sebelum dipercaya.
Hadis Munqathiʿ: Sanad Terputus yang Masih Layak Diselamatkan
Sementara itu, hadis munqathiʿ menandai sanad yang terputus di satu titik. Ibn al-Ṣalāḥ mendefinisikannya secara ringkas:
“المُنْقَطِعُ مَا سَقَطَ مِنْهُ رَاوٍ فِي مَوْضِعٍ مَا، وَلَمْ يَكُنْ عَلَى التَّوَالِي.”
Hadis munqathiʿ ialah hadis yang terputus sanadnya karena hilangnya seorang perawi di suatu tempat, tidak harus berurutan.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, jenis ke-11)
Dalam kasus ini, perawi yang hilang bisa saja tidak dikenal, tidak sempat mendengar langsung, atau hidup di generasi berbeda. Akibatnya, hadis munqathiʿ tidak dapat dijadikan landasan hukum. Namun, ia tetap berharga sebagai bahan kajian sejarah dan pelajaran moral.
Ibn al-Ṣalāḥ tidak menilai hadis munqathiʿ sebagai “tidak berguna”, melainkan sebagai “data yang perlu diuji”. Pendekatan ini mencerminkan mentalitas ilmiah yang jujur: tidak menolak tanpa alasan, dan tidak menerima tanpa bukti. Prinsip tersebut sejalan dengan metode riset modern—bahwa setiap data terputus bukan sampah, melainkan bahan yang menunggu verifikasi.
Hikmah di Balik Kerumitan Sanad
Ketika membahas sanad, Ibn al-Ṣalāḥ sejatinya tidak ingin mempersulit umat. Ia justru berusaha menegakkan akurasi wahyu agar sabda Nabi ﷺ tetap terjaga. Ia mengutip sabda Rasulullah ﷺ:
«نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي، فَوَعَاهَا، فَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا.»
Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar perkataanku, lalu memahaminya, dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini menjadi jiwa dari ilmu sanad. Ia mengajarkan kejujuran dalam menyampaikan ilmu—tidak menambah, tidak mengurangi. Oleh karena itu, tradisi periwayatan Islam tumbuh sebagai sistem yang dibangun di atas amanah, bukan kekuasaan.
Relevansi Sanad di Dunia Modern
Fenomena misinformasi dan hoaks yang meluas hari ini sesungguhnya merupakan bentuk baru dari hadis tanpa sanad. Ketika pesan beredar tanpa sumber jelas, kita berhadapan dengan “munqathiʿ digital”. Prinsip Ibn al-Ṣalāḥ mendorong kita untuk selalu bertanya: “Siapa yang menyampaikan ini, dan dari siapa ia mendapatkannya?”
Dalam konteks sosial, sanad bermakna tanggung jawab; sementara itu, dalam konteks spiritual, sanad adalah penghormatan terhadap kebenaran. Ia bukan sekadar daftar nama, tetapi rantai kejujuran yang menghubungkan hati manusia dengan nur Nabi ﷺ.
Selain itu, penerapan prinsip sanad di dunia modern dapat memperkuat budaya literasi. Dengan menelusuri sumber dan mengonfirmasi data, kita menjaga integritas pengetahuan sebagaimana para ulama menjaga hadis. Dengan demikian, semangat sanad menjelma menjadi etika intelektual lintas zaman.
Penutup: Menyambung Sanad, Menjaga Nur Ilmu
Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, memahami muttasil, mursal, dan munqathiʿ bukan sekadar latihan teknis, melainkan latihan kejujuran. Ia menulis dengan rendah hati:
“نَحْنُ نَقَلَةُ الدِّينِ، وَعَلَيْنَا أَنْ نَتَحَرَّى فِي مَا نَنْقُلُ.”
Kita adalah para pengemban agama; maka wajib bagi kita berhati-hati dalam setiap riwayat yang kita sampaikan.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, penutup kitab)
Kalimat itu menutup karya besarnya dengan getaran moral yang dalam. Menjaga sanad berarti menjaga nur ilmu, sebab kejujuran adalah mata rantai paling berharga dalam setiap perjalanan pengetahuan. Akhirnya, siapa pun yang menelusuri sanad sejatinya sedang menelusuri cahaya—cahaya yang terus menyala dari hati Rasulullah ﷺ hingga ke hati para pencinta kebenaran.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
