Khazanah
Beranda » Berita » Berbuat Baik Diam-Diam: Amal yang Tak Butuh Kamera

Berbuat Baik Diam-Diam: Amal yang Tak Butuh Kamera

berbuat baik diam-diam, amal tanpa kamera
Seorang hamba bersedekah diam-diam di ruang remang, cahaya lembut mengalir dari tangannya ke langit, tanpa sorotan kamera. Gaya realistik, nyeni, dan filosofis.

Surau.co. Di zaman ketika segalanya bisa direkam, diabadikan, dan disebarkan dalam hitungan detik, berbuat baik seringkali kehilangan keheningannya. Sedekah yang dulu mengalir sunyi dari tangan ke tangan, kini sering diikuti dengan suara “klik” kamera. Kita hidup di masa di mana kebaikan mudah mendapat tepuk tangan, tetapi sulit mendapat keikhlasan. Pertanyaannya: masihkah kita mampu berbuat baik tanpa butuh sorotan?

Padahal, Rasulullah ﷺ telah mengingatkan bahwa amal terbaik justru yang tersembunyi dari pandangan manusia. Dalam sebuah hadis disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ… وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا، حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ

Artinya: “Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya… salah satunya adalah seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini sederhana tapi tajam. Ia menampar ego manusia modern yang gemar menampilkan kebaikan. Ia mengingatkan bahwa nilai amal bukan di tepuk tangan manusia, melainkan di penilaian Allah yang Maha Melihat.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Amal yang Terjaga dari Riak

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menulis dengan lembut namun dalam:

وَاعْلَمْ أَنَّ أَعْظَمَ أَعْمَالِكَ أَجْرًا مَا كَانَ خَالِصًا لِوَجْهِ اللهِ، سِرًّا لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ أَحَدٌ سِوَى اللهِ.

Artinya: “Ketahuilah, amalmu yang paling besar pahalanya adalah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah, dilakukan secara rahasia tanpa diketahui siapa pun selain Allah.”

Pesan ini terasa sederhana, tapi sulit diamalkan di era serba tampak. Kita terbiasa menilai diri dari respons orang lain. Ketika tak ada yang tahu kebaikan kita, kita merasa tidak dianggap. Padahal, justru di situlah latihan spiritual tertinggi: berbuat baik tanpa butuh diketahui.

Habib al-Haddad mengajarkan agar setiap amal memiliki ruang sunyi — ruang yang hanya diketahui oleh Allah. Sebab, amal yang terlihat mungkin mendapat pujian, tapi amal yang tersembunyi menyelamatkan hati dari riya. Ia ibarat biji yang tumbuh di tanah gelap: tidak tampak, namun kelak berbuah manis di hadapan Allah.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Melawan Godaan Panggung Sosial

Kita tidak bisa menutup mata bahwa media sosial telah menjadi panggung besar bagi manusia modern. Banyak yang awalnya berniat baik — menolong, bersedekah, atau berbagi inspirasi — namun perlahan berubah arah. Kamera yang semula hanya alat dokumentasi, berubah menjadi alat pembuktian.

Namun, Al-Qur’an telah memperingatkan dengan tegas:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِ‌ئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ‌

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu batalkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah serta hari akhir.”. (QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Ayat ini menegaskan bahwa niat adalah pondasi utama amal. Saat niat bergeser dari mencari ridha Allah menjadi mencari pengakuan manusia, amal itu kehilangan ruhnya.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Di sinilah pentingnya melatih diri untuk menolak dorongan tampil. Jika tangan kanan memberi, biarkan tangan kiri tidak tahu. Jika hati berbuat baik, biarkan hanya Allah yang menjadi saksinya. Sebab, keheningan amal adalah bukti keikhlasan yang paling jujur.

Diam-Diam, Tapi Berdampak

Berbuat baik diam-diam bukan berarti pasif atau menghindar dari peran sosial. Justru sebaliknya, ia menumbuhkan ketulusan dalam gerak. Ketika kita tidak sibuk memikirkan siapa yang melihat, kita bisa fokus memperbaiki niat dan memperluas manfaat.

Banyak ulama besar sepanjang sejarah Islam yang menjalankan amal secara sunyi. Mereka tidak mencatat amalnya, tidak pula menandai dirinya sebagai “dermawan.” Tapi masyarakat merasakan kehadirannya. Amal yang tulus akan menemukan jalannya sendiri untuk sampai ke hati manusia.

Habib al-Haddad berkata:

وَاعْمَلْ فِي خَفَاءٍ كَمَا تَعْمَلُ فِي الْعَلَانِيَةِ، بَلْ أَكْثِرْ فِي السِّرِّ مِنْهَا.
Artinya: “Beramallah dalam kesunyian sebagaimana engkau beramal di hadapan orang banyak, bahkan perbanyaklah amalmu dalam keadaan tersembunyi.”

Kalimat ini mengajarkan keseimbangan spiritual: amal yang diam-diam tidak kehilangan makna sosial, karena tujuannya tetap membawa manfaat bagi sesama — hanya saja jalannya lebih lembut dan tidak mencari sorotan.

Mengembalikan Makna Keikhlasan

Ikhlas bukan sekadar tidak ingin dipuji. Ikhlas adalah ketika seseorang berbuat baik tanpa perlu tahu hasilnya, tanpa perlu dilihat, dan tanpa menuntut balasan. Ia seperti mata air yang terus mengalir, tanpa menunggu tepukan.

Dalam konteks kehidupan modern, keikhlasan berarti mampu menahan diri dari budaya pamer. Tidak semua kebaikan harus diumumkan, tidak semua sedekah perlu difoto, dan tidak semua amal harus menjadi konten. Kadang, diam adalah bentuk tertinggi dari kemurnian hati.

Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa nilai sejati amal bukan di layar kamera atau jumlah like, melainkan di kedalaman niat dan ketulusan hati.

Menemukan Ketenangan dalam Amal Sunyi

Berbuat baik secara diam-diam memberi efek menenangkan bagi jiwa. Tidak ada tekanan untuk diakui, tidak ada rasa cemas terhadap penilaian orang lain. Yang tersisa hanyalah hubungan pribadi antara hamba dan Tuhannya.

Ketika seseorang memberi dengan tangan yang gemetar karena takut riya, itu tanda keimanan masih hidup. Sebab, hanya orang yang sadar akan pandangan Allah yang berhati-hati dalam beramal.

Habib al-Haddad menulis dalam Risālatul Mu‘āwanah:

فَاحْرِصْ عَلَى أَنْ تَكُونَ أَعْمَالُكَ خَالِصَةً لِوَجْهِ اللهِ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا لَهُ.

Artinya: “Jagalah agar amalmu murni karena Allah, sebab Allah tidak menerima amal kecuali yang dilakukan dengan ikhlas untuk-Nya.”

Dari kalimat ini, kita belajar bahwa keheningan amal bukan sekadar bentuk kerendahan hati, tetapi juga cara menjaga hubungan spiritual dengan Allah. Amal yang tidak tercatat manusia justru lebih mungkin tercatat di sisi Tuhan.

Penutup: Cahaya yang Tersembunyi

Dalam dunia yang sibuk mencari sorotan, berbuat baik diam-diam adalah bentuk keberanian spiritual. Ia adalah cara lembut untuk mengatakan pada diri sendiri: “Aku tidak butuh panggung, cukup Allah yang tahu.”

Seperti bintang yang tetap bersinar meski tertutup awan, amal yang tersembunyi tetap membawa cahaya — meski tak tampak oleh mata manusia.

Maka, mari kita jaga sebagian amal untuk diri dan Tuhan saja. Biarlah dunia tak tahu, asalkan Allah tahu. Karena sejatinya, kebaikan yang tidak butuh kamera justru paling terang di hadapan-Nya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement