Khazanah
Beranda » Berita » Mengapa Sebuah Hadis Bisa Lemah? Analisis Ibn al-Ṣalāḥ tentang “Celah” dalam Sanad

Mengapa Sebuah Hadis Bisa Lemah? Analisis Ibn al-Ṣalāḥ tentang “Celah” dalam Sanad

Ulama meneliti manuskrip hadis di bawah cahaya lampu minyak sebagai simbol kehati-hatian sanad.
Ulama hadis sedang memeriksa naskah tua dengan wajah teduh, menggambarkan semangat teliti dan penuh amanah.

Surau.co. Hadis daif atau lemah sering kali dipandang sebelah mata. Namun dalam pandangan Ibn al-Ṣalāḥ, setiap hadis lemah bukan berarti palsu, melainkan sinyal bahwa dalam perjalanannya menuju kita ada celah yang perlu diperiksa. Dalam Muqaddimah fī ʿUlūm al-Ḥadīth, beliau menyusun ilmu hadis seperti seorang ahli bedah yang teliti, mengurai sumber kelemahan sanad tanpa kehilangan rasa hormat kepada ilmu dan ulama.

Hadis lemah menjadi cermin bagi integritas keilmuan Islam. Ia mengingatkan bahwa kebenaran tidak selalu lurus, dan bahwa menjaga kemurnian sabda Nabi ﷺ membutuhkan ketelitian luar biasa. Ibn al-Ṣalāḥ menulis:

“وَإِنَّمَا يُعْرَفُ ضَعْفُ الْحَدِيثِ بِعَدَمِ اجْتِمَاعِ شُرُوطِ الصَّحِيحِ وَالْحَسَنِ فِيهِ.”
“Kelemahan hadis diketahui karena tidak terpenuhinya syarat-syarat hadis sahih dan hasan di dalamnya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ḍaʿīf)

Sejak kalimat ini, kita diajak memahami bahwa hadis daif bukanlah “hadis gagal”, tapi riwayat yang menunggu untuk diuji.

Celah dalam Sanad: Titik Lemah yang Tak Selalu Disengaja

Salah satu fokus Ibn al-Ṣalāḥ adalah menganalisis celah dalam sanad, yakni mata rantai periwayatan yang menjadi penghubung antara Nabi dan umat. Sanad bagaikan rantai perhiasan; jika satu mata terlepas, kilauannya memudar.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Ia menulis:

“الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.”
“Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa pun akan berkata sesukanya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-isnād)

Kelemahan sanad bisa disebabkan oleh beberapa hal: terputusnya rantai (munqaṭiʿ), adanya perawi yang tidak dikenal (majhūl), perawi yang pelupa (sūʾ al-ḥifẓ), atau bahkan perawi yang dikenal tidak jujur. Semua ini tidak otomatis menjadikan hadis palsu, tetapi menandakan perlunya verifikasi.

Dalam bahasa sekarang, sanad adalah fakta historis. Ia merekam siapa menyampaikan apa, kepada siapa, dan kapan. Di era media sosial yang sering kali menelan informasi mentah, pesan Ibn al-Ṣalāḥ ini terasa seperti seruan agar kita menelusuri sumber sebelum percaya.

Antara Hafalan dan Integritas: Dua Pilar Kredibilitas Perawi

Ibn al-Ṣalāḥ menegaskan dua pilar penting yang menentukan kekuatan sanad: keadilan (ʿadālah) dan ketelitian hafalan (ḍabṭ). Keadilan berkaitan dengan moral, sedangkan ketelitian berkaitan dengan kecerdasan intelektual.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Ia menulis:

“وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ يَكُونَ كُلُّ رَاوٍ ضَابِطًا لِمَا يُرْوِيهِ.”
“Syarat ketiga adalah setiap perawi harus teliti terhadap apa yang diriwayatkannya.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab ṣifāt al-ruwāt)

Perawi yang adil tapi pelupa bisa melemahkan hadis. Begitu juga sebaliknya, yang hafal tapi tidak amanah. Dalam konteks modern, prinsip ini bisa diibaratkan seperti jurnalisme: sumber berita harus kredibel dan akurat. Sebuah informasi tanpa dua unsur itu akan kehilangan kekuatan.

Jenis-jenis Kelemahan: Dari Terputus hingga Tersembunyi

Ibn al-Ṣalāḥ membagi hadis lemah dalam banyak jenis — di antaranya mursal, munqaṭiʿ, muʿḍal, dan muʿallal. Masing-masing memiliki penyebab berbeda.

  1. Mursal: seorang tabiʿī meriwayatkan langsung dari Nabi ﷺ tanpa menyebut sahabat.
    Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

  2. Munqaṭiʿ: ada perawi yang hilang di tengah sanad.

  3. Muʿḍal: dua perawi atau lebih hilang berturut-turut.

  4. Muʿallal: terdapat cacat tersembunyi yang tidak tampak di permukaan.

Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan:

“الْعِلَّةُ أَمْرٌ خَفِيٌّ يَقْدَحُ فِي صِحَّةِ الْحَدِيثِ.”
“‘Illah adalah sesuatu yang tersembunyi, namun dapat merusak kesahihan hadis.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab al-ḥadīth al-muʿallal)

Menariknya, celah yang kecil bisa berdampak besar. Kadang hanya satu kata, atau satu nama perawi, yang berubah, tapi itu cukup untuk mengubah status hadis. Seperti sebuah jembatan: satu baut longgar bisa menentukan apakah ia kuat atau runtuh.

Hati-hati, Bukan Curiga

Ibn al-Ṣalāḥ tidak mengajak umat menjadi skeptis terhadap hadis. Ia ingin melatih umat agar teliti tanpa sinis. Ketelitian bukan berarti mencurigai Nabi ﷺ atau sahabatnya, tapi menjaga agar ucapan suci tidak dipalsukan oleh generasi setelahnya.

Dalam Muqaddimah, ia memperingatkan:

“لا يُرَدُّ كُلُّ ضَعِيفٍ، فَقَدْ يُسْتَأْنَسُ بِهِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ.”
“Tidak semua hadis daif ditolak, karena sebagian darinya dapat digunakan sebagai penunjang dalam keutamaan amal.”
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab fī istiʿmāl al-ḥadīth al-ḍaʿīf)

Artinya, hadis daif bisa menjadi pengingat moral, selama tidak dijadikan dasar hukum. Di sinilah kebijaksanaan Ibn al-Ṣalāḥ tampak: ia tidak hanya memegang logika keilmuan, tapi juga kelembutan spiritual.

Kejujuran dalam Ilmu dan Kehidupan

Konsep kelemahan hadis mengajarkan nilai universal: kejujuran dan verifikasi. Setiap kali kita membaca informasi, kita sedang berhadapan dengan “sanad digital.” Siapa sumbernya? Dari mana asalnya? Apakah dapat dipercaya?

Firman Allah ﷻ menegaskan pentingnya verifikasi:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا﴾
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti.”
(QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6)

Ayat ini adalah dasar moral dari seluruh metodologi sanad. Ibn al-Ṣalāḥ menjadikannya pijakan epistemologis bahwa iman harus berjalan bersama kehati-hatian.

Penutup: Dari Sanad ke Sikap Hidup

Analisis Ibn al-Ṣalāḥ tentang hadis lemah bukan hanya pelajaran akademik, tapi juga latihan spiritual. Ia menanamkan kesadaran bahwa kebenaran harus dirawat dengan disiplin, bukan sekadar keyakinan.

Dalam dunia yang serba cepat, di mana hoaks berlari lebih cepat dari kebenaran, warisan Ibn al-Ṣalāḥ adalah seruan untuk berhenti sejenak, memeriksa, dan berpikir. Sebab sebagaimana hadis yang lemah bisa menyesatkan umat, informasi yang salah bisa menyesatkan hati.

Akhirnya, tugas kita bukan hanya meneliti hadis, tapi meneladani kejujuran di baliknya.

 

  • Reza AS
    Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement