Khazanah
Beranda » Berita » Ubadah ibn al-Shamit: Sahabat Penegak Kebenaran dan Pemutus Perjanjian Jahiliah

Ubadah ibn al-Shamit: Sahabat Penegak Kebenaran dan Pemutus Perjanjian Jahiliah

Ilustrasi peristiwa perselisihan.
Ilustrasi peristiwa perselisihan.

SURAU.CO-Ubadah ibn al-Shamit ibn Qais adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Khazraj. Ayahnya bernama al-Shamit ibn Qais dan ibunya bernama Qurratul Ain. Ia dipanggil dengan nama Abu al-Walid.

Ubadah merupakan orang pertama yang menjumpai Rasulullah dan termasuk golongan enam orang yang beriman dan membenarkan kerasulan Muhammad. Ia menemui Rasulullah di Makkah pada suatu musim haji.

Pada musim haji tahun berikutnya, Rasulullah menemui dua belas orang Anshar di Aqabah. Ubadah ibn al-Shamit termasuk di antara dua belas orang tersebut.

Abu Ja‘far al-Thabari meriwayatkan sebuah hadis dari Ubadah ibn al-Shamit tentang Baiat Aqabah pertama. Ubadah ibn al-Shamit berkata, “Aku termasuk orang yang hadir saat Baiat Aqabah pertama. Saat itu jumlah kami dua belas orang. Kami mengucapkan janji setia kepada Rasulullah. Itu terjadi sebelum adanya kewajiban.”

Isi Perjanjian dan Pengutusan Mush‘ab

Dalam perjanjian tersebut, para sahabat berjanji tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri dan berzina, tidak akan membunuh anak-anak, dan tidak akan menentang perbuatan baik. Kemudian, Rasulullah bersabda,

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

“Jika kalian memegang teguh janji tersebut, niscaya kalian akan mendapatkan surga.”

Setelah mereka menyalami Rasulullah Saw. dan mengikrarkan janji setia, mereka berpamitan. Namun, mereka meminta agar Rasulullah  mengirim seseorang yang mengajarkan Islam dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada penduduk Yatsrib. Maka, terpilihlah sahabat utama, yaitu Mush‘ab ibn Umair, sebagai utusan Nabi Saw. untuk menjadi imam Madinah. Sejak saat itu, rumah Abu Umamah menjadi pusat penyebaran Islam di Yatsrib.

Baiat Aqabah Kedua dan Pemutusan Perjanjian Jahiliah

Kalangan Anshar dan juga Rasulullah Saw. menunggu-nunggu datangnya musim haji berikutnya. Rasulullah Saw. ingin mendengar kabar perkembangan Islam di Madinah. Maka, pada waktu yang telah mereka tentukan, kedua pihak itu bertemu di Aqabah. Kaum Anshar yang ikut dalam pertemuan tersebut berjumlah 70 orang lebih, juga terdapat tambahan dua orang wanita.

Ketika malam semakin larut, Rasulullah Saw. datang ditemani paman beliau, al-Abbas ibn Abdul Muthalib. Al-Abbas memulai pertemuan itu dengan menerangkan bahwa keponakannya, Muhammad, sangat dihormati di tengah kaumnya. Intinya, jika kaum Anshar tidak sanggup membela dan melindunginya, maka sebaiknya mereka mengatakannya saat itu juga.

Tuntas al-Abbas berbicara, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang apa yang beliau inginkan. Rasulullah mengajukan beberapa hal, antara lain agar mereka melindungi beliau sebagaimana mereka menjaga anak-anak dan istri mereka. Mereka pun menyanggupinya. Kemudian mereka memilih dua belas orang pimpinan dan Ubadah salah satunya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ketika turun firman Allah Swt yang melarang kaum Mukmin mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, Ubadah—yang memiliki ikatan perjanjian dengan kaum Yahudi pada masa Jahiliah—langsung menemui mereka dan memutuskan perjanjiannya.

Perselisihan dengan Muawiyah dan Ketegasan Ubadah

Ubadah termasuk salah seorang yang mendapat tugas menghimpun Al-Qur’an pada masa Nabi Saw. Umar ibn al-Khattab ra. berpendapat bahwa kemampuan Ubadah sama dengan kemampuan seribu lelaki.

Ibn al-Atsir mengatakan bahwa Ubadah pernah mendapat tugas mengajarkan Al-Qur’an kepada para Ahlussuffah. Ketika kaum Muslim menaklukkan negeri Syam, Khalifah Umar ibn al-Khattab mengutusnya bersama Muaz ibn Jabal dan Abu al-Darda untuk mengajarkan Al-Qur’an dan ajaran Islam kepada penduduk Syam. Ubadah menetap di Homms, kemudian ia pergi ke Palestina.

Ada satu peristiwa yang menimbulkan perselisihan besar antara Ubadah dan Muawiyah yang saat itu menjadi gubernur Syam. Ubadah menentang salah satu kebijakan Muawiyah sehingga Muawiyah marah besar. Perselisihan itu tak terselesaikan sehingga Ubadah berkata,

“Aku tidak akan pernah menetap di satu negeri yang sama denganmu, selamanya.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Setelah itu, Ubadah pindah ke Madinah. Tiba di Madinah, Khalifah Umar ra. bertanya, “Apa yang membuatmu pulang ke sini?” Ubadah menceritakan perselisihannya. Maka, Khalifah Umar  berkata, “Kembalilah ke tempatmu! Negeri yang engkau tinggalkan atau tidak dipimpin orang sepertimu pasti akan menjadi negeri yang buruk.” Kemudian Khalifah Umar ra. menulis surat kepada Muawiyah, “Kau tidak memiliki kekuasaan atas Ubadah.”

Suatu hari, di majelis Muawiyah, seseorang berdiri dan memuji Muawiyah. Tiba-tiba Ubadah berdiri dan menjejalkan tanah ke mulut orang itu. Muawiyah marah. Namun, Ubadah menjawab dengan lantang,

“Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Jika kalian melihat orang yang memuji, masukkanlah tanah ke mulut mereka.’ Orang ini salah satunya. Aku sendiri hanya melaksanakan perintah Rasulullah.”

Usai berkata panjang lebar, Ubadah beranjak pergi.

Menguasai ilmu fikih

Ubadah mengikuti semua peperangan bersama Nabi Saw. Ia memiliki kelebihan lain karena termasuk orang yang sangat paham fikih. Karena itulah ia diangkat sebagai qadi dan khatib di Syam.

Ubadah berkata mengenai jual beli:

“Perak dapat ditukar dengan perak sesuai dengan kadar dan beratnya, emas dengan emas, sesuai dengan kadar dan beratnya. Ingatlah, emas dapat ditukar dengan perak, dan perak harus lebih banyak. Barang siapa menambahkan atau melebih-lebihkan berarti ia telah melakukan riba.”

Menjelang ajal menjemputnya, ia pernah berwasiat kepada orang yang hadir di dekatnya, “Aku haramkan siapa saja di antara kalian menangisiku dengan alasan apa pun. Jika jiwaku telah keluar, berwudulah dan baguskan wudu kalian. Kemudian masuklah kalian ke dalam masjid. Dirikanlah salat dan mintalah ampunan untuk para hamba Allah dan untuk diri kalian, karena Allah berfirman, ‘Hai orang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat, sesungguhnya Allah beserta orang yang sabar.’ Segeralah kalian kuburkan aku. Jangan iringi jenazahku dengan api. Jangan taburi makamku dengan urjuwan (bunga-bunga berwarna merah).” Itulah wasiat seorang fakih lagi alim.(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement