Khazanah
Beranda » Berita » Hadis Sahih, Hasan, dan Daif: Tiga Level Keaslian Sabda Nabi Menurut Ibn al-Ṣalāḥ

Hadis Sahih, Hasan, dan Daif: Tiga Level Keaslian Sabda Nabi Menurut Ibn al-Ṣalāḥ

Ulama menulis hadis di atas manuskrip klasik sebagai simbol penjaga keaslian sunnah.
Ilustrasi suasana ulama hadis menulis di ruang kecil berlampu minyak, menandakan kehati-hatian dan ketulusan ilmu.

Surau.co. Hadis sahih, hasan, dan daif bukan sekadar tiga istilah klasik dalam ilmu Islam. Ketiganya adalah jantung yang menghidupi tradisi keilmuan umat. Melalui tiga kategori ini, para ulama menakar dengan cermat: mana sabda Nabi yang layak dijadikan pedoman hukum, dan mana yang sekadar menjadi teladan moral. Ibn al-Ṣalāḥ, dalam karyanya Muqaddimah fī ʿUlūm al-Ḥadīth, menulis bukan untuk mempersulit, melainkan agar umat lebih berhati-hati ketika menisbatkan perkataan kepada Rasulullah ﷺ.

Kini, di masa media sosial, kutipan hadis bertebaran tanpa sumber jelas. Dalam deras arus itu, semangat Ibn al-Ṣalāḥ terasa seperti suara lembut yang mengingatkan kita untuk kembali teliti. Keaslian sabda Nabi tidak hanya soal sejarah, tetapi juga tentang kejujuran dan amanah terhadap ilmu.

Ibn al-Ṣalāḥ: Ulama yang Menyusun Peta Ilmu Hadis

Abū ʿAmr ʿUthmān ibn ʿAbd al-Raḥmān al-Shahrazūrī — dikenal luas sebagai Ibn al-Ṣalāḥ — lahir pada tahun 577 H dan wafat pada 643 H. Ia hidup di masa keemasan Damaskus, saat ilmu berkembang pesat dan ulama menempati posisi istimewa dalam masyarakat. Di kota itu, ia mengajar di Dār al-Ḥadīth al-Ashrafiyyah, lembaga hadis paling bergengsi pada zamannya.

Dalam Muqaddimah yang legendaris, Ibn al-Ṣalāḥ tidak sekadar menghimpun teori. Ia menyusun ulang seluruh cabang ilmu hadis menjadi sistem yang logis, mudah dipahami, dan terstruktur. Oleh sebab itu, karyanya menjadi fondasi bagi ulama besar setelahnya, seperti al-Nawawī, Ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, dan al-Suyūṭī.

Ia menulis dengan penuh keyakinan:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“هذا العلمُ من أجلِّ العلوم الشرعية، وأرفعِها قدراً، وأعظمِها نفعاً.”
Ilmu ini termasuk ilmu syar‘i yang paling mulia, paling tinggi derajatnya, dan paling besar manfaatnya.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab awal)

Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, ilmu hadis bukan hanya alat verifikasi, melainkan cahaya penuntun. Di dalamnya tersimpan jejak lidah Nabi yang menjadi pelita bagi perjalanan umat.

Lima Pilar Hadis Sahih: Jejak Kejujuran yang Disaring Berlapis

Ibn al-Ṣalāḥ membuka pembahasan dengan definisi hadis sahih. Ia menjelaskan bahwa sebuah hadis baru bisa disebut sahih jika memenuhi lima syarat ketat berikut:

  1. Sanadnya bersambung tanpa terputus (ittiṣāl al-isnād),

  2. Para perawinya adil (ʿadl),

    Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

  3. Memiliki hafalan yang kuat (ḍābiṭ),

  4. Tidak terdapat kejanggalan (shudhūdh),

  5. Tidak memiliki cacat tersembunyi (ʿillah).

Ia menulis:

“الحديث الصحيح هو ما اتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه، من غير شذوذ ولا علة.”
Hadis sahih ialah riwayat yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan teliti hingga akhir sanad, tanpa kejanggalan dan tanpa cacat.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, jenis pertama)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Definisi ini tampak sederhana, namun di baliknya tersimpan kerja keras ratusan tahun para ahli kritik sanad. Mereka menelusuri biografi setiap perawi, mencatat siapa gurunya, kapan ia hidup, serta sejauh mana ia mendengar langsung hadis tersebut. Dengan demikian, hadis sahih menjadi hasil seleksi panjang antara kejujuran dan ketelitian.

Hadis Hasan: Cerminan Kejujuran yang Tidak Sempurna

Tidak semua perawi memiliki hafalan sempurna. Oleh karena itu, Ibn al-Ṣalāḥ memberi ruang bagi hadis yang tidak mencapai tingkat sahih, tetapi tetap dapat diterima. Ia menamakannya hadis hasan.

“الحديث الحسن ما عرف مخرجه، ورواته، واشتهر بنقلهم، ولم يكن فيه منكر ولا شاذ.”
Hadis hasan ialah hadis yang diketahui sumbernya, dikenal para perawinya, diriwayatkan dengan cara yang terkenal, dan tidak terdapat kejanggalan atau penolakan.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, jenis kedua)

Ibn al-Ṣalāḥ menggambarkan hadis hasan seperti perhiasan perunggu di antara emas dan tembaga. Ia mungkin tidak berkilau seperti hadis sahih, namun tetap bernilai. Selain itu, hadis hasan mengajarkan pelajaran penting bagi kehidupan modern: tidak semua yang “tidak sempurna” harus disingkirkan. Terkadang, kebaikan justru lahir dari kejujuran, bukan dari kesempurnaan.

Hadis Daif: Di Antara Lemah dan Tetap Layak Dihormati

Sementara itu, hadis daif atau lemah mendapat porsi pembahasan yang cukup panjang. Ibn al-Ṣalāḥ mengelompokkannya berdasarkan penyebab kelemahannya — bisa karena perawi kurang adil, hafalan lemah, atau sanad terputus. Namun, ia juga menambahkan dimensi etis dalam menilai hadis lemah.

“الضعيف ما لم يجتمع فيه شروط الصحيح ولا الحسن.”
Hadis daif ialah yang tidak memenuhi syarat sahih maupun hasan.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, jenis ketiga)

Menariknya, Ibn al-Ṣalāḥ tidak menolak seluruh hadis daif secara mutlak. Selama tidak mengandung kebohongan dan tidak digunakan untuk menetapkan hukum, hadis daif masih dapat dijadikan dorongan spiritual atau motivasi amal.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, ketegasan Ibn al-Ṣalāḥ lahir dari rasa takut akan dosa penyebaran dusta atas nama Nabi. Menyebarkan hadis tanpa memeriksa sumbernya berarti mengabaikan amanah ilmu.

Nilai Kehati-hatian di Zaman Serba Cepat

Kehati-hatian yang diajarkan Ibn al-Ṣalāḥ terasa semakin relevan pada era digital ini. Ketika informasi berseliweran tanpa batas, hadis sering dikutip tanpa sanad, bahkan kadang dipelintir untuk kepentingan politik atau ekonomi.

Padahal, dalam Muqaddimah, beliau menulis dengan tegas:

“لا يُعتمد في الدين على الحديث الضعيف في الحلال والحرام.”
Tidak boleh bersandar pada hadis daif dalam urusan halal dan haram.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, bab hukum penggunaan hadis daif)

Pesan ini seolah menjadi oase di tengah padang gurun informasi. Ilmu sejati tidak diukur dari seberapa cepat ia disebarkan, melainkan seberapa benar sumbernya. Dengan demikian, kehati-hatian bukanlah penghambat kemajuan, tetapi penjaga kebenaran.

Cinta dan Ketelitian: Dua Sayap Penjaga Sunnah

Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, meneliti hadis adalah wujud cinta kepada Nabi ﷺ. Cinta sejati tidak datang dari keinginan menelan semua cerita tanpa seleksi, tetapi dari tekad menjaga agar sabdanya tetap bersih dari kebohongan.

Semangat ini sejalan dengan firman Allah:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ۝ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Dan dia (Muhammad) tidak berbicara dari hawa nafsunya. Ucapannya tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.
(QS. An-Najm [53]: 3–4)

Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap sabda Nabi adalah bagian dari wahyu. Maka, menjaga kemurnian hadis berarti menjaga cahaya wahyu itu sendiri agar terus menyala dalam hati manusia.

Penutup: Menjaga Sabda Nabi, Menjaga Nur Ilmu

Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ bukan sekadar kitab teori, melainkan manifesto kejujuran ilmiah. Melalui tiga level hadis — sahih, hasan, dan daif — Ibn al-Ṣalāḥ menegaskan bahwa ilmu harus dijaga dengan amanah, bukan dengan prasangka.

Ia menulis dengan rendah hati:

“وما نحن إلا ناقلون عن الأئمة، متمسكون بآثارهم، مهتدون بسيرهم.”
Kami hanyalah penyampai dari para imam terdahulu, berpegang pada peninggalan mereka, dan berjalan di atas jejak mereka.
(Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, penutup kitab)

Kalimat ini menjadi pengingat abadi bahwa ilmu bukan untuk kebanggaan, tetapi untuk menjaga warisan Rasulullah ﷺ agar tetap hidup di setiap generasi. Dengan kata lain, siapa pun yang meneliti hadis sesungguhnya sedang ikut menyalakan pelita kejujuran — pelita yang tak akan padam oleh waktu.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement