SURAU.CO-Abu Ayyub al-Anshari adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, yang berasal dari suku Khazraj. Nama aslinya adalah Khalid ibn Zaid ibn Kalib; ibunya adalah Hindun binti Said. Ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Ayyub. Istrinya adalah Ummu Ayyub binti Qais ibn Amr, yang juga berasal dari kalangan Anshar.
Suatu hari, Ummu Ayyub melihat suaminya bersiap-siap pergi. Ia telah menyiapkan tas perbekalan, mengasah pedang, kemudian bergegas naik ke punggung kudanya. Ketika Abu Ayyub mengucapkan salam berpamitan, istrinya menanyakan tujuannya, dan Abu Ayyub menjawab,
“Telah sampai di Ummul Qura seorang nabi yang mengajak manusia untuk menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan berhala. Aku sungguh ingin menemuinya dan mendengar ucapannya.”
Setelah itu, Abu Ayyub bergegas pergi dan sang istri mengantar kepergiannya dengan senyum mengembang. Ia berpikir, laki-laki yang hendak ditemui oleh suaminya adalah manusia yang dipilih Langit untuk memperbaiki kerusakan. Tak lupa ia mendoakan suaminya agar selalu dilindungi dan kembali ke rumah dalam keadaan selamat.
Berita Gembira dan Baiat Aqabah
Setelah beberapa hari menunggu, Ummu Ayyub mendengar ringkik kuda suaminya. Ia bergegas keluar dan menyambutnya dengan bahagia. Abu Ayyub bercerita bahwa ia telah bertemu dengan seorang nabi yang memberi pencerahan kepada manusia, membebaskan mereka dari kegelapan, dan membersihkan mereka dari penyembahan berhala. Abu Ayyub mengatakan bahwa ia telah beriman dan membenarkan ucapan orang itu. Ia telah bertekad akan menolong dan membantunya hingga kematian menjemputnya.
Meskipun perjumpaan langsung dengan Muhammad Rasulullah Saw. belum tiba, kerinduannya terobati ketika Rasulullah mengutus Mush‘ab ibn Umair untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Yatsrib. Abu Ayyub tekun menghadiri majelisnya. Kemudian, pada musim haji, lebih dari 70 orang Yatsrib menempuh perjalanan menuju Makkah. Abu Ayyub ikut serta dalam rombongan itu dan menegaskan kesiapan mereka untuk membantu perjuangan Nabi. Abu Ayyub termasuk di antara dua belas orang yang terpilih menjadi wakil komunitas Yatsrib. Usai baiat, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menyatakan keinginan untuk bertemu dengan Abu Ayyub kelak setelah Allah memberinya izin untuk hijrah ke Yatsrib.
Rumah Persinggahan Sang Nabi
Penduduk Yatsrib menanti hari itu dengan penuh kesabaran. Setelah menunggu beberapa hari, mereka mendengar kabar gembira bahwa Rasulullah telah tiba. Setiap orang bersikeras agar Nabi Saw. sudi singgah ke rumah mereka. Mereka memegang kendali unta yang ditunggangi Rasulullah. Maka, Rasulullah ṣberkata kepada mereka,
“Biarkan ia jalan. Unta ini hanyalah tunggangan.”
Nabi Saw. mengatakan bahwa beliau akan singgah di rumah orang yang dipilih oleh untanya.
Setelah berjalan beberapa saat, unta itu berhenti di halaman rumah Abu Ayyub al-Anshari. Rasulullah Saw. turun dari tunggangannya dan tuan rumah membantu menurunkan barang bawaan dengan roman muka yang bahagia. Tentu saja, banyak penduduk Yatsrib yang kecewa. Perasaan senang dan bahagia meliputi jiwa pasangan suami-istri itu.
Kekhawatiran Tuan Rumah
Rumah Abu Ayyub terdiri atas dua lantai. Abu Ayyub dan istri sepakat menempatkan Nabi Saw. di lantai atas. Namun, Nabi Saw. ingin orang-orang yang ingin menemuinya tidak merasa kesulitan sehingga ia memilih tinggal di lantai bawah.
Ketika Abu dan Ummu Ayyub hendak beranjak tidur, mereka diliputi rasa tidak nyaman karena merasa tidak pantas berada di atas Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Abu Ayyub menyampaikan kekhawatiran itu kepada Nabi Saw.,
“Ketika kami berada di kamar atas, ada air yang tumpah. Kami sungguh takut jika tumpahan air itu menetes ke bawah dan mengenai tubuh Paduka Yang Mulia. Oleh karena itu, tak sepatutnya Rasulullah tinggal di bawah. Kami mohon, biarlah kami tinggal di bawah dan Paduka di atas.”
Mendengar keluhan tuan rumah, Rasulullah Saw. tersenyum.
Kemudian Abu Ayyub berkata,
“Wahai Rasulullah, kami mengirimkan makanan untuk Paduka, tetapi makanan itu kembali lagi tanpa ada bekas tangan Paduka.”
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Benar (aku tidak memakannya), karena ada bawang merah pada makanan itu. Aku tidak memakannya karena mengharap rida Tuhan, tetapi kalian boleh memakannya.”
Dermawan dan Syahid dalam Jihad
Abu Ayyub dikenal sebagai orang yang sangat dermawan, ramah, dan selalu memuliakan tamu. Suatu ketika Rasulullah Saw. bersama Abu Bakar mendatangi rumahnya. Abu Ayyub mengeluarkan berbagai jenis makanan dari dapur. Ia menyajikan satu nampan kurma dan kemudian menyembelih hewan. Setelah makan, Rasulullah Saw. bersabda,
“Demi zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, nikmat ini akan mendapat ganjaran pada hari kiamat kelak.”
Abu Ayyub selalu mengikuti Rasulullah Saw. dalam berbagai perjuangan. Ia turut serta dalam beberapa peperangan, termasuk Perang Badar dan Perang Uhud. Ia pun ikut berjuang bersama para Khalifah Rasyidin, termasuk Khalifah Ali ra.
Dalam sebuah riwayat, Abu Ayyub ikut berperang ke Romawi pada masa Khalifah Muawiyah di bawah komando Yazid ibn Muawiyah. Ia wafat di Konstantinopel pada 51 Hijriah. Ia dimakamkan di sana dan Yazid memerintahkan pasukan kavaleri untuk memberikan penghormatan terakhir kepadanya.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
